Bandung, 2015.
"Sst kantin gak?" Gladys menoleh ketika kepala Satria muncul dari balik pintu kelasnya.
"Nggak. Bunda bawain bekal," jawab gadis berambut pendek itu.
"Yahh..."
"Halah sok sedih banget lo gabisa ngantin sama gue?"
"Sedih lah!"
"Kenapa?"
"Gak ada yang traktir."
"Bangsat. Jauh jauh lo!"
Satria mengedikkan bahunya acuh, "ih yaudah." Ketika Satria ingin mengambil langkah keluar dari kelas Gladys, cewek itu menghentikannya. "Heh, Sat."
Satria menyengir lebar, "apa zheyeng?"
"Bantuin gue habisin bekal."
"Lo mau kita suap-suapan?"
"Nggak gitu begoooo. Ngapain juga gue suap-suapan sama elo?! Gausah ngantin, makan bekal gue aja, hemat."
"Nah gitu dong, ngomong yang jelas."
Satria mengambil posisi duduk persis di samping Gladys, dan mereka mulai menyantap bekal milik Gladys.
"Ada cabe tuh di gigi lo," kata Satria.
"Jangan bohong lo. Mana?"
Satria berdecak, "ngapain juga gue bohong. Itu.. ada ditengah."
"Nggak ada."
"Ada, sini," Satria menarik lengan Gladys agar mendekat padanya.
Gladys spontan menjauhkan tubuhnya, "jijik kalau pake tangan."
"Gue gak jijik, santai."
"Gue yang jijik. Tangan lo penuh kuman."
Satria tersenyum kecut. "Dys, kita ribut aja gimana?"
Gladys tidak menggubris Satria. Cewek itu hanya tertawa, lantas menyeka noda makanan yang ada di bibir Satria, "nih yang ada lo kalo makan kayak ayam, cemong semua."
"Wah gila sih!" Nana tiba-tiba muncul dari balik pintu dan berteriak heboh.
Satria spontan mengelus dadanya karena terkejut. Cowok itu kesal. "Gini nih ciri manusia yang tidak membudidayakan assalamualaikum! Kayak setan aja lu ngagetin!" Oceh cowok itu.
"Lo berdua habis ngapain di kelas berduaan aja?! Wah ga bener!"
Gladys memandang Nana malas, "otak lo tuh yang ga bener- eh Sadewa?" Cewek itu mendadak salah tingkah saat menyadari kemunculan Dika dibalik punggung Nana.
"Gatel lo," bisik Satria ditelinga Gladys, yang berakhir ditabok oleh cewek itu.
"Dys, bisa ikut aku sebentar? Ada revisi dikit buat rancangan majalah, aku tunggu di ruang OSIS ya."
"Woke!" Sahut Gladys semangat.
"Koh kok gue gak diajak? Gue kan anggota OSIS juga?" Protes Satria.
Btw, 'koh' adalah panggilan sayang Satria untuk Dika. Soalnya katanya, Dika mirip kokoh-kokoh penjual beras di depan komplek rumahnya.
"Boleh, tapi tugas lo beliin gue siomay, mau?"
"Wah curang! Mana ada yang kayak gitu?!"
Dika menarik napas panjang, lalu, "YA MAKANYA LO KALAU ADA RAPAT DENGERIN, JANGAN MALAH MOLOR!"
Satria auto kicep. "Gak tidur itu, tapi ketiduran," sahutnya lirih.
"Apa?! Gak denger gue?!"
"Ituloh lo lucu kalau marah. Imut kayak Tinker- adaww! Sakit weh!" Ia terjingkat saat Dika tiba-tiba menginjak kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun & His Shine ✓ || REVISI
Teen FictionCerita tentang mereka bukanlah cerita yang spesial. Hanya menceritakan kisah perjalanan hidup seorang abang yang hidup berdua dengan adiknya si penyandang tunanetra. Menjalani hidup sederhana dengan segala kebahagiaan dan pelik yang selalu bergantia...