Outro

191 41 1
                                    

Évasion | Written by eosfos x xcharmel

Langit Aldebaran pagi ini berlukiskan merah muda, menyapu habis gurat kelam serta bintang-bintang malam. Elok rupa bumantara kerajaan itu seakan menyambut sang ksatria yang telah bersiap dengan zirah serta jubahnya pada hari bahagia untuk berucap janji suci bersama cintanya sehidup semati.  

Kenyaringan bunyi viola d’amor sahut-menyahut dengan petikan lute dan bagpipe. Menjadi serangkaian andante yang belum pernah didengar oleh si lelaki manis dari negeri seberang. Nadanya jauh lebih mendayu dan penuh gairah ketimbang serangkaian harmoni yang pernah menyapa rungu Felix di pengebumian Tuan Leonard. Yang dipersembahkan hari ini justru amabile, menyerupai desiran pawana nan meninabobokkan ladang edelweiss kala hangat musim panas tiba.

Lantas, derit kayu eboni menandakan si pengantin keluar dari bilik dengan pakaian terbaiknya. Lapisan pertama terdiri dari sutra Tiongkok paling halus, kemudian jubah linen dengan tenunan rapat. Seakan lembar kain itu dapat bercakap-cakap dengan dunia bahwa si pemakai bukan lagi pekerja ladang atau rakyat jelata. Membuat berpasang-pasang mata tertuju pada si manis Felix yang beranjak kepala dua pada tahun yang sama. Hanya menawan, satu-satunya adjektiva yang timbul dari hati kecil Dietrich Changbin Balthasar kala ia memandangi lelakinya. Semestanya. Felix-nya.

Terik mentari pagi membias pada wajah manis Felix yang berjalan seiringan dengan Dietrich tepat di sebelah kanan tubuh lelaki itu. Dalam hati seakan bermekaran ribuan bunga kian disambut alam raya pada tiap langkah kedua mempelai disertai dua orang lelaki selaku sahabat Dietrich dengan pedang dan kuda sebagai pelindung bagi kedua pihak nan berbahagia. Tepat di belakang mereka, kedua orang tua Dietrich serta Estevan pun turut mengiring sang ksatria dan mempelainya.

Para aristokrat yang menjadi tamu undangan membentuk barisan di pinggir jalan masuk katedral. Sahabat dan lawan politik ayah Dietrich yang mayoritas memiliki jabatan di negeri Aldebaran, seluruh anggota keluarga Alexandria, bahkan Jeongin Beathan Hayes si tukang roti bersama kekasihnya, Ignatius Hyunjin Elenio dari Regulus juga menunjukkan batang hidungnya di hari bahagia Felix dan Dietrich.

Buaian irama indah dari para seniman di sisi hadirin menyambut datangnya pemeran utama serta Bapa Uskup dan para diakon yang berdiri di depan pintu masuk tepat di bawah serambi membacakan rentetan pertanyaan pembuka serta membawakan cincin bagi sang mempelai sebelum perjanjian mas kawin berupa 13 koin disampaikan oleh dewan pengurus Gereja.

“Berapa usia masing-masing mempelai? Apakah terdapat ikatan darah di antara kalian berdua?”

“Saya dua puluh satu, dan sembilan belas untuk pengantin saya. Tidak ada ikatan darah di antara kami.”

Bapa Uskup mengangguk, “Lantas, apakah ibunda dan ayahanda dari Benedictus Felix Leonard menghendaki pernikahan kalian?”

“Kedua orang tua Felix telah lama tiada. Namun walinya, Estevan, menghendaki dan memberi restu atas hubungan kami hingga jenjang ini.”

Tepat di hadapan Uskup dan pintu masuk, jawaban Dietrich terdengar lantang dan pasti. Beberapa pertanyaan lain dilontarkan untuk memastikan bahwa di depan sana tiada hambatan bagi pernikahan keduanya.

Kini pintu megah katedral terbuka lebar, menerima kedua belah pihak nan berbahagia untuk berdiri dan hadapan Uskup disertai iring-iringan mereka yang setia menanti hingga janji pernikahan terucap dari Dietrich kepada Felix pengantinnya pada detik Uskup memberikan waktunya bagi sang ksatria untuk menyampaikan sumpah sehidup semati tersebut. 

“Aku mengambil engkau menjadi pendampingku, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

Menurut hukum dan tradisi, hanya satu mempelai yang diharuskan untuk mengutarakan janji suci. Sementara belahan jiwa mereka memang diharuskan untuk larut dalam keheningan dan menerima sumpah sehidup semati itu. Tepat sebelum cincin mereka diberkati, Bapa Uskup membekali Dietrich dan Felix dengan beberapa hal untuk perjalanan hidup baru mereka. Baik dalam hal membentuk persekutuan seumur hidup yang monogami dan tak terceraikan, mengutamakan bonum coniugum atau kesejahteraan, hingga menjadi sarana kasih Tuhan bagi satu sama lain hingga maut memisahkan.

"Diperkenankan bagi saudara Dietrich memberikan cincin kepada saudara Felix."

Diselipkannya cincin pada jari pertama, kedua, serta ketiga Felix oleh Dietrich sebagai lambang dari cinta dan persatuan bahwasanya mereka akan tetap bersama sepanjang hayat hidup. Lelaki manis itu menatap jemarinya yang terhiasi oleh ingkar indah keemasan, sorotnya sedikit buram tergenangi oleh haru yang tercurah pada air mata.

"Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus, dengan cincin ini aku menikahimu."

Benedictus Felix Leonard—saat ini menjadi Balthasar—merasa telah menjadi ciptaan Tuhan yang paling bahagia di dunia kala netra itu menatap cintanya sesaat usai berucap janji suci. Dietrich, lelaki yang berjanji untuk sehidup semati dengan dirinya itu kian hari menjadi kebanggaan serta separuh jiwanya meski diawali hal sederhana secara tak terduga.

Kedua mempelai nan berbahagia pun kini bertelut di depan altar, diberkatilah kedua insan itu oleh Uskup kala seorang dari iringannya memegang kanopi di atas kepala kedua mempelai hingga usai. Sang pemimpin Gereja kemudian memberkati mereka atas betapa kudusnya Tuhan dalam mengaruniakan cinta di hati manusia pada hari itu.

Sebuah ciuman penuh syukur dan sukacita didaratkan oleh sang ksatria pada mempelainya. Tidak ada kabut nafsu pada kedua obsidian Dietrich, begitupun dengan milik mempelainya yang terpejam damai. Semuanya terjadi begitu saja, bergulir dengan waktu hingga keduanya melangkahkan kaki ke arah pintu katedral kala paduan suara mengumandangkan Agnus Dei sebagai akhir dari upacara pernikahan Dietrich dan Felix.

— [♡] ; La fin.

Évasion | ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang