Cuaca Bandung sore itu kelewat bagus. Tidak panas, tapi juga tidak mendung. Pas.
"Kita cari kado dulu, yuk buat Java? Filmnya juga masih dua jam lagi. Enaknya dibeliin apa? Ada ide gak? Sat?"
"Hah?"
"Lo ngapain ngelamun?"
Satria cukup kesulitan mencari-cari alasan, "gatau ya, tiba-tiba ngelamun aja."
"Dih, gak jelas lo. Kesurupan tau rasa."
"Gak tuh buktinya? Kan setannya ada disebelah gue sekarang."
Raut wajah Gladys auto berubah masam. "Bangsat."
Bukannya meminta maaf, Satria malah ngakak sembari berjalan terus, meninggalkan gadis itu di belakangnya.
Gladys berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan Satria. "Gue tanya lo ada ide nggak? Gue tuh suka bingung kalau mau kadoin Java."
"Lah, sama."
"Lah, gimana sih? Lo kan abangnya."
"Beliin tanaman aja kalau gitu."
"Lagi? Kan tahun kemarin gue udah kasih itu."
"Yaaa beliin aja yang beda."
Gladys berdecak kesal, "lo mah kalau dimintain saran sukanya gitu. Yang serius dong! Kalau ngomong tuh sambil lihat gue!"
Dukh.
Gladys mengaduh sembari memegangi jidatnya yang baru saja terbentuk punggung Satria saat cowok itu tiba-tiba menghentikan langkah kakinya.
Deg deg deg deg... Dada Gladys kini berdebar tak karuan. Sialan, wajah Satria terlalu dekat.
Satria menunduk hingga tingginya sejajar dengan gadis dihadapannya. Ia tatap kedua netra gadis yang diam-diam sedang salah tingkah itu.
"Ada dua hal favorit Java, sebenernya tiga. Yang pertama buku, tapi bukunya udah menuhin 50% isi kamarnya, jadi jangan dikadoin buku lagi, gue takutnya lama-lama dia overdosis. Yang kedua, airpod, soalnya airpod dia udah buluk. Tapi lo gak boleh kadoin airpod, soalnya gue yang bakal kadoin itu, dan yang terakhir tanaman. Jadi, pilihan terbaik ya cuma tanaman. Nanti kita cari bunga yang warnanya cantik biar taman belakang rumah gue tambah cantik juga. Java suka kalau taman belakang rumahnya tambah adem, soalnya dia bisa merenung lebih lama disana."
"Gimana? Masih belum diterima juga penjelasan gue?"
"U--udah! Mundur!" Gladys dengan semena-mena mendorong tubuh satria menjauh.
"Lah padahal tadi dia yang minta gue ngomong harus liat mukanya."
"Gue mintanya cuma lihat gue anjim, bukan deket-deket! Bau!"
"Enak aja! Bau gue enak tau!"
Gladys menahan kekesalannya hingga wajahnya sedikit memerah. "Ya emang itu maksud gue anjir. Lo terlalu wangi, makanya jangan deket-deket. Ntar gue pingsan."
Masa bodoh, kini Gladys yang berjalan mendahului Satria. Percuma juga sebenarnya, karena tentu saja langkah kaki Satria lebih lebar darinya. Dengan mudah cowok itu menyusulnya.
"Kita beliin bunga matahari aja yuk?" Tanya cowok itu sambil tanpa sengaja menukar posisi tubuhnya dengan Gladys. Kini ia yang berjalan di pinggir trotoar dekat jalan raya.
"Itu mah kesukaannya lo."
"Ehhh jangan salah, Java juga paling suka bunga matahari."
Setelah cukup lama berdebat akhirnya mereka berdua setuju untuk membeli tanaman anyelir dan lavender. Lavender juga lumayan bermanfaat untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk dirumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun & His Shine ✓ || REVISI
Teen FictionCerita tentang mereka bukanlah cerita yang spesial. Hanya menceritakan kisah perjalanan hidup seorang abang yang hidup berdua dengan adiknya si penyandang tunanetra. Menjalani hidup sederhana dengan segala kebahagiaan dan pelik yang selalu bergantia...