dokumen #8 : andromeda

349 65 38
                                    

Deburan ombak kencang menerpa dermaga bersamaan dengan indahnya mentari yang hampir terbenam di peraduannya.

Al menatap Ri dengan tatapan heran ketika pemuda itu berlarian di pantai.

Pandangan mata itu muncul sebab rupanya Ri masih bisa berlagak seperti bocah di usianya yang sudah menginjak dua puluh. Al sudah hafal masing-masing tabiat sahabat-sahabatnya, dan Ri adalah tipe pendiam yang lawakannya saja selalu garing.

"Gam, Ri ternyata masih kayak bocah juga ya?"

Menyadari keheranan yang dimaksud Al, sudut bibir Gam lekas tertarik. "Ya emang dia begitu kok. Kamu kurang kasih perhatian aja ke dia, makanya heran begini."

Tiba-tiba kening Al berkerut. "Hmm... aku masih bingung sampe sekarang. Kenapa Ri justru mau nyatuin Mora sama Ares? Kenapa Mora gak buat dirinya sendiri aja? Ri gak suka sama Mora ya?"

"Udah aku bilang kan, kalo kamu itu kurang kasih perhatian ke Ri, makanya kamu gak tahu apa-apa tentang dia."

"Maksud kamu?"

"Kamu gak tahu kalo Ri masih suka bertingkah layaknya anak kecil, sama kayak yang lain. Kamu juga gak tahu Ri itu sukanya sama siapa. Kamu sih, perhatiannya cuma sama Ares." Gam lekas tertawa kecil.

Jantung Al tiba-tiba lepas kendali kala Gam dengan santainya mengatakan hal itu. Pipinya terasa panas ketika menyadari bahwa ia telah tertangkap basah. "Ngomong-ngomong soal Ares, dia lagi bingung mau pilih Ve atau Mora." Buru-buru Al mengalihkan topik pembicaraan.

"Ve atau Mora?" Bukan kamu?

"Iya. Tapi Ares sendiri gak tahu dia suka sama siapa. Kadang dia itu aneh, gak bisa ditebak juga."

"Bukannya gak bisa ditebak, kamunya aja yang clueless, Al." Gam tersenyum lembut. Hatinya terasa nyeri, menyadari bahwa cintanya pasti akan bertepuk sebelah tangan lagi.

"Emang kamu tahu perasaan Ares itu gimana dan untuk siapa?" Al menatap Gam dalam. Menangkap seberkas kegetiran dalam bola mata pemuda itu.

Gam hanya memgendikkan bahu acuh tak acuh. Wajahnya terlihat sendu. Al dapat melihatnya, jelas sekali.

"Udah, jangan kepoin dia terus, mending kamu makan itu sandwich-nya, keburu disikat sama Ri," sahut Gam seraya membuka tutup botol air mineralnya.

Al akhirnya berhenti membicarakan hal itu lagi. Sementara raut wajah Gam masih nampak sendu, entah mengapa. Ri akhirnya datang menghampiri mereka dan bertanya-tanya mengapa Gam nampak muram, mungkinkah karena perasaannya pada Al?

"Wey! Pada kenapa nih? Diem-diem bae."

Hadeh.

"Ri, aku mau nanya." Al akhirnya nekat bersuara. Sandwich sudah habis, minum sudah tandas. Sedangkan Gam hanya mampu terdiam menatapnya, menunggu apa yang akan keluar dari bibirnya.

Ri akhirnya duduk di sebelah Al, menghadapnya. "Apaan?"

Jarak mereka yang berdekatan membuat Al menatap lekat bola mata Ri. Menelisik tiap misteri dalam pancarannya.

"Kamu cinta ya sama Ve?"

"Hah? Hahahaha, jangan ngadi-ngadi kamu, Al."

Gam menahan keterkejutannya dalam diam. Menunggu bagaimana Ri akan beralasan bahwa tebakan Al hanyalah omong kosong belaka.

"Ih! Serius, Rigel!" Al menjerit keras-keras dan lekas mencubit lengan Ri kuat-kuat. Kesal sebab ia ditertawakan. Al menoleh pada Gam, meminta belaan darinya. Namun Gam hanya mengendikkan bahunya, nampak tak ingin terlibat.

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang