4| Kemeja Garis Biru

40 6 0
                                    

Kelas 9 B hening seketika. Tidak ada lagi suara berisik dari siswa-siswi yang adu debat memperebutkan bangku paling belakang. Semua duduk di bangku masing-masing yang telah diatur oleh Bu Sudarni--selaku wali kelas.

Hana menoleh ke bangku di sebelah kananya. Lalu gadis berlesung pipi itu menghela napas berat, pasrah, meskipun mulut sangat ingin melayangkan protes. Atau lebih mudah, menendang langsung anak laki-laki yang menjadi teman sebangkunya sambil menggertak, "seharusnya Lita yang duduk di sana!"

"Bu kenapa tempat duduknya harus diacak gini sih? Saya nggak mau duduk sama si Fito, dia tukang nyontek!" Salah satu murid perempuan berseru dari tempat duduknya. Wajah gadis itu merengut menatap Bu Sudarni di yang berdiri tenang di depan kelas dengan kedua lengan terlipat di dada--lalu melirik tajam anak laki-laki yang menjadi teman sebangkunya dan melengos, jengkel.

"Aish, emang siapa juga yang mau duduk sebelahan sama Mak Lampir?!" Anak laki-laki itu menukas dengan suara pelan.

Protes anak perempuan yang berdiri keberatan di kursinya itu sangat mewakili teman  sekelasnya yang hanya bisa diam menerima kenyataan dengan lapang dada.

"Kalian tahu kenapa Ibu mengatur tempat duduk kalian secara acak seperti ini?" Guru berusia 39 tahun itu menatap wajah murid-muridnya. "Karena kelas kalian sangat berisik dan tidak bisa diatur! Setiap Guru yang mengajar di kelas ini, pasti akan mengeluhkan sikap kalian di Kantor. Murid laki-laki bukannya memperhatikan pelajaran malah banyak cerita! Kalian ngobrolin apa sih? Hebohnya ngalahin murid perempuan!" Wanita itu mulai memberi wejangan kepada anak didiknya.

"Murid perempuan juga nggak kalah rusuhnya! Cekikikan ajah kerjanya!" Bu Sudarni menuding murid perempuan dengan tatapan tajamnya. "Sudah! Ibu tidak akan mengubah keputusan ini. Dan jangan ada lagi yang protes! Semoga dengan posisi duduk seperti ini, kalian tidak mengobrol atau ketawa-ketiwi saat proses belajar sedang berlangsung!"

Hening.

"Kalian mengerti?!" Suara Ibu Sudarni lantang, ia akan segera mengakhiri wejangannya.

"Mengerti, Bu!" Secara serempak murid-muridnya menjawab patuh.

Kelas 9 B memang kelas yang paling rusuh seangkatan. Ada saja kelakuan muridnya yang membuat para guru geleng-geleng kepala atau lebih parah mengeluh di kantor selepas mengajar di kelas tersebut. Murid-muridnya susah diatur. Ya! Seperti yang wali kelas katakan, bahwa murid laki-laki di sini sangat senang mengobrol saat di depan kelas sedang ada guru mengajar. Murid perempuan lagi, saling menjahili. Lalu tertawa cekikikkan.

Ayara termenung di bangku dengan kedua tangan di letakan di atas meja. Gadis itu menatap kosong ke depan--ke arah punggung teman yang duduk di depannya. Mendadak, ia menyesali keputusannya untuk duduk di bangku tunggal bagian belakang. Karena murid baru berawajah kanebo kering--sangat kaku ini--ditunjuk Bu Sudarni untuk menata meja dan kursi kayu tepat di sebelahnya.

Pelan-pelan Ayara menolehkan kepalanya ke arah anak laki-laki bertubuh tinggi bak tiang listrik hidup, yang mengenakan kemeja garis biru dan duduk di sebelahnya. "Dia akan mengganggu ketenanganku satu tahun ini!" Ayara mengeluh dalam hati.

Danudara Mahendra menoleh, membalas tatapan Ayara dengan sorot mata tajam.

"Dih, judes banget anak orang!" gumam Ayara. Lalu melengos. Meneggelamkan kepalanya ke dalam lengan yang terpaut di atas meja.

***

              Hampir sebulan berlalu. Waktu berjalan begitu lambat bagi Ayara, mungkin karena gadis itu tidak sabar ingin lulus dari sekolah ini dan melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Ya, Ayara sangat tidak sabar ingin mengenakan seragam putih abu-abu.

Ayara menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya bersama erangan pelan dari bibir saat bel pergantian mata pelajaran berbunyi. Pak Suparman selaku guru Matematika yang sadar waktu mengajarnya habis, segera berpamitan dan tidak lupa mengingatkan para murid agar mengerjakan PR yang akan diperiksa minggu depan.

"Aku benci olah raga!" keluh Ayara. Namun, gadis itu tetap mengeluarkan seragam olah raga dari dalam tas. Lalu menyusul Hana, Lita dan Levy menuju toilet untuk mengganti.

Suasana lapangan olah raga di SMP Kartini sudah mulai ramai sejak pukul 07. 15. Setiap kelas bergantian menggunakan lapangan sesuai jadwal. Dan kelas 9 B mendapatkan giliran untuk berolah raga tepat pukul 09. 15.

Ayara memicingkan mata saat mendongak, menunduk, menoleh ke kanan lalu kiri--gadis itu beserta murid 9 B lainnya mengikuti instruktur Pak Kardi--guru olahraga, untuk melakukan pemanasan.

Setelah pemanasan, murid perempuan dan laki-laki terpisah di dua lapangan yang berbeda. Murid laki-laki bermain sepak takraw. Sementara murid perempuan bermain bola voli.

Ayara duduk di tepi lapangan bersama tiga murid perempuan lainnya sebagai cadangan. Melihat bola voli melayang dipukul ke sana ke mari membuat Ayara mendesah keras. Ia berharap Pak Kardi yang mengawasi dua lapangan sekaligus tidak menyebut namanya untuk menggantikan member team voli yang sedang praktek.

Ayara benci olahraga? Tidak! Ia hanya tidak suka bentuk bola voli yang keras, ia juga tidak mau tangannya terluka karena menangkis bola voli. Lebih tepatnya ia takut.

"Ayara. Gantikan posisi Lana!"

Nah, baru saja Ayara memikirkannya. Sekali lagi, Ayara mendesah keras. Lalu berdiri dari rerumputan tempatnya duduk dan segera berdiri mengatur posisi di tengah lapangan.

"Kamu siap, Ra?" Hana bertanya cemas kepada Ayara. Sahabatnya satu itu tahu persis bahwa alasan Ayara selama ini menolak bergabung di grup voli yang akan ikut tanding setiap satu tahun sekali adalah karena, takut bola.

"Sekalipun aku jawab belum siap, nggak akan ada yang berubah kan? Toh pertandingannya tetap akan dilanjut!" Ayara menjawab acuh tak acuh.

Hana mulai memantulkan bola ke lantai kasar lapangan voli beberapa kali untuk pemanasan. Setelah menangkapnya, gadis itu mulai melempar pelan bola ke atas. Saat merasa perhitungannya tepat, Hana memukul bola ke arah lawan keras-keras hingga melewati jaring.

Serve pertama sukses.

Kedua team saling mempertahankan bola agar tak jatuh menyentuh lantai lapangan di wilayah sendiri. Segala upaya dilakukan, mulai dari smash yang dibalas oleh block hingga bola masih berhasil melayang di udara.

Sementara di posisinya--di tengah-tengah lapangan, Ayara terengah-engah sambil menengadah--mengawasi laju bola yang di oper ke sana ke mari. Namun, tak sekalipun Ayara melihat bahwa bola itu akan mendarat di titiknya berdiri. Biar begitu, Ayara tetap siap siaga dengan kedua tangan terkepal terulur ke depan.

Duk!

Tubuh Ayara oleng saat sebuah bola dari arah kiri membentur wajahnya. Gadis itu terdiam, meresapi perih di kulit pipi akibat hantaman bola takraw. Gadis itu menoleh ke arah lapangan bola takraw yang hanya berjarak beberapa meter dari lapangan voli.

Ayara melihat itu. Teman laki-lakinya menunjuk Danudara sebagai pelaku atas insiden yang terjadi barusan.

Ayara mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat hasrat di dalam diri mendorong agar ia mengumpat, memaki-maki murid baru tersebut.

"Awas, Ra!"

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ayara STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang