10. A little reason to live

264 29 3
                                    

Bandung, 2015.

"Halo? Mama sampai mana?"

"Udah deket. Sabar bang, ini loh ayahmu tadi sibuk dandan."

"Eh bisaan! Mamamu, bang yang dandannya lama!" Si suami yang sedang mengemudi menyahut tak terima.

Satria tertawa terbahak-bahak. Kadang ia heran dengan mama dan ayahnya yang bisa bersikap sangat kekanak-kanakan, bahkan seringkali keduanya memperdebatkan hal-hal sepele.

Sekarang ini, sekolah Satria sedang mengadakan acara pensi akhir tahun. Ia dan tim band nya turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Maka dari itu, tentu ia harus memastikan ayah dan ibunya menyaksikan penampilannya.

"Yaudah abang tunggu di depan ya, ma! Jangan lama-lama!"

"Siap, abang!"

Sambungan telepon pun diakhiri. Anak itu sedang bahagia, apalagi mengingat dirinya baru saja lulus dari bangku sekolah menengah pertama. Tak lama lagi ia akan segera merasakan rasanya mengenakan seragam putih abu-abu.

Lima menit menunggu, akhirnya mobil SUV putih milik ayahnya nampak. Saat melihat putranya dari seberang jalan, sang ibu membuka kaca mobil lalu melambai pada putra sulungnya itu. Senyum mama selalu cantik, batin Satria. Tapi, siapa yang menyangka kalau senyuman itu ternyata adalah senyum terakhir milik ibunya yang dapat ia saksikan? Bahkan pembicaraan di telepon kala itu adalah percakapan terakhirnya bersama kedua orang tuanya.

Saat lampu hijau menyala, dan mobil ayahnya mulai berjalan..

BRAKK!!

Sebuah truk besar datang dari arah berlawanan dan dengan cepat menghantam keras mobil SUV putih itu. Mobil itu terpental, cukup jauh, dan cukup membuat kedua kaki Satria melemas. Mobil itu hancur tak berbentuk. Semua orang mulai berkerumun, membuat Satria terjatuh dari tempatnya berdiri karena seseorang menabrak tubuhnya.

"Mama.." panggilnya lirih.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, anak laki-laki itu berusaha bangkit berdiri. Meskipun enggan, tapi ia harus tetap menghampiri kedua orang tuanya. Mereka butuh anak mereka.

Pada kaca mobil yang sudah rusak parah, Satria mendapati mata ayahnya sudah terpejam sempurna dengan pelipis dipenuhi darah. Disampingnya, sang ibu ternyata masih sadarkan diri. Mata perempuan itu seperti sedang mencari-cari sesuatu.

"Mama.."

Entah keajaiban dari mana yang bisa membuat Delima dapat mendengar panggilan anaknya. Dengan nafas pendek yang ia miliki, ia menoleh. Satu tangannya masih ia pakai untuk menggenggam erat tangan suaminya yang sudah tak bernyawa.

Dari jarak yang cukup jauh, Satria berhenti berjalan. Ketika ia mendapati ibunya tengah tersenyum lemah padanya, ia langsung tau kalau dunianya sebentar lagi akan hancur.

Dari kejauhan, ia bisa menangkap dengan cukup jelas kalau ibunya sedang berusaha mengatakan sesuatu padanya.

"Nggak pa-pa, abang. Mama sama ayah selalu baik," bisiknya dengan sisa-sisa nafas yang ia punya.

Lalu, Delima ikut menyusul kepergian suaminya dalam keabadian.

>•••<

Katanya, bukanlah kesabaran jika masih memiliki batas, dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit.
Satria sering mempertanyakan dirinya sendiri, benarkah ia sudah benar benar mengiklhaskan kepergian mama dan ayahnya? Ibarat luka, sepertinya makin kesini lukanya itu bukannya mengering, tapi malah semakin bernanah.

Sun & His Shine ✓ || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang