Chapter 13

210 56 3
                                    

Évasion | Written by eosfos x xcharmel

Estevan dan Felix sudah kembali menapaki Regulus, dengan langit abu-abu tanpa ada sinaran mentari memburai, membiarkan seluruh kota nampak seakan berduka bagi keduanya. Tuan Leonard telah mangkat di tengah musim dingin ini setelah beberapa jam lamanya berada dalam ruangan bersama briket batubara yang perlahan mencabut sukmanya dengan paksa oleh asap sepekat malam, meninggalkan Estevan putranya nan kini hanya bisa termenung membiarkan air mengalir dari pelupuk matanya bersama Felix yang juga merasakan kehilangan.

Namun, bukan hanya kedua lelaki Regulus itu saja rupanya yang bersedih. Sama halnya dengan mereka, Dietrich pun terus merasakan risau sejak terakhir kali ia melihat Felix memohon izin meninggalkan kediaman keluarganya pada saat makan malam berlangsung. Terlebih lagi jika mengingat penuturan ayah dan ibundanya yang mengundang Felix untuk datang ke pernikahan yang bahkan sudah Dietrich lupakan itu.

Ah, Felix. Semoga kekasihku baik-baik saja.

Membelah hutan yang kini telah menguning serta menjejaki daun-daun ranggasan untuk memanah kelinci nahasnya tak kunjung melepas lelaki manis itu dari benaknya. Jika saja detik bisa berbalik arah, Dietrich Changbin Balthasar pasti sudah berujar lantang pada kedua orang tuanya soal Felix yang berhasil menambat hatinya. Andaikan ia mengingat soal pertunangan bodoh itu. Andaikan saja dasar kepergiannya dari Aldebaran itu tidak luput dari seluruh memorinya.

Dietrich sungguh mengakui betapa hebat pengaruh seorang lelaki manis bernama Felix yang berhasil mengalihkan dunia malangnya. Tak henti-hentinya sang ksatria berangan untuk meluruskan semua ini kepada belahan jiwanya, Felix tercinta. Kesesakan yang bergemuruh di dalam rusuknya mengalir begitu saja, menepis warna jingga keemasan yang melukiskan diri pada cakrawala—tanda bahwa ia harus kembali ke rumah jika tidak ingin membuat kericuhan di negeri Aldebaran untuk sekian kalinya.

Raga ksatria itu kembali mendapati kastil megah milik keluarganya. Namun, bukannya mendapat waktu untuk istirahat, sang ayah malah memintanya kembali bersiap menemui keluarga tunangannya yang telah mengundang keluarga Balthasar makan malam beberapa jam lagi. Ingin menolak pun ia tak bisa, sudah terlalu besar kericuhan tempo hari untuk menambah beban dalam hati lelaki itu jika harus berdebat dengan ayahanda, jadi di sinilah mereka semua, kembali melaksanakan makan malam keluarga meski dengan menu berbeda dan sosok berbeda yang menempati kursi di hadapan Dietrich.

Sudah saatnya bagi putra dan putri bangsawan itu bertemu meski mereka enggan membuka suara di kala keluarga kedua belah pihak sibuk berbincang mengenai pernikahan, mereka malah sengaja menyibukkan diri dengan berbagai hidangan yang telah disajikan dan menciptakan suara dari sendok yang beradu dengan piring. Perempuan di hadapannya itu bernama Sienna, putri dari keluarga Alexandria yang berpenampilan anggun dan berparas elok.

Malam ini adalah kali pertamanya Dietrich dan Sienna bertemu dengan modal pertunangan politik. Bahkan, mengetahui rupa masing-masing pun rasanya tidak pernah. Tradisi memang selalu keji sejak ratusan tahun lamanya. Seorang bangsawan harus menikah dengan keturunan bangsawan lain yang telah ditentukan oleh orang tua mereka. Pun, seorang putri tidak bisa memilih dengan siapa nantinya akan bersanding.

Sebab pada masa itu, cinta hanya diperuntukkan bagi manusia kelas dua.

"Pernikahan putra dan putri kita akan segera berlangsung, ada baiknya jika kita segera merencanakan semuanya saat ini," ucap ibunda Dietrich dengan senyuman dan binar pada wajahnya.

"Tentu saudariku, mari kita sepakati di mana pernikahan akan diadakan?"

"Bagaimana dengan pekarangan rumah keluarga kami? Luas tanahnya kurang lebih dua ekar," Tuan Alexandria menawarkan.

"Bisa kami pertimbangkan, Tuan. Pekarangan rumah ini sangat indah dan asri. Kami yakin tempat ini akan menampung banyak tamu. Bukan begitu, Dietrich?"

Dietrich melempar senyum penuh dusta pada sang ibunda, "Benar, Bu. Tamu undangan pasti akan menyukainya juga," jawab lelaki itu menggugah sekali lagi senyuman dan rasa bahagia dalam benak ibundanya.

"Bagaimana dengan pendapatmu, Sienna?" tanya nyonya Alexandria pada putrinya.

"Ah ... benar yang dikatakan olehnya."

Gadis berusia dua belas tahun itu terdengar setengah hati dalam bertutur kata. Pemuda yang dianggap sebagai calon suaminya itu tidak menoleh barang sekali pun. Walau begitu, orang tua dari kedua pihak mempelai tidak mengacuhkan hal yang terjadi di antara keduanya. Pertunangan antara putra-putri dari keluarga Balthasar dan Alexandria telah dianggap sebagai takdir yang mengikat keduanya bagai sulur-sulur tanaman hijau. Tak ada seorang pun yang peduli jika sulur itu memiliki duri atau tidak.

Hingga mentari berpulang ke peraduannya, kepedihan itu masih bersemayam di dalam relung hati pemuda bergelar ksatria dengan nama Dietrich Changbin Balthasar. Begitu sial rasanya setelah ayah dan ibu mereka bersepakat untuk menyelenggarakan pernikahan pada bulan depan.

[♡] ; À suivre. 

Évasion | ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang