Chapter 10

246 63 1
                                    

Évasion | Written by eosfos x xcharmel

Gelak tawa bergema dalam rumah kecil beratapkan kayu pada keesokan hari. Di bawahnya, dua insan sebagai pelakunya juga tengah mengisi perut mereka dengan roti, sorrel, dan ginger ale di pertengahan hari. Ada kilat harapan dan kasih yang tercermin ketika Felix dan Dietrich memandang satu sama lain, untuk menghabiskan masa muda mereka bersama-sama hingga tiap helaian surai berubah layaknya barisan mega di cakrawala.

Seperti dandelion, pawana seakan membawa kenangan serta pengalaman manis itu dan menggantikannya dengan keadaan mencekam dalam sekerling mata. Dari mana datangnya orang banyak yang berhasil mengoyak batin kedua insan ini dan mencengkeram raga mereka dengan paksa. Tanpa ketukan pintu yang bersahabat, siang itu dobrakan dan teriakan dari seseorang menyapa keduanya setelah suara derap langkah beriringan yang terdengar begitu bising.

"Dietrich Changbin Balthasar, keluar kau bajingan pengkhianat negara! Kau harus diadili atas perintah raja!"

Bukan hal baik tentunya, kedua insan itu tercekat dan kelu saat mendengar suara dari balik pintu kayu itu. Gema dari gelak tawa mereka telah dirempuh begitu saja tanpa ampun. Hal yang sungguh tak pernah Dietrich harapkan, jika bisa ia akan terus berdoa agar hari ini tak akan pernah datang dalam hidupnya dan ksatria itu dapat terus merasakan bahagia bersama seorang yang ia kasihi selamanya, tanpa pernah ingin kembali atau ingat ke mana arah jalan pulang.

"Dietrich ... siapa mereka? Mengapa orang-orang itu tahu namamu?"

Netra Felix melebar sempurna. Tangannya bergetar hebat di kala sendok kayu masih ada dalam genggamannya. Lelaki manis itu butuh jawaban dari sang ksatria—terkait siapa dan mengapa. Namun Dietrich sama heningnya dengan Felix, membiarkan ketakutan terus merambah dalam ketidakpastian yang lelaki itu rasa.

Pengkhianat negara, kata mereka. Sudah jelas Dietrich tahu jika orang-orang ini adalah utusan dari Aldebaran yang datang mencarinya.

"Dietrich, jawab aku!" nada bicara Felix semakin meninggi di kala ia tak kunjung mendapat tanggapan.

Orang banyak itu melangkahkan kaki segera masuk ke dalam rumah kecil yang mereka singgahi. Bukan hanya tak mengindahkan satu pun pertanyaan lawan bicaranya, Dietrich juga seakan tak berdaya untuk mengusir orang-orang asing itu dari hadapan mereka. Beberapa orang di antaranya membelah kerumunan untuk mengikat Dietrich dan Felix dengan tali tambang yang amat kencang dan menyakitkan. Jelas sekali tersirat rasa ketakutan dan gelisah dari wajah Dietrich. Namun, terlebih lagi bagi Felix yang sama sekali tak mengerti situasi macam apa yang baru saja menimpa dirinya dengan ksatria yang ia temui beberapa waktu lalu ini.

"Lepaskan aku dan Dietrich! Apa maksud kalian mendatangi tempat ini dan menculik kami berdua?"

"Jelas sekali kukatakan kami datang untuk menangkap pengkhianat negara ini atas perintah raja!"

Felix mengernyit keheranan, "Raja mana yang kalian maksud?"

"Raja kami, Achilles dari Aldebaran. Kau tidak perlu banyak bertanya, lelaki manis. Cukup ikuti perintah—"

Dalam sekali sentakan, Dietrich mengayunkan kaki bebasnya setinggi mungkin ke arah kepala seorang serdadu Aldebaran yang baru saja berbicara kepada kekasihnya, menyebabkan orang itu tersungkur ke lantai.

"Jaga ucapanmu itu, bedebah!"

Merasa tersinggung, seorang yang diumpati itu segera melempar sebuah pukulan pada perut Dietrich hingga membuat sang ksatria terbatuk-batuk sementara Felix berteriak ketakutan melihat kekasihnya terus disiksa oleh mereka yang katanya utusan raja itu hingga babak belur setelah pelipis dan rahangnya sekalian menjadi sasaran tinju dari banyak orang.

"Hentikan! Jangan menyakiti Dietrich, dasar kalian manusia berhati iblis!"

"Diamlah, anak manis. Ini bukan urusanmu. Apakah aku perlu menghentikanmu dengan sebuah tamparan atau kecupan?"

Seorang dari pada mereka yang mengundang gelak tawa bagi seluruh pasukan di belakangnya, padahal sama sekali tak ada hal lucu yang terdengar dari sudut pandang Felix dan Dietrich.

Kata-kata itu seolah menuangkan minyak ke dalam bara api, berangsur menyulut amarah Dietrich. Ingin sekali dirinya melayangkan tinju atau mengayunkan kakinya kembali tepat ke arah wajah mereka. Namun, kali ini Dietrich benar-benar kewalahan. Terutama rasa pening yang sejak tadi menjalari seluruh bagian kepala serta pandangannya yang kini memburam.

"Lihat itu, pahlawanmu sudah tak mampu lagi menyangga raganya sendiri. Berhenti berteriak maupun memberontak dan ikutlah dengan kami!"

Seorang yang tadi kembali berucap kepada Felix dan mengiringnya secara paksa untuk pergi meninggalkan Regulus dengan pasukan berkuda dari kerajaan asal Dietrich seperti seorang tersangka kejahatan yang telah mencelakakan nyawa orang. Padahal, ia sama sekali tak mengerti di mana letak kesalahan Dietrich maupun dirinya sendiri.

Ini adalah kali pertamanya Felix berjalan meninggalkan tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan ke luar sana. Entah apa yang akan dihadapi, Felix pun tidak mengerti. Felix tidak bisa berbohong bahwa ia pernah berharap untuk berjalan-jalan ke luar sana dan melihat seperti apa dunia luar layaknya para bangsawan. Namun, bukan seperti ini caranya.

Perjalanan ini begitu melelahkan. Butuh berhari-hari mereka semua mengembara hingga sampai di Kerajaan Aldebaran. Tentu saja dengan tubuh yang sebelumnya telah diruntuhkan oleh para pasukan kerajaan itu Dietrich begitu lemah, ia pun tersiksa kala menatap raga Felix yang kian hari kian nampak begitu rapuh. Mau menanti-nantikan kota tujuan pun sama mengerikannya dengan insiden penangkapan di hari lalu, pasti hanya ada siksaan dan cemooh yang telah menanti mereka di kampung halaman Dietrich.

Jutaan pasang mata mengamati kedatangan mereka, mungkin orang bertanya siapakah yang datang dengan pengawalan pasukan berkuda. Namun, tatapan itu berlalu begitu saja setelah melihat hanya dirinya dan seorang lelaki lain yang digiring pulang secara paksa setelah sekian lama mungkin menjadi buronan karena dicap sebagai pengkhianat negara. Aldebaran terasa begitu asing bagi Dietrich, tak ada lagi sapa hangat atau puja puji dari keramaian kota yang lama tak ia sambangi ini, hanya ada rasa takut dalam dirinya terhadap begitu banyak siksaan yang pasti telah menantinya tak lama lagi.

— [♡] ; À suivre. 

Évasion | ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang