Ngomong-ngomong soal anak bernama Genta, Java tidak tahu mulai kapan anak itu mulai mengikutinya kemana saja.
"Va, Lo tau nggak tempat nongkrong deket sekolah dimana? Yang kopinya enak. Tapi, sebenernya gue lebih suka coklat sih."
Ya gue nggak tanya lo sukanya apa?
Java hanya memendam pertanyaan itu, lebih memilih untuk tidak menghiraukan suara-suara berisik Genta yang terus mengganggu indra pendengarannya. Harusnya pagi ini Java bisa dengan tenang belajar untuk ulangan matematika minat yang akan diadakan di jam pertama. Tapi nyatanya, kehadiran Genta di kelasnya jelas merusak rencananya itu.
Setelah insiden Java digebuki oleh geng Bram seminggu yang lalu, Genta selalu saja mengintili Java kemanapun ia pergi. Setiap pagi laki-laki ceriwis itu selalu datang ke kelas Java hanya untuk mengoceh tidak jelas, seperti saat ini misalnya. Waktu istirahat pun, Genta memaksa Java untuk menemaninya jajan di kantin. Padahal Java adalah tipe murid yang jarang ke kantin. Ia malas, Java membenci keramaian.
"Lo pasti belum pernah ke bar ya kan? Cus lah kapan kapan, seru abis! Banyak cewek cantik."
"Kita masih dibawah umur," sahut cowok itu singkat.
"Ya elah! Nggak pa-pa, asal kita gak disuruh tunjukin KTP."
"Itu masalah buat gue, apalagi kalau abang gue tau, gue gak bisa bayangin dia bakal bereaksi kayak apa. Mungkin kecewa."
Genta pun membisu. Ia lalu tersadar kalau ternyata jalan pikirannya terlalu sempit. Ia hanya memikirkan tentang hal-hal yang menyenangkan saja, tanpa mengantisipasi apa akibat yang akan ditimbulkan dari tindakannya nanti.
Cowok itu melengos, " ya udah. Gak jadi kalau gitu." Genta tidak menyadari kalau akhir-akhir ini ia berhasil dipengaruhi oleh laki-laki tunanetra yang baru saja ia kenal. Anehnya, Genta tidak mempermasalahkan hal itu. Bukan seperti dirinya yang dulu, Genta yang keras kepala dan selalu melawan perintah.
Genta akhirnya diam dan memperhatikan bagaimana temannya itu terlihat sangat fokus mendengarkan suara yang terhubung di airpod usang miliknya.
"Syarat nilai x maksimum, turunan pertama sama dengan nol..." Tanpa sadar Genta ikut memperhatikan buku paket milik Java waktu cowok itu bergumam pelan.
"Lo belajar aja soal-soal latihan yang ada di buku pembahasan, kemarin kelas gue udah ulangan bab ini. Model-model soalnya mirip sama yang ada di buku pembahasan."
Java seketika menoleh, meskipun dirinya tetap tidak mungkin bisa melihat raut wajah Genta.
"Kalau kata gue sih, bagi lo soal-soal kayak gini cuman kayak upil. Ya kan?"
"Nggak juga."
"Pret. Tadi pagi, lagi-lagi gue lihat nama lo ditempel jelas di mading, tulisannya juara pertama olimpiade matematika se provinsi Jawa Barat."
Ah, olimpiade itu. Java bahkan sudah lupa kalau ia sempat mengikuti olimpiade bergengsi itu. Tapi syukurlah, setidaknya dari olimpiade itu dia bisa mendapatkan sedikit uang. Uang itu nantinya akan ia pakai untuk memberikan kado ulang tahun untuk abangnya.
Lamunan Java buyar saat Genta kembali bersuara. "Tapi yang nomer tiga jawabannya B, bukan A. Soalnya sin kuadrat ditambah cos kuadrat bisa jadi satu. Lo kurang satu langkah lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun & His Shine ✓ || REVISI
Teen FictionCerita tentang mereka bukanlah cerita yang spesial. Hanya menceritakan kisah perjalanan hidup seorang abang yang hidup berdua dengan adiknya si penyandang tunanetra. Menjalani hidup sederhana dengan segala kebahagiaan dan pelik yang selalu bergantia...