Bab 2

1.8K 256 26
                                    

Dia duduk di atas lantai bersandar kaki ranjang. Kaki kanannya ia tarik untuk mendekati dadanya. Beomgyu menekuk sebelah kakinya dengan malas.

Ada sebatang tembakau dan nikotin terbungkus kertas di tangannya. Lagi-lagi ... dia merokok. Di tengah malam seperti ini seharusnya dia tidur dengan nyenyak di atas kasur. Tetapi ... omongan Taehyun terus mengganggu pikirannya. Sebenarnya dia kenapa?

Besok, dia akan mengundurkan diri dari kantor lamanya dan datang ke kantor milik Taehyun. Beomgyu tidak peduli dia dianggap mata duitan atau pun matre oleh Taehyun sekali pun, dia tidak peduli. Beomgyu hidup untuk mencari uang. Dia bisa hidup sampai sekarang semuanya karena uang.

“Hah...” berkali-kali mulutnya mendesah berat. Seolah beban hidup tidak akan pernah ada habisnya. Meskipun Beomgyu tahu bahwa itu tidak mungkin, tetapi keadaannya memaksa untuk percaya bahwa dia hidup dalam penderitaan yang tak kunjung temu ujungnya.

“Seandainya kalian masih hidup...,” gumamnya. Menatap sendu sebuah foto yang terbingkai apik di atas nakas. “Apa kalian masih marah padaku? Atau kalian membenciku?”

Beomgyu mematikan rokoknya. Dia meraih figora hitam itu dan membawanya bersama untuk duduk seperti semula. Ibu jari kanannya mengusap kaca bingkai dengan pelan. Bersama, Beomgyu mengulas senyum sedihnya. Menatap dua gambar seperti sketsa hitam putih tidak jelas.

“Apa aku salah menggugurkan kalian...?” bisiknya.

Di saat yang sama, air mata yang nyaris tidak pernah keluar itu kini menggenang di bawah kedua pelupuk matanya. “Aku ... salah?” suaranya parau. “Apa aku salah tidak membiarkan kalian keluar untuk melihat duniaku?” kedua bahu Beomgyu mulai bergetar. “Aku salah?!” teriaknya tertahan tangis.

Beomgyu pernah hamil karena kecelakaan. Kecelakaan kerja yang mungkin lebih tepat disebut risiko.

Beomgyu menggugurkan kedua bayi kembarnya bukan karena alasan bahwa ia pasti menyeret mereka dalam kemiskinan. Tidak. Justru ... lebih dari itu, Beomgyu tidak mau mengurusi bayi yang tidak diinginkannya. Dia mengatakan, tidak ada gunanya memiliki dua orang bayi kembar sedangkan orang tua mereka tidak peduli.

Beomgyu saat itu memang sedang mengejek. Mengejek dirinya sendiri.

“Aku akan membuang foto kalian. Kalian setiap hari justru membuatku merasa terpuruk dan semakin menderita.” Beomgyu membuka bingkainya. Dia mengambil kertas foto itu kemudian menyobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Dia menggenggamnya erat. “Kalian ... tidak bisa membuatku bahagia. Aku tidak menginginkan apapun selain uang untuk hidup. Aku tidak mengharapkan kebahagiaan datang dari kehadiran darah dagingku.”

Beomgyu menunduk. Menatap lekat genggaman tangannya. “Kalian...” Beomgyu menekan gigi-giginya. Rahangnya mengeras menahan sesuatu. “Fuck!” dia sebar sembarangan serpihan foto itu. “Kalian sialan! Ayah kalian sialan! Siapapun dia, dialah yang membuat hidupku semakin menderita! Shit!” Beomgyu segera beranjak.

Dia pergi menuju gantungan baju meraih jaket cokelatnya. Jam dua dini hari, Beomgyu keluar dari apartemen. Tempat tujuannya adalah bar Casino tiga kilo meter dari apartemen.

Beomgyu mengendarai sedan Blanca bututnya dengan kencang. Jalanan sepi sehingga tidak ada yang perlu membuatnya mengumpat-umpat.

Sesampainya di pintu Casino, dua orang satpam atau apalah dalam bahasa inggris, Security Club? Apapun itu namanya Beomgyu tidak mau pusing memikirkannya. Dia menyapa mereka dengan akrab. Yah, hanya sok akrab.

Hasilnya, dua security itu saling berpandangan dalam kebingungan. Mereka menggidikkan bahu dan tidak memedulikan Beomgyu yang menepuk kedua bahu mereka. Mereka pun mulai berpikir, ah ... orang ini sudah mabuk.

Being FreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang