Chapter 18

195 43 0
                                    

Évasion | Written by eosfos x xcharmel

Kediaman keluarga Balthasar sama kacaunya dengan apa yang benak Dietrich rasakan. Jujur saja kepergian Sienna sama sekali tak pernah terbayang sebagai dampak dari hal mempertahankan pendapat masing-masing individu dua belah pihak keluarga bangsawan ini, meski di sisi lain ada seorang lelaki manis bernama Felix yang tak kunjung mampu menyorotkan netranya pada tatap tiap orang yang berada di ruangan sebab terlalu takut dan gelisah bila saja ia ternyata adalah penyebab semua kekacauan ini.

"Renungkan apa yang telah kalian berdua perbuat! Putri bungsuku telah menghilang entah ke mana dan pernikahan ini terpaksa dibatalkan oleh Bapa Uskup. Kalian seolah-olah telah melempar wajah kami dengan kotoran sapi, camkan itu!"

Aksara penuh hunjaman dari Tuan Alexandria rupanya berhasil menggugah amarah Tuan Balthasar dengan segala rasa malu dan muaknya terhadap Dietrich hingga suara hantaman tempayan pada meja di ruangan itu menggema dengan seluruh serpihannya tercecer turut serta memperkeruh suasana yang sebelumnya telah begitu mencekam.

Dengan serta-merta, Dietrich menarik pemuda yang dikasihinya itu agar menjauh dari segala kekalutan di depan matanya. Ia mendapati raut wajah Felix yang terpukul akibat kedua orang yang seharusnya menjadi kepala keluarga justru malah menyakiti hati kecilnya tanpa ampun. Belum pernah selama dua puluh satu tahun hidupnya Dietrich sebegini dipermalukan, tentu di samping pengalamannya menjadi tertuduh pengkhianat negeri di muka pengadilan beberapa waktu lalu.

"Puas sudah kau mempermalukan keluargamu sendiri dengan keputusan bodoh itu Dietrich? Lihat apa yang telah kau akibatkan. Sienna pergi dan pernikahan kalian yang suci pun dibatalkan! Apakah ini bentuk tanggung jawab yang selama ini kau pahami sebagai seorang ksatria?"

"Bagaimana bisa Ayah menyudutkanku atas semua hal yang terjadi di sini sementara aku putramu bahkan sama sekali tak memiliki hak untuk menentukan sendiri siapa orang yang akan kunikahi dengan penuh kasih dan berbahagia bersamanya di masa depan?"

"Iblis apa yang merasukimu, Dietrich? Sejak kapan kau berpikir bahwa kau berhak untuk menentang orang tuamu?"

"Lantas, apakah dengan melakukan sebuah perjodohan berarti ayah telah melaksanakan kehendak Tuhan? Apakah semua ini berarti ayah membawakan kepadaku seseorang yang telah Tuhan pilih bagiku untuk kukasihi seumur hidup meski tak pernah barang sekalipun aku memandang padanya?"

"Beraninya kau Dietrich!"

"Bukankah sudah seharusnya kita melakukan semua ini dengan kerelaan hati dan bukan keterpaksaan? Ayah, bukankah Tuhan mengasihi orang yang memberi dengan sukacita? Bagaimana bisa ayah memaksaku sedangkan aku tak mampu memberi Sienna kasih yang tulus dengan kesungguhan dan sukacita?"

Degup jantung ksatria itu semakin terpacu dengan pembelaan dirinya di hadapan sang ayah yang baru saja ia lontarkan mungkin sekali seumur hidup setelah terus berada di bawah tekanan keluarga bangsawan dengan segala kehormatan, gengsi, dan hal-hal yang harus ia patuhi.

Tak ada lagi kalimat yang mengudara dalam ruangan yang mereka tempati. Barangkali kedua pihak keluarga itu telah mengerti bahwa ini bukanlah yang pantas Dietrich maupun Sienna dapati. Pada hakikatnya anak-anak mereka lahir dengan kedudukan sebagai orang merdeka, lain halnya dengan budak belian yang harus menuruti perintah sang tuan. Pandangan mereka akan tradisi dan gengsi rupanya menyalahi sesuatu yang selama ini dijadikan pedoman, yaitu iman, harapan, dan kasih.

"Jika itu yang kau maksud, baiklah. Tetapi kau harus mengembalikan putriku, Dietrich. Aku akan memberikan waktu sampai esok pagi. Carilah dia sekarang, karena kau yang berhasil membuatnya pergi."

Begitu tukas Tuan Alexandria, kira-kira setelah cukup lama mereka berdiam diri. Sebagian dari benak sang ksatria menganggap bahwa ayah Sienna memiliki harga diri yang begitu tinggi sehingga walaupun sudah kalah telak, ia tetap membuat Dietrich sebagai kambing hitamnya.

Peraduan antara langkah keduanya dan gugur daun menjadi salah satu bukti bahwa tekad pemuda itu tidak padam begitu saja. Nyala obor menjadi lambang bagi Dietrich maupun Felix untuk bergerak lebih jauh, sebelum kegelapan benar-benar melahap seluruh penjuru Aldebaran. Dingin tak menghalau tubuh ringkih Felix untuk menemani sang pujaan hati karena ia mengerti bahwa jalinan kasih mereka layak diperjuangkan. Kini tujuan mereka hanya satu, yaitu menemukan Sienna yang tengah melarikan diri.

"Jika aku adalah Sienna, menurutmu ke mana aku akan melarikan diri?" tanya Felix seraya merapatkan jubah yang dikenakan olehnya.

"Aku belum terpikir sama sekali akan hal itu. Sepertinya karena perutku belum terisi sejak tadi."

"Bukankah kita semua belum menyentuh jamuan makan malam sama sekali, Dietrich? Bagaimana jika kita singgah sejenak untuk membelinya?"

"Aku tahu sebuah tempat yang baik, Felix."

Kedua pemuda itu memutuskan untuk berjalan kembali menyusuri jalan nan gelap, menghalau hening dan menusuknya angin malam dengan perbincangan ringan dan sedikitnya gelak tawa hingga akhirnya sampailah mereka pada toko milik Peter Hansen. Toko itu rata-rata menyediakan segala perbekalan untuk pelancong, namun di samping itu rupanya Han—begitu Dietrich memanggilnya—juga memiliki bahan pangan untuk dijual kepada masyarakat Aldebaran.

"Selamat datang di toko—"

"Sienna?"

Belum sempat Peter Hansen merampungkan salamnya, pandangan kedua pemuda itu kini melebar sempurna akibat mendapati Sienna tengah duduk semeja dengan si pemuda berwajah tupai sembari mengenyam semangkuk sup ayam.

— [♡] ; À suivre.

Évasion | ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang