Bab VIII. Politik Luar Negeri dan Angkatan Bersenjata

0 0 0
                                    

1. Dari “Revolusi Dunia” Menuju Status Quo

Di manapun dan kapan pun, politik luar negeri adalah terusan dari politik dalam negeri, karena dilaksanakan oleh kelas penguasa yang sama dan mengarah pada tujuan historis yang sama. Degenerasi lapisan penguasa di Uni Soviet niscaya diiringi oleh sebuah perubahan yang sama dalam tujuan dan metode diplomasi Soviet. “Teori” sosialisme di satu negeri, yang pertama kali diumumkan di musim gugur 1924, telah memberi sinyal akan satu upaya untuk melepaskan politik luar negeri Soviet dari program revolusi internasional. Walau demikian, birokrasi tidak punya niat untuk memutuskan hubungannya dengan Komunis Internasional. Tindakan semacam itu akan mengubah Komintern menjadi sebuah organisasi oposisi tingkat dunia, yang akan menghasilkan konsekuensi yang tidak mengenakkan dalam korelasi antar kekuatan di dalam Uni Soviet sendiri. Sebaliknya, semakin sedikit Kremlin mempertahankan politik internasionalisme yang terdahulu, semakin kokoh cengkeraman klik berkuasa atas kemudi Komunis Internasional. Di bawah nama yang lama, badan itu kini melayani tujuan yang baru. Akan tetapi, sebuah tujuan yang baru pasti menuntut orang yang baru pula. Mulai di musim gugur 1923, sejarah Komunis Internasional adalah sejarah renovasi penuh atas stafnya di Moskow, dan juga staf seksi-seksi nasionalnya, melalui serangkaian revolusi istana, pembersihan dari atas, pemecatan, dll. Pada saat ini, Komunis Internasional adalah sebuah aparatus yang sepenuhnya tunduk melayani kebijakan politik luar negeri Uni Soviet, yang setiap saat sedia melakukan zig-zag yang bagaimanapun juga.

Birokrasi bukan hanya telah memutus hubungan dengan masa lalu namun juga telah melucuti kemampuannya sendiri untuk memahami pelajaran terpenting dari masa lalu. Pelajaran yang terpenting ini adalah bahwa kekuasaan Soviet tidak akan bisa bertahan lebih dari 12 bulan tanpa bantuan langsung dari proletariat internasional – dan khususnya Eropa, dan tanpa sebuah gerakan revolusioner dari rakyat negeri-negeri jajahan. Satu-satunya alasan mengapa kekuatan militer Austro-Jerman tidak melanjutkan serangan mereka pada Soviet Rusia adalah karena mereka merasakan napas panas revolusi di tengkuk mereka sendiri. Dalam waktu sekitar sembilan bulan, insureksi di Jerman dan Austro-Hungaria mengakhir perjanjian Brest-Litovsk[1]. Pemberontakan para pelaut Perancis di Laut Hitam, April 1919, memaksa pemerintah Republik Ketiga untuk membatalkan operasi militer mereka di Soviet Selatan. Pemerintah Inggris, di bulan September 1919, menarik mundur ekspedisi militernya dari Soviet Utara karena tekanan langsung dari kaum buruh mereka sendiri. Setelah mundurnya Tentara Merah dari pinggiran Warsawa di tahun 1920, hanya sebuah gelombang protes revolusioner yang perkasa yang mencegah Entente[2] membantu Polandia untuk menghancurkan Soviet. Tangan Lord Curzon[3], ketika dia mengultimatum Moskow di tahun 1923, dicekal pada saat yang kritis oleh perlawanan organisasi-organisasi buruh Inggris. Episode-episode ini bukan satu hal yang ganjil. Semuanya menggambarkan keseluruhan karakter dari tahapan pertama yang tersulit dari keberadaan Uni Soviet. Sekalipun revolusi tidak berhasil mencapai kemenangan di luar Rusia, harapan untuk kemenangannya tetap menghasilkan buah berlimpah.

Selama tahun-tahun itu, pemerintah Soviet mengadakan serangkaian perjanjian dengan pemerintah-pemerintah borjuis: perdamaian Brest-Litovsk di tahun 1918; perjanjian dengan Estonia di tahun 1920; perdamaian Riga dengan Polandia di bulan Oktober 1920; perjanjian Rapallo dengan Jerman di bulan April 1922; dan kesepakatan diplomatik lain yang kurang penting. Walau begitu, mustahillah terpikir oleh pemerintah Soviet secara keseluruhan, atau orang-orang di dalamnya, untuk menggambarkan kaum borjuis sebagai “kawan-kawan perdamaian”, apalagi menyerukan pada partai-partai komunis Jerman, Polandia atau Estonia untuk mendukung pemerintah borjuis yang telah menandatangani perjanjian ini. Masalah inilah yang teramat penting bagi pendidikan revolusioner untuk rakyat. Uni Soviet terpaksa menandatangani perjanjian damai Brest-Litovsk, sebagaimana para pemogok yang kelelahan terpaksa menerima kondisi paling keji yang dipaksakan oleh para kapitalis. Tetapi suara yang diberikan untuk mendukung perjanjian damai ini oleh partai Sosial Demokrat Jerman, dalam bentuk “abstain”, dikecam oleh Bolshevik sebagai satu dukungan atas penjarahan dan para banditnya. Sekalipun perjanjian Rapallo dengan Jerman ditandatangani empat tahun kemudian berdasarkan “kesetaraan hak” yang formal bagi kedua pihak, biar bagaimanapun jika partai komunis Jerman berani menjadikan ini sebagai alasan untuk menyatakan kepercayaannya pada diplomasi negerinya, mereka akan segera dikeluarkan dari Komunis Internasional. Garis fundamental dari politik internasional Soviet bersandar pada fakta bahwa kompromi komersial, diplomatik maupun militer antara pemerintah Soviet dengan kaum imperialis, yang tidak dapat dihindari pada situasi tertentu, tidak boleh membatasi atau melemahkan perjuangan kaum proletariat di negeri kapitalis bersangkutan karena, pada analisa terakhir, keselamatan negara kelas pekerja itu sendiri hanya dapat dijamin oleh tumbuhnya sebuah revolusi dunia. Ketika Chicherin[4], selama persiapan untuk Konferensi Jenewa, mengusulkan untuk memasukkan beberapa perubahan “demokratik” ke dalam Konstitusi Soviet untuk meraih “opini publik” di Amerika, Lenin, dalam sebuah surat resmi tertanggal 23 Januari 1922, mendesak agar Chicherin dikirim segera ke sanatorium. Jika ada orang di masa itu yang berani mengusulkan agar kita membeli kemurahan hati dari negeri-negeri imperialis “demokratik” dengan menandatangani, katakanlah, Pakta Kellog[5] yang palsu dan omong-kosong itu, atau dengan memperlemah kebijakan Komunis Internasional, Lenin niscaya akan mengusulkan agar pengaju usul itu dikirim ke rumah sakit jiwa – dan dia tidak akan mendapati oposisi dari Politbiro.

REVOLUSI YANG DIKHIANATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang