dokumen #4 : crux

420 122 19
                                    

hargai cerita saya, meski masih jauh dari kata sempurna.
selamat membaca^^

**

Hening suasana sore hari diisi gradasi gugur daun yang berjatuhan. Alunan kekhawatiran dan penyesalan hanyalah kembang api di masa lalu yang hilang bersama nyanyian.

Ada banyak hal yang telah terlewati, dan mereka masih belum memahami. Perihal hati yang masih tertatih, belum terlatih. Serta luka yang baru saja pulih dari perih. Semua itu, asing bagi mereka yang masih merajut memori.

Tiada yang mengerti mengapa mereka saling membangun benteng tangguh. Dengan mengharapkan salah satunya ada yang runtuh.

"Kamu butuh sesuatu?"

Sudah cukup bagi Antares Nugraha. Segalanya hanya akan menjadi bayang-bayang dalam kepala.

"Enggak, Ve. Yang lain kemana?" Kepalanya celingukan mencari tiga yang lainnya.

"Al sama Gam jagain abang kamu. Kalo Ri ada kelas sore."

"Jagain abang?"

Anggukan adalah jawabannya. "Iya. Kan orang tua kamu pulang malem, Res. Itu juga nanti harus jagain kamu di sini."

Pada senja yang malu, ia terduduk ragu. Ada banyak hati yang terbelenggu. Namun, ia justru semakin membebani dan mengganggu.

Saat ini hatinya sudah mulai sakit-sakitan. Terpikir apa yang mereka ucapkan, ia akan segera renungkan. Sebab Ares juga butuhkan kebahagiaan.

"Aku kapan boleh pulang katanya, Ve?"

"Dokter bilang lusa udah bisa pulang kalo keadaan kamu gak memburuk. Soalnya lukamu itu luka luar semua, gak ada luka dalam. Jadi, gak terlalu riskan sih kalo mau pulang cepet."

"Baguslah. Aku gak mau ngerepotin banyak orang lagi."

Bibirnya mengerucut. "Ngerepotin apanya sih?"

"Ya emang ngerepotin kan? Ayah sama Bunda udah capek kerja seharian, harus istirahat, bukan malah jagain aku. Kamu dan yang lain juga. Kalian sibuk kelas dan masih harus bagi tugas kesini jengukin aku plus jagain abang. Nyusahin kan?"

"Enggak lah! Itu gunanya keluarga."

Palsu.

Sama seperti waktu, perasaan itu semu. Mengendalikan emosi tanpa tahu usainya 'kan menjadi abu-abu.

Menyambut suka terkadang penuh tanda tanya. Haruskah bahagia atau justru merana.

"Kemarin Mora ke sini, kalian yang suruh?"

"Iya. Ri yang minta langsung ke Mora. Gimana? Kamu suka 'kan?"

Ares tersenyum kecut. Begitukah?

"Kalian pengin banget ya aku punya pacar?"

"Ares... kamu capek kan, kerja keras tanpa perhatian? Kamu capek kan, bertahan tanpa kepastian? Kamu capek kan, memendam tanpa mengungkapkan?"

Jantungnya berpacu. Pikirannya kacau balau. Bagaimana mungkin?

"Kamu pikir aku gak tau? Mungkin mereka gak sadar, tapi aku... aku bisa lihat semua dari mata kamu. Eyes never lie, right? Makanya tolong, pikirin baik-baik soal Mora."

Wajahnya dipalingkan.

Tawanya hampa, persis seperti hatinya. Ia tak habis pikir bagaimana Ve bisa mengerti segalanya. Bahkan mungkin gadis cantik itu lebih memahami kepelikan hidupnya ketimbang dirinya sendiri.

"Terus kamu pikir aku gak akan capek lagi kalo pacaran? Sama Mora?" tanyanya dengan wajah yang masih enggan menatap Ve.

"Terus apa yang bisa bikin kamu bahagia?" suaranya gemetaran.

Ares tertawa lagi. Masih sama; hampa.

"Katanya kamu tahu semua tentang aku. Kayanya mata gak bisa bohong. Buktinya apa? Kamu sama sekali gak tau perasaan aku, Ve."

"Kamu maunya apa? Bilang, biar jelas semuanya."

Gelenganlah yang Ve dapatkan. "Aku gak mau apa-apa."

"Ternyata kamu sendiri yang mempersulit segalanya."

"Kamu pikir itu kemauan aku? Itu demi kebaikan kita semua."

Jangan harap luka akan sembuh begitu saja, bila mengaku pun sulit sekali rasanya. Sebab tiada artinya rasa tanpa diberi nyawa. Dan jika nanti tiba waktunya, jangan lupa bahwa sukma pernah dibungkam oleh jiwa yang perasa.

Begini, Semesta. Jika aku boleh ungkapkan suatu rahasia, sebenarnya aku memang butuh mencinta dan dicinta. Biarpun aku dipuja, apa gunanya jikalau tambatan hati saja tidak punya? Maka aku mohon, Semesta. Tolong satukan aku dengan dia yang aku pinta. Bukan dengannya yang aku tak cinta. []

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang