Chapter 12

211 61 6
                                    

Évasion | Written by eosfos x xcharmel

Tiada lagi hal yang mampu menggetarkan hari Felix ketika ibu Dietrich mengundang dirinya ke jamuan makan malam di rumah mereka. Selepas keduanya angkat kaki dari gedung pengadilan, seorang kusir mempersilakan Dietrich dan Felix untuk menaiki sebuah kereta kuda milik keluarga Balthasar. Tentu saja, kereta kuda bukanlah hal yang biasa bagi Felix. Dietrich memang pernah mengatakan bahwa ia berasal dari keluarga bangsawan di mana sang ayah menjabat sebagai Duke. Namun, tetap saja. Ksatria di sampingnya ini seolah memiliki seribu kejutan untuk Felix yang menanti di depan sana.

"Kau menyukainya?"

Dietrich melontarkan tanya sewaktu pawana petang membelai wajah cantik yang lebih muda. Kereta yang mereka tumpangi bertenagakan dua ekor kuda, sehingga mampu melesat lebih cepat. Ayah dan ibu Dietrich berada pada kereta yang lain di belakang sana, menyisakan dua pemuda yang saling menaruh kasih itu agar mendahului mereka.

"Sangat, Dietrich. Ini kali pertamaku menaiki kereta kuda. Kita sedang dalam perjalanan menuju rumah keluargamu, kan?"

"Bagus jika begitu. Ya, berhubung sebentar lagi makan malam."

"Sejujurnya ... aku takut pada kedua orang tuamu. Aku bukan siapa-siapa, Dietrich. Mereka bisa saja membenci seorang dari kasta rendahan sepertiku," Felix meremas ujung pakaiannya kuat-kuat.

"Kumohon, jangan pernah beranggapan seperti itu lagi. Kau manis dan baik hati, Felix. Kedua orang tuaku pasti akan memilihmu ketimbang seorang bangsawan yang pongah."

Sebuah lengkungan tercipta pada bibir Felix. Lelaki manis itu tidak mengatakan apa-apa lagi karena rasa gugup mengambil alih dirinya. Tentu saja Dietrich Changbin Balthasar tidak tinggal diam. Sang ksatria mendaratkan jari-jarinya di atas punggung tangan yang lebih muda, lantas menautkan keduanya di atas pangkuan Dietrich. Sebab, ksatria itu mengerti bahwa ia tidak bisa menunjukkan rasa kasihnya di tempat umum selain dengan cara menggenggam tangan Felix.

"Tuan Dietrich, kita sudah tiba di rumah keluarga Anda."

Sang kusir membantu Dietrich dan Felix untuk turun dari kereta. Ucapan terima kasih terdengar tepat setelah keduanya memijak tanah. Lagi-lagi pemuda dengan nama belakang Averill itu ternganga, karena yang dimaksud sebagai 'rumah' oleh Dietrich dan keluarganya adalah sebuah istana. Tembok berbatu yang dihiasi kaca, lantai bertingkat, serta menara yang menjulang tinggi menambah kesan megah ketika Felix memandanginya dari luar. Belum lagi taman dengan berbagai macam flora yang tumbuh di sekitar beranda rumah tersebut.

"Ayo masuk, Felix."

Makan malam di rumah keluarga Balthasar itu berlangsung sesaat setelah semua orang terduduk sempurna di ruang makan, nampak di atas meja tertata berbagai hidangan dan minuman yang sebelumnya tak pernah terbayang akan Felix nikmati, terlebih lagi dengan keluarga Balthasar yang menyambut baik kehadirannya malam ini.

Benar kata Dietrich bahwa orang tuanya menyukai Felix, mereka sempat berbincang sembari menanti hidangan disajikan tadi, bahkan di penghujung acara makan malam ini pun ibunda Dietrich masih terus bercerita mengenai putranya kepada Felix dengan antusias dan nampak bahagia setelah mengetahui bahwa sang ksatria kembali pulang dengan selamat. Tuan dan Nyonya Balthasar juga kerap berterima kasih karena Felix telah bersedia menampung putranya sehingga mereka tidak perlu khawatir.

"Felix, mengingat bahwa kamu adalah seorang teman baik Dietrich sekarang, maka dengan senang hati saya selaku ayah Dietrich hendak mengundangmu pada acara pernikahan putra kami satu-satunya ini pekan depan."

Seketika senyum manis dari wajah Felix melebur, ia nampak terkejut dan menatap Dietrich penuh tanya. Keheningan bahkan sempat datang sebelum akhirnya Tuan Balthasar kembali membuka suara.

"Bagaimana, Felix? Kau tak sedang terburu-buru untuk kembali, bukan?"

Tak ada hal yang bisa lelaki itu lakukan selain menganggukkan kepala tanda mengiyakan undangan itu dengan membubuhi senyuman canggung pada wajahnya. Meski sejujurnya hati lelaki itu sedang tersayat dengan kenyataan bahwa Dietrich seakan mempermainkan dirinya selama ini. Belum pernah Dietrich mengucapkan sepatah kata pun mengenai perjodohan yang dimaksud oleh kedua orang tuanya.

Sebab, yang Felix ketahui tentang Dietrich Changbin Balthasar hanyalah sebatas seorang ksatria yang mengembara dari kerajaan seberang hingga terdampar di Regulus karena mengalami musibah perampokan. Rasanya Felix tak benar-benar mengenal Dietrich dengan baik selama ini, ia sadar bahwa dirinya hanya orang asing yang baru saja datang dan jatuh cinta terlalu cepat pada ksatria asing itu.

Air mulai tergenang di pelupuk mata Felix tanpa disadari. Mati-matian lelaki manis itu menahannya agar tidak berderai dan menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak, orang tua Dietrich tidak perlu tahu-menahu soal kisah asmaraloka Felix dengan putra kesayangan mereka. Bahkan sebelum kisah ini diperjuangkan, nyatanya harapan sudah karam di depan pintu gerbang.

"Tuan, Nyonya, saya mohon diri untuk menumpang ke kamar kecil sejenak."

Felix meninggalkan ruangan yang penuh kebahagiaan orang tua Dietrich akan pernikahan putranya itu dengan gundah, ia tak berjalan menuju kamar kecil seperti apa yang ia katakan pada tuan dan nyonya sebab yang ia butuhkan adalah angin malam untuk dapat dengan cepat membantunya mengatasi runtuhan air mata.

"Felix! Benedictus Felix Averill!" panggil seseorang dari jarak yang tak terlalu jauh sesaat setelah lelaki manis itu menutup kembali pintu rumah keluarga Balthasar. Netranya mengerjap selama beberapa kali dan sedikit menyipit demi terlihatnya dengan jelas siapa pemilik suara itu.

"Estevan! Ada apa kemari? Dan darimana kau mengetahui keberadaanku di sini?"

"Aku bertemu dengan Pangeran Christopher di jalan sewaktu ia pulang berkuda. Jadi, aku sekalian bertanya kepada orang itu," jelas Estevan setelah mengatur napasnya akibat berlari-lari.

"Jadi, ada apa kau mencariku?"

Estevan sejenak terdiam, netranya berkaca-kaca kala ditatap oleh sahabatnya malam itu sebelum berucap mengenai berita yang ia bawa.

"Ayahku ... telah berpulang ke rumah Tuhan, Felix. Semua warisan ia berikan padaku dan sepupuku yang tertulis dalam surat wasiatnya."

Adalah waktu yang sangat bagi untuk Estevan untuk datang membawa kabar hingga ke Aldebaran pada situasi semacam ini. Sebab, tidak terbayang lagi dalam benak lelaki manis itu mengenai harus ke mana langkahnya dibawa untuk pergi sejauh mungkin dari rumah Dietrich.

Felix pun membawa Estevan untuk terlebih dahulu bertemu tuan rumah yang masih berbincang di ruang makan tersebut untuk menyampaikan izinnya meninggalkan Aldebaran sebelum hari pernikahan Dietrich—kekasihnya—tiba.

"Tuan dan Nyonya Balthasar, Dietrich ... aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Aku harus menarik kata-kataku untuk hadir di pernikahan Dietrich minggu depan. Ayah Estevan, tuan pemilik tanah di tempatku bekerja meninggal dunia, sehingga aku akan kembali ke Regulus malam ini."

"Begitukah, Felix? Ah sayang sekali kau tidak dapat menghadiri acara pernikahan putra kami," ucap ibunda Dietrich.

"Maafkan aku Tuan dan Nyonya Balthasar," ucap Felix sambil tertunduk lesu dengan matanya yang masih nampak sembab meski ia bukan menangisi kematian Tuan Leonard, melainkan pernikahan Dietrich pada kenyataanya.

Ia pergi, meninggalkan tanah kelahiran sekaligus kebanggaan Dietrich, seorang ksatria pujaan hatinya yang entah sebenarnya menganggap dirinya sebagai apa. Apabila bukan tambatan hati, lantas apa arti dari hadirnya bagi lelaki itu?

Entahlah, ia sudah terlalu resah dengan kedudukannya, bahkan cakrawala enggan berpihak padanya dengan rembulan setengah lingkaran dan sedikit cahaya bintang. Setidaknya ia bisa kembali pulang, meski tanpa kemenangan atau senyuman seperti apa yang ia harapkan kala kereta kuda membawanya memasuki gerbang rumah keluarga Balthasar beberapa jam yang lalu.

— [♡] ; À suivre. 

Évasion | ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang