dokumen #3 : pyxis

493 139 31
                                    

hargai cerita saya, meski masih jauh dari kata sempurna.
selamat membaca!

**

Bagian paling menyedihkan dalam hidup Ve ialah menyadari bahwasanya Ares tengah bertahan sendirian.

Dia mengerti. Namun, bukannya sejak awal sudah mengetahui.

Beberapa waktu, dia mencoba menenangkan. Akan tetapi, apa yang Ares pertahankan bukanlah hal remeh yang mudah dibereskan.

Tangannya dengan cekatan memotong apel. Telinganya terbuka mendengarkan bagaimana Ares bercerita mengenai banyaknya artikel.

"Heran banget, artikel di TNN Indonesia gak ada yang menarik. Tumben. Biasanya di kolom Ekonomi seru-seru kok beritanya."

Ve mengembuskan napasnya perlahan. Ia tak habis pikir, Ares baru saja siuman tetapi mengapa mulutnya terus saja meracau masalah-masalah berat yang mengerikan. Harusnya ia rileks dan berkonsentrasi pada prosesi penyembuhan.

"Haduh, udah syukur kamu cepet sadarnya, masih aja ngurusin berita kayak begituan. Kamu itu calon dokter apa calon menteri perekonomian sih?" Gam geregetan sekali dengan keanehan Ares.

Bibir Ares mencebik. "Ya emangnya kenapa? Bagus tau kalo kita ngerti informasi up to date kayak begitu."

Kalau saja Al tidak sedang sok marah pada Ares, pasti ia sudah mencubitnya keras-keras.

"Ya tapi gak sekarang juga kamu musingin hal kayak gituannya, Res," jawab Ve sembari menyuapkan potongan apelnya pada Ares.

"Loh, kalo gak sekarang ya nanti ketinggalan lah. Iya 'kan, Al?"

"Mboh!"

Yang lain hanya cekikikan. Baru kali ini mereka melihat Al begitu pada Ares yang sedari kecil hanya disayang tanpa didiamkan.

Jujur, ada hati yang terluka melihat Al berada dalam rangkulan hangat milik Ri. Tetapi, hati yang terluka itu bisa apa saat ia dan mereka sama-sama berlindung di balik makna persahabatan yang membentari?

"Kayaknya kamu nih butuh pacar, Res. Biar gak stress-stress banget. Ya gak, cah?"

Sebuah pertanyaan yang menimbulkan banyak korban. Entah itu korban yang kesakitan atau korban yang diuntungkan.

Gam mengangguk setuju. "Iya, biar ada hiburannya gitu lho, Res. Kamu itu gak ngerasa sumpek ta? Tiap hari kerjaannya rapat, terus kalo gak di lab ya di perpus."

"Gak lah. Buktinya, Ve aja gak ngerasa sumpek ta di lab terus?"

"Sumpek kok. Aku juga kadang suka bosen dan akhirnya jalan-jalan sendirian terus mampir ke fisipmart deh," balas Ve.

Ri mencibir, "halah. Kalian ya sama aja. Bedanya, Ve itu agak kelihatan hidup dikit soalnya suka jalan-jalan karena gak sibuk rapat. Kalo Ares itu sepenuhnya zombie yang hobinya tinggal di lab sama di perpus. Udah semester lima ngapain sih masih ikut organisasi begituan, mau sampe lulus?"

Semuanya tertawa. Kecuali Al, masih mode marah katanya.

Banyak sekali hal yang sudah mereka lewati. Seperti puing-puing reruntuhan hati. Sampai dua puluh ribu garis-garis semu yang tak jua mati. Mereka sama-sama memiliki. Dan saling percaya bahwa mereka sudah saling mengenal sampai ke rusuk tepi. Tanpa sadar bahwa banyak hal yang bisa disembunyikan, termasuk hati.

‎"Lagian ya, Res, cewek-cewek tuh pada naksir kamu. Buka hati lah."

"Disenyumin sama Ares seupil aja langsung jejeritan mereka."

"Tinggal pilih salah satu aja, Res. Selesai deh," timpal Ve sembari terkikik.

Yang dibicarakan sedari tadi akhirnya buka suara. "Dikira gampang apa? Pacaran tuh ribet. Contohnya si Zul, dia malah keliatan tambah stress tuh sehabis pacaran."

"Itu mah karena si Kia aja yang bikin ribet, Ares. Aku aja liatnya sebel, apalagi Zul yang pacarnya."

Pandangan pemuda yang tengah mengunyah keripik singkong itu sejajar dengan sorot mata Ares. Menelaah bagaimana cara mata berbicara ketika bibir hanya mampu mencipta ribuan gores yang tak beres. "Bener tuh kata Ve. Nanti kita cariin cewek yang baik deh, Res."

Sementara jemari Ri sibuk mengelus surai halus milik Al yang sudah tertidur tanpa mendengar desas-desus. "Aku punya kenalan anak FIB. Anaknya cantik dan gak neko-neko. Cocok lah buat kamu, Res."

"Siapa, Ri?"

"Mora, anak sasing."

"Lah? Cut Mora Rasyadhia Sasmita yang jadi Duta Wisata Nasional?"

Ri manggut-manggut.

"Udahlah, kalo dia mah cocok banget buat Ares. Gak ada tandingan." Gam geleng-geleng kepala.

Aku bingung, semesta.
Haruskah aku bahagia?
Atau menitikkan air mata?

Kecamuk sekuncup liar di dalam ruangan dominan putih itu menjadi pengantar cedera. Bukan cedera biasa, melainkan cedera patah cinta. Gelak tawa dan bunga-bunga yang bernada pilu bukanlah suara euforia nyata. Ialah dedaunan gugur yang direnggut cakrawala tak berwarna.

*

"Ares! Selamat pagi!"

Suara asing yang menyapa indera pendengarannya ini menarik perhatiannya.

Yang mengejutkannya ialah sosok pemudi dengan surai terburai itu kini tengah tersenyum manis padanya.

"Kamu butuh sesuatu?"

Ares menggeleng.

"Kamu... ngapain?"

Gadis cantik itu tersentak. "Oh? Aku gak boleh jengukin kamu ya?"

Bodoh.

Pada detak nadi yang menggema, ia habis-habisan dikeroyok rasa malu.

"Bukan gitu maksudnya," sangkal Ares tanpa rencana. Sandiwara antah-berantah yang tersemai dalam kepalanya seolah akan meledak porak-poranda.

"Jadi, boleh 'kan aku nemenin kamu di sini? Soalnya temen-temen kamu ada kelas pagi semua. Terus mereka minta tolong ke aku buat jagain kamu deh," tuturnya halus.

Ares hanya mengangguk. Entah benar atau salah yang jelas kini pikirannya berkecamuk.

"Aku kupasin ya jeruknya."

Tangannya dengan cekatan mengupas kulit jeruk yang terlihat menyegarkan. Menaruhnya pada piring dan membiarkan Ares melahapnya sendirian.

Di waktu ini, isi kepalanya hanyalah kekacauan. Puing-puing kewarasannya berserakan. Kepingan realitas kehidupannya tak beraturan.

Tutur halusnya sama seperti milik Ve, membinasakan. Bedanya, gadis rancak ini lebih terdengar dewasa dan tegas bersamaan.

"Kamu kenal aku 'kan?" ia bertanya dengan segelas air putih di tangannya.

Sejatinya Ares tak menyangka kalau gadis ini yang akan pertama ia lihat kala membuka mata. Sebab gambaran pada angan-angan miliknya hanya ada sahabatnya.

"Emangnya siapa sih yang gak kenal kamu?" bukannya menjawab, Ares malah balik bertanya sebuah pertanyaan retoris.

Tipikal Ares sekali. Apapun situasinya, senyum tak pernah luntur sedetikpun dari bilah bibirnya, sudah macam aksesori yang abadi.

Gadis cantik itu tersenyum ramah. "Aku pikir, seorang Ketua PPI KMFK gak akan kenal mahasiswi dari rumpun sosial humaniora."

"Siapapun pasti tau kamu. Karena mahasiswi UGM yang menjadi Duta Wisata Nasional 'kan cuma kamu."

"Syukurlah. Berarti, peluang aku buat berteman sama kamu cukup besar, Antares Nugraha."

"Yeah. I can be friends with everyone."

Keadaan yang memaksa. Namun mereka berdua yang berjalan menuju tanda baca. Menyusul gundah tanpa aba-aba, menjajakan lika-liku rasa.

Jarak antara aku dan kamu sebenarnya dekat. Sayangnya aku dan kamu selalu berlindung di balik rentetan kalimat yang membuat kita tak pernah bisa sempat. []

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang