dokumen #6 : orion

434 106 16
                                    

ada 2 cara sederhana untuk mengapresiasi bacaan gratis ini, yaitu dengan vote dan komentar!
selamat membaca♡

*

Hari ini Ares sudah pulang ke rumah. Kata ayah, itu adalah anugerah.

Keadaan ramai di dalam kamarnya. Ada orang tua, abang, dan keempat sahabatnya. Mereka nampak berseri menyambut kepulangannya.

Ares mendengus risih kala abangnya bergelayut manja di pundaknya. "Apa sih, Bang? Minggir ah, Abang udah gede, berat tau."

Ia melipat bibirnya dengan kesal ketika abangnya semakin tertawa-tawa nyaring. Tetapi abangnya bergeming. Menepuk puncak kepala Ares layaknya anak kecil dan menyuruhnya berbaring.

"Nangis lagi jangan, Ares kecil."

Ares bersumpah pipinya bersemu. Malu.

"Bunda, ini abang dibawaaaa," teriakannya terdengar frustasi. Malu sekali. Sementara bundanya hanya tertawa kecil dan segera mengatasi.

Abang akhirnya mau digandeng oleh bunda. Diiming-imingi sandwich kesukaannya. "Bunda tinggal dulu ya. Ayo, Ayah, keluar dulu."

"Hm, udah sana, Bun, Yah. Nanti telat ke kantor." Bundanya hanya tertawa sayang.

Ayahnya lalu basa-basi sekilas dengan sahabat-sahabatnya dan segera keluar mengikuti bundanya.

Setelah ayah keluar lalu menutup pintu, keempat sahabatnya itu segera berhamburan. Ada yang duduk di kasur Ares, ada yang di kursi belajarnya, ada pula yang duduk di karpet dan selonjoran.

"Akhirnya balik juga kamu, Res. Jangan bandel lagi ya kalo naik motor." Ri berkata dengan wajah lega. Tangannya mengotak-atik rubik milik Ares yang tergeletak di atas meja belajarnya.

"Iya bener, kamu tuh bikin khawatir aja bisanya! Untung gak parah-parah banget." Ve menimpali sembari mencubit pipinya.

Ares menyunggingkan senyum. Rupanya mereka perhatian juga, membuat dia bertambah kagum. "Maaf ya," dia berujar kemudian melanjutkan kegiatannya melahap es krim.

Ve menyeru tiba-tiba, "Aduh, udah gede makannya masih cemong aja." Jemarinya mengusap es krim yang belepotan di pinggiran mulut Ares yang hanya dibalas dengan cengiran lebar.

"Ares masih kecil kok, jadi gak pa-pa kalo makannya masih suka cemong. Jangan sering ngomong kayak gitu, Ve, gak baik. Kesannya kamu itu nuntut Ares banyak hal," cerocos Al meski matanya tak lepas dari buku di tangannya.

Ve menoleh ke arah Al yang masih berbaring dengan santai. "Loh? Bukannya emang itu kenyataannya? Coba kamu liat, di antara kita berlima, siapa yang fisik dan pikirannya udah paling dewasa? Ya jelas Ares jawabannya."

Kali ini Al beranjak dan duduk. Menegakkan badannya yang sedikit pegal. "Dewasa itu gak selamanya tentang fisik 'kan? Lagipula, isi hati dan mental orang itu gak terlihat, jadi, siapa yang tau? Abang juga kemarin bilang kok kalo Ares itu masih kecil. Iya 'kan, Gam?" Sikunya menyenggol Gam yang tengah melamun.

"Hah? Ada apa, Al?" tanyanya linglung.

"Kemarin abang bilang 'kan kalo Ares itu masih kecil?"

"Oh. Iya," jawab Gam sembari mengangguk.

"Tuh kan!"

Ve terdiam. Menahan kesal sebab sifat kekanak-kanakan milik Al muncul di situasi seperti ini. Padahal maksudnya adalah untuk menyindir  Ares.

Sementara Al menunjukkan raut sewot. Kenapa sih, Ve malah menjadi sok superior dan gak mau ngalah? Jadinya kan Al menjilati ludahnya sendiri.

Ares tersenyum. "Apa sih, Al? Aku itu udah 20 tahun tau, udah bukan anak kecil lagi sekarang. Lagian kamu tau sendiri kan, kalo abang itu gak berbicara sesuai umurnya. Jadi kamu jangan lah anggap serius omongan abang." Suaranya terdengar lembut seperti biasa. Sebenarnya Ares marah, dia sedang sensitif mengenai pembicaraan soal abangnya. Meski di lubuk hati yang paling dalam, ia mengakui bahwa dirinya masih kekanakan.

Suasana semakin hening dan mencekam. Ares, Al, dan Ve terlihat masih sama-sama menahan kesal (meski Ares menutupinya dengan senyuman). Sedangkan Gam dan Ri saling pandang kebingungan. Sudah sejak bayi mereka bersahabat, tapi baru kali ini mereka berada dalam situasi buruk seperti ini.

"Aduh, tegang amat sih kayak lagi ujian," celetuk Ri sambil tertawa kaku yang dibuat-buat.

Gam menepuk dahi. Aduh, memang gak betul kelakuan Ri. Ia lantas menendang Ri yang duduk di kursi belajar milik Ares, memberi kode bahwa lawakan garingnya tadi malah memperkeruh suasana.

"Aku pulang dulu."

Al bangkit dan keluar dari kamar Ares. Meninggalkan mereka berempat yang masih dalam keheningan.

Tak disangka Ares tersenyum miris. Nah kan, apa sih yang bisa aku harapin dari bocah cilik kayak dia?

Selepas itu, gawai milik Ares berbunyi. Pertanda masuknya notifikasi dari aplikasi berkirim pesan yang baru ia unduh beberapa hari.

MORA SASING'18

| ares
| udah enakan belum?
| jangan lupa minum obat ya

*

"Kenapa sih?"

Gam mengembuskan napasnya perlahan. Bingung bercampur gelisah. Semuanya jadi serba salah. Apa sudah saatnya mengalah dan berpisah? "Apanya yang kenapa?"

"Ya kamu itu kenapa? Kamu itu lho, suka kan sama si Al? Jadiin lah cepetan."

Ia mendengus. Ri memang suka asal bicara. Padahal tahu sendiri kalau hati itu macam belantara. "Emangnya gampang apa? Kita itu udah sahabatan sejak orok."

Sore ini, gerimis ramai-ramai turun ke bumi. Gam dan Ri tengah duduk di teras rumah Ares, menunggu Mora yang katanya akan datang kemari. Dengan dua isi kepala yang sama-sama ruwet, ditemani secangkir kopi tanpa gula dan segelas susu hangat, serta pot berisi beberapa tangkai mawar berduri.

Ri menyeruput kopinya, menerawang jauh pada peristiwa empat tahun lalu dimana seorang Alfian Gama Prayogo ditolak cintanya oleh pemudi yang sudah belasan tahun menjadi sahabatnya. Dia terkekeh pelan, mengingat kala itu Gam yang tengah galau malah mengadu padanya. Tanpa tahu bahwa dirinya juga sama cintanya pada pemudi berasma Vega Sekar Piniji itu.

"Hati kamu itu aneh, Gam. Jatuh cinta kok lagi-lagi sama sahabat dekat." Ri tertawa mengejek.

"Cinta itu ada karena terbiasa. Dulu aku sama Ve kemana-mana selalu bareng, karena kita berdua satu sekolah, sedangkan kamu, Ares, dan Al sekolah di SMA lain. Ya jelas aku cinta sama dia."

"Terus yang sekarang juga gitu? Kamu cinta sama Al karena kalian satu prodi dan apa-apa selalu bareng?"

"Ya iya."

Ri tersenyum main-main. Cangkirnya sudah tandas. "Gam, cinta itu perihal seberapa kamu membutuhkan dia, dan seberapa kamu siap dibutuhkan oleh dia. Gak ada di dunia ini yang namanya cinta datang karena terbiasa, itu bukan cinta, itu kenyamanan."

"Tapi aku beneran cinta sama Al."

Ri diam, membiarkan Gam melanjutkan kalimatnya.

"Aku selalu butuh Al dalam hidup aku. Aku juga selalu siap kalo Al butuhin aku. Setahuku, cinta itu perihal 'saling'. Bukan salah satu, melainkan kedua-duanya. Aku nerima dia dan dia nerima aku. Aku lengkapin kekurangannya dan dia lengkapin kekuranganku. Bener 'kan? Aku gak butuh yang sempurna karena aku juga gak sempurna. Aku gak butuh yang dewasa karena aku sadar aku juga belum sepenuhnya dewasa."

Di sisinya, Ri masih diam sambil menatap bunga geranium yang tergantung di atasnya. Cinta memang membingungkan. Terkadang pula menyesatkan.

Memang kalau sudah jatuh cinta, harus siap menanggung resikonya. []

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang