Koridor yang menghubungkan kelas sepuluh IPA dan sepuluh IPS saat itu tengah sepi. Tentu saja hal itu dikarenakan semua murid masih sibuk mengikuti jam pelajaran.
Anak itu berjalan menyusuri koridor yang sepi seorang diri. Ia baru saja menemui pak Ahmad di ruang wakasek. Hari ini uang olimpiade nya cair, karena itulah ia bertandang ke ruang wakasek untuk mengurus tanda terima.
Langkah kakinya itu terhenti saat ia secara tidak sengaja mendengar suara bising yang berasal dari salah satu ruangan yang ia lewati.
Plak!
Semua orang yang mendengarnya pasti akan langsung setuju kalau tamparan yang baru saja dilayangkan itu terasa menyakitkan. Suara tamparan itu terdengar begitu nyaring dan perih disaat yang bersamaan.
"Dasar anak tidak berguna! Kenapa kamu selalu bikin papa malu? Apa susahnya kamu menurut apa kata papa? Kenapa kamu tidak bisa seperti anak-anak yang lain? Kenapa kamu bodoh, sedangkan anak-anak yang lain pintar!"
Bram membeku ditempatnya berdiri. Pipinya terasa kebas akibat bekas tamparan itu, namun bahkan dirinya tidak berani bergerak satu inci pun. Ia takut kalau setiap gerakan tubuhnya nantinya akan membuat seseorang di hadapannya—yang selalu dia panggil papa, lebih murka lagi.
"Ingat Bram, kamu anak dari keluarga terhormat. Jangan buat papa menyesal punya kamu sebagai anak saya. Sekarang kamu keluar dari sini! Papa muak melihat wajah kamu! Papa tidak mau tau, pokoknya kamu harus bisa memperbaiki nilai kamu yang lebih mirip sampah itu."
Namun separah apapun perih yang menjalari pipinya, masih lebih perih sakit hati yang ia rasakan.
Anak itu sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Bahkan ia keluar dari ruangan papanya itu dengan kepala menunduk. Kedua matanya yang memerah menahan tangis hanya bisa menatap nanar ubin-ubin putih.
Gagang pintu ruangan kepsek diputar. Bram sangat terkejut ketika mendapati Java sedang berdiri tak jauh dari ruangan kepala sekolah. Anak dengan tongkat besinya itu pun ikut terkejut.
Demi Tuhan, bahkan Java sendiri menyesal ia telah tidak sengaja mendengar percakapan barusan.
"Lo?! Ngapain lo disini?!"
Bram sudah lebih dulu menarik kerah seragam Java, bahkan sebelum Java buka mulut. Ia membawa Java pergi dari sana.
Bruk!
Dengan kesal Bram mendorong tubuh Java keras hingga tubuh Java tersungkur ke tanah.
"Lo dengar apa aja tadi?" Tanya laki-laki itu geram.
Bukannya segera menjawab, Java malah bangkit berdiri dengan tenangnya, meraih tongkatnya, lalu membersihkan seragamnya yang ia rasa kotor terkena noda tanah.
"Maaf, gue nggak sengaja lewat sana."
"GUE TANYA LO DENGER APA AJA TADI?" Bentakan itu membuat Java tercekat.
"Gue dengar apa yang seharusnya nggak gue dengar. Karena itu gue minta maaf."
Bram mengacak rambutnya frustasi. Ia menendang kerikil-kerikil kecil dihadapannya untuk melampiaskan emosinya yang tak karuan.
Ia malu.
Ia marah.
Terlebih lagi karena orang yang mendengar percakapan tersebut adalah Java Daniswara Caraka.
Kenapa dari sekian banyaknya manusia di sekolah ini harus Java yang tau mengenai rahasia besarnya? Tentang ayahnya yang tak pernah menerima dirinya.
Bram sangat membenci situasi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun & His Shine ✓ || REVISI
Teen FictionCerita tentang mereka bukanlah cerita yang spesial. Hanya menceritakan kisah perjalanan hidup seorang abang yang hidup berdua dengan adiknya si penyandang tunanetra. Menjalani hidup sederhana dengan segala kebahagiaan dan pelik yang selalu bergantia...