dokumen #10 : taurus

325 63 22
                                    

[ jikalau terdapat kekeliruan, mohon segera diinfokan. selamat membaca! ]

*

Seusai mengantarkan Ve pulang, Ares bergegas lagi untuk berpetualang. Mengendarai sepeda motor menuju fakultas kekasihnya untuk memastikan hatinya tak bercabang. Parkir dengan rapi dan melangkah ke kantin dengan perasaan yang mengambang. Kemudian menata hatinya yang terasa berceceran dimana-mana. Entah mengapa.

Ia merogoh sakunya dan bangkit membeli air mineral. Tak lama, jemarinya dengan lihai mengetikkan beberapa pesan untuk Mora.

Aku di kantin fib. Kesini ya.

Banyak hal yang mengganjal di dalam hatinya. Ada rintik-rintik yang mencacah perasaannya. Membuatnya termenung dan bertanya-tanya; mengapa?

Ares hanya menginginkan sebuah kebahagiaan. Namun lagi-lagi ia merasakan seperti ada ruang yang kosong di dalam hatinya. Hampa. Bukankah ia sudah mulai melangkah pada pilihannya? Lantas mengapa perasaannya gundah tanpa alasan yang jelas?

Ia memejam.

"Ares."

Kepalanya mendongak. Menemukan postur Mora di hadapannya. Tersenyum cantik seperti biasa.

Ares ikut tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Ayo," ajaknya.

Berkedip bingung, Mora bertanya, "Kemana?"

"Ngabisin bensin."

Jemarinya mengait milik Mora, menuntunnya menuju sepeda motor miliknya.

*

Ares benar-benar menepati ucapannya. Ia berkendara tanpa arah dan tujuan yang nyata. Sepanjang jalan, ia diam terbalut senyuman. Sebab pintanya untuk mendengarkan suara Mora yang sejak dulu ia harapkan kini menjadi kenyataan. Antares Nugraha yang terlihat gagah dan kuat tanpa cela, nyatanya juga ingin dimanja.

Kalimat-kalimat penuh afeksi dari bibir Mora membuatnya merasa nyaman dan disayang. Ares pikir, inilah yang sesungguhnya ia butuhkan. Ia ingin dicintai, disayangi, dan diperhatikan. Meski ia yakin rasa cintanya bukan pada gadis yang kini duduk di jok belakang motornya. Meski ia percaya rasa sayangnya bukan pada gadis yang kini memeluk tubuhnya. Tetapi, Ares akan tetap mencoba, sebab inilah pilihannya.

"Sayang, berhenti dulu yuk? Kamu nggak capek nyetirnya?"

Bahkan dipanggil seperti itupun ia tak berdebar. Katakanlah Ares brengsek, sebab memang benar itu adanya. Seharusnya ia merasa bersalah telah bermain-main dengan perasaan seorang gadis yang baik hatinya.

Tapi sungguh, bukan seperti itu maksud Ares. Ia hanya ingin mendapatkan apa yang selama ini tak pernah ia rasakan. Ares juga berjanji, bahwasanya ia akan mencoba untuk menghapus sosok di hatinya, lantas membiarkan Mora masuk menggantikan sosok itu.

Jemarinya mengusap lengan yang melingkar di perutnya dengan lembut. "Kamu laper, Ra?"

Ares dapat melihat Mora menggeleng lewat kaca spionnya. "Nggak terlalu sih, tapi aku capek banget. Emang kamu nggak capek apa?"

Benar. Pertama kali Mora naik sepeda motor adalah bersamanya. Mora terbiasa naik mobil dengan jok yang empuk dan lembut, berbeda dengan jok motornya yang keras. Ares benar-benar bodoh, mengapa juga ia mengajak Mora berkeliling menghabiskan bensin motornya? Sudah jelas Mora akan kelelahan. Namun di sisi lain, ia bahagia mengetahui fakta bahwa Mora sudi ikut berkendara dengannya.

Tak lama kemudian, Ares berhenti di sebuah warung sate ayam langganannya. Mereka berdua masuk ke dalam tenda jualan tersebut dan duduk di kursi yang masih kosong.

"Nggak apa-apa kan makan di sini?" tanya Ares memastikan.

"Ya nggak apa-apa lah, emang kenapa kalo makan di sini?" Alisnya bertaut penasaran.

"Nggak, aku tau kok kamu pasti belum pernah makan di tenda pinggir jalan kayak gini kan, Ra? Jadi ya aku takut aja kamu nggak nyaman atau malah jijik."

"Ngaco ah kamu. Buruan pesen, aku nggak tau cara mesennya gimana."

Ares tergelak. Tangannya mengacak rambut lembut Mora yang baru saja Mora gerai, menjadikan gadis itu mencebikkan bibirnya, merasa sebal.

Ares memesan 12 tusuk sate ayam dan satu piring nasi hangat serta dua gelas es teh setelah bertanya pada Mora; apakah kekasihnya itu ingin makan nasi atau tidak.

"Enak nggak?" tanya Ares tepat setelah Mora menelan gigitan pertamanya.

Mora tersenyum lebar. "Enak banget! Nyesel nggak nyoba dari dulu."

"Mau coba pake nasi nggak?"

"Aku kan nggak pesen nasi."

"Punyaku lah, sini aku suapin."

Orang-orang yang melihat mereka berdua malam itu pasti sangat percaya jikalau keduanya berkata saling mencinta. Sebab romantisme yang ditunjukkan oleh mereka begitu menghangatkan jiwa. Bagaimana Ares selalu tersenyum hingga matanya menyipit sembari terus dengan telaten menyuapi Mora nasi hangat miliknya, dan bagaimana Mora dengan patuh menerima suapan dari kekasihnya dengan pipi yang penuh rona merah muda.

*

Hari ini mungkin menjadi malam paling membahagiakan dalam hidup Ares. Hubungan asmaranya berjalan sesuai harapannya; give and take. Jika bukan dengan Mora, Ares tak yakin ia akan mendapatkan hubungan yang seperti ini. Jika Ares memaksa untuk bersama dengan sosok yang dicintanya, mungkin ia hanya akan terus merasa tertekan dan tak kunjung menjumpai bahagianya.

"Res, abis rapat?"

Setelah menyimpan motornya di garasi, Ares masuk ke dalam kamarnya dan menemukan Gam tengah duduk di meja belajarnya sembari bermain game online.

"Ngga, abis jalan sama Mora," jawab Ares sekenanya dan segera meraih handuknya yang tergantung di pintu.

"Kamu beneran cinta sama Mora?"

Ares berhenti melangkah dan menoleh ke arah Gam yang masih sibuk menatap layar smartphone-nya. "Maksud kamu apa?" tanyanya bingung.

"Nggak maksud apa-apa, nanya aja. Kamu juga tinggal jawab kan." Nampaknya Gam masih asyik bermain game dan enggan menatap Ares barang sedetik.

"Iya."

Kali ini Gam memutuskan menatap Ares seusai mengeluarkan sumpah serapah sebab kekalahannya pada pertarungan game online tadi. "Iya apa?"

"Aku cinta sama Mora," balas Ares mantap, entah mengapa tak ada keraguan atau tanda-tanda kebohongan.

Gam mengangguk-angguk dan beranjak dari duduknya. "Berarti nggak apa-apa dong ya kalo aku cinta sama Al?"

Ares terdiam. Sementara Gam  melangkah menghampiri Ares yang tak juga meresponnya. "Aku balik dulu ya," tukasnya seraya menepuk pelan bahu kiri Ares. Ia kemudian keluar dari kamar meninggalkan Ares yang masih sibuk berkelahi dengan pikirannya sendiri.

Memperhatikan yang lain namun mengabaikan diri sendiri pun keliru. []

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang