dokumen #2 : centaurus

691 172 39
                                    

Teman-teman, untuk latar dan informasi (organisasi dan instansi terkait) yang dilampirkan dalam bab ini, saya tulis dengan sepengetahuan saya berbekal pengalaman dari kerabat serta riset yang telah dilakukan. Mohon koreksinya bila terdapat keliruan yang dapat mencemarkan nama baik instansi terkait.
Terima kasih dan selamat membaca ♡♡

**

Bunyi elektrokardiograf itu memenuhi ruangan bau obat yang didominasi warna putih. Di ranjang, ada seorang pemuda yang terbaring dengan air muka damai. Seolah tak merasakan sakit, padahal kepalanya dililit perban, tangan dan kakinya dipenuhi luka.

Di luar, ada pria paruh baya yang tengah memijit pelipisnya sendiri. Nampak bingung sekaligus khawatir dengan apa yang sudah dan akan terjadi nanti.

"Jare kon piye? Aku keder pol iki."
(Menurutmu gimana? Aku bingung banget ini.)

Pria itu berbicara dengan seseorang yang meneleponnya.

"Aku ora nubruk, sembarangan kon. Mung nyaris ae. Ning dheweke lekas banting arah. Mulane aku lan mobilku ya ora ngapa-ngapa, justru dheweke sing siki lagi neng jero ICU, ora eling."
(Aku gak nabrak, sembarangan kamu. Hampir. Tapi dia langsung banting arah. Makanya aku sama truk yang kubawa nggak kenapa-kenapa, dia yang malah sekarang di ICU ngga sadarkan diri.)

Pria tersebut membuka dompet kulit berwarna hitam yang sedikit lecet. Kemudian ia mengambil beberapa kartu dari sana.

"Iya, enek KTP lan kertu liyane. Terus aku kudu ngehubungi sopo iki? HPne dheweke kan rusak."
(Iya ada ktp sama kartu lainnya. Terus aku harus hubungin siapa? HP dia kan mati, rusak.)

*

Ve tersadar kala ada yang mengetuk pintu rumahnya.

Tungkai kecilnya berlari tuk membukakan pintu. Dan di hadapannya, pemuda yang acap kali ia lihat bersama Ares diliputi cemas dan peluh yang mengucur deras. Padahal sudah jelas, kalau malam ini angin berhembus keras.

"Ayo ikut aku ke rumah sakit sekarang, Ve. Lebih baik orang tuanya dikasih tau nanti aja, barangkali syok."

Dan begitulah kiranya bagaimana secawan risau mencacah dirinya. Mengeruk kewarasan dan menimbulkan kerusuhan hati di kepalanya.

"Maksudnya apa?" Ve tak mengerti mengapa suaranya bergetar kala bertanya hal yang tak ia percaya.

Pemuda itu pun menunjukkan lini masa dalam laman sosial media di telepon genggamnya.

Pemuda itu pun menunjukkan lini masa dalam laman sosial media di telepon genggamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kesedihan pun gelapnya malam mengiringi Ve dalam keadaan sumarah.

*

"Ares... Kenapa kamu kayak gini?"

Air matanya tak dapat ia bendung kala melihat sahabatnya sedari kecil terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Syukurlah Ares sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa dari ICU.

Ruangan ini hangat, tapi pemudi yang surainya diikat asal itu tak dapat merasakannya. Lantak pula gugur pertahanannya menahan isak, kehilangan akal dan katup napasnya seolah tertutup; sesak.

"Kamu 'kan udah janji nanti sore mau nemenin aku beli buku, Res... Kenapa malah kayak gini?"

Semalam adalah berkumpulnya mereka untuk pertama kali setelah magang. Dan Selasa dini hari kali ini benar-benar membuat Ve linglung tanpa pedar sembari memeluk doa-doa diantara resahnya.

Pintu ruang rawat terbuka. Perempuan yang menggunakan seragam perawat itu menggiring Ve untuk meninggalkan ruangan.

"Maaf ya, Mbak, sudah sepuluh menit. Besok pagi jam besuk dimulai pukul delapan, Mbak," ucap perawat itu penuh pengertian pada Ve. Mungkin, perawat itu mengerti, bagaimana rasanya melihat sahabat yang sudah ia anggap keluarga terbaring di ranjang perawatan.

Kemudian perawat itu pamit undur diri.

Ve dan teman Ares di KMFK yang bernama Reihan itu akhirnya singgah di kantin rumah sakit. Memesan kopi untuk menemani.

"Kamu pulang aja, Reihan. Besok pagi Ares bilang ada kuliah, kalian kan ambil kelas yang sama. Biar aku aja yang nungguin Ares di sini."

Pemuda itu buru-buru menggeleng. "Nggak bisa, Ve. Ares itu Kepala PPI, siapa yang mau bertanggung jawab atas dia kalau bukan ketua KMFK itu sendiri? Nggak mungkin anggotanya Ares yang tanggung jawab nunggu dia di sini."

Ve mengangguk paham. "Tolong nanti ijinin Ares ya?"

"Pasti aku ijinin. Nanti aku minta surat keterangan dokter juga biar dosen lebih percaya, karena hari ini ada Skills Lab Teknik Kateterisasi dan Aspirasi Suprapublik. Oh iya, kamu nggak hubungin orang tuanya Ares?"

Setelah menyesap kopinya, Ve memangku tangannya di atas meja. "Habis waktu subuh. Sekalian kabarin sahabat-sahabat aku yang lain. Ini masih jam dua, semuanya pasti lagi lelap-lelapnya."

*

Tepat pukul lima, orang tua dan tiga sahabatnya yang lain datang.

Bundanya menangis, Ayahnya nampak khawatir, dan sahabat-sahabatnya... cemas setengah mati.

Reihan sudah tidak ada di sana. Ia pulang setelah mendapatkan surat keterangan pasien dari pihak rumah sakit.

"Ve... Ares kenapa, Ve?" Bunda Ares bertanya dengan tersedu-sedu.

Lalu Ve menuntun beliau untuk duduk. "Semalam Ares pamit rapat, Tante. Dan harusnya pulang ke rumah pukul satu dini hari."

Ve menjeda penjelasannya. Ia menangis lagi.

"Ve nggak tau pasti tapi menurut saksi... Ares... Ares ngantuk dan nggak sadar kalau di depannya ada truk besar."

Ayah Ares memeluk istrinya, menenangkannya, berkata bahwa Ares adalah anak mereka yang paling kuat, maka Ares akan baik-baik saja.

"Kenapa kamu nggak kabarin kita lebih awal, Ve?" Al menuntut jawaban dengan rautnya yang kentara marah.

"Maaf, Al... Aku pikir, jam segitu bakal ganggu-"

"Apa?!" Al memotong jawaban Ve. Hatinya terasa sakit mendengarnya. Bagaimana mungkin kabar mengenai sahabatnya akan mengganggu waktu tidurnya? Apa itu terdengar wajar?

"Ganggu? Kamu pikir Ares itu orang asing buat aku? Buat kita semua?"

Gam memeluk Al, mengusap-usap rambutnya, membiarkan Al menumpahkan air mata dalam dekapannya.

"Udah, Al. Iya, memang Ve keliru udah mikir kayak gitu. Tapi, Ve juga nggak salah. Ve mikirin kita."

Al meremas sweater navy blue milik Gam. Tangisannya benar-benar pecah. Ia tak bisa berpikir rasional hingga rasanya ingin mati saja.

"Ve... Supir truknya gimana? Kabur?" Ri duduk di samping Ve dan menanyakannya.

Dan gelenganlah yang Ri dapat.

"Truk itu nggak nabrak Ares. Menurut CCTV, Ares ngehindarin truk itu yang malah buat dia jadi kayak gini." Ve menutup wajahnya.

Ri menepuk pundaknya pelan, bermaksud menguatkan. "Kamu udah sarapan?"

Ve menggeleng lagi.

"Ya udah, sarapan dulu yuk? Aku temenin."

Tuhan, tolong angkat sakitnya dan selamatkan nyawanya. Bukankah ia hamba-Mu yang paling baik? Tolong jangan biarkan semesta bercanda, Tuhan. []

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang