Chapter 4 : Dansa Pertama

119 24 23
                                    

Yoongi sudah mematut diri didepan cermin. Tubuh mungilnya terbalut gaun putih sepanjang lutut berhiaskan beberapa manik sederhana.

Tangan kecil Yoongi bergerak memilin sejumput helaian rambut, lantas mengikatnya kebelakang. Setelah sebuah jepit kecil mungil berbentuk wortel ditambahkan pada ikatan rambut dibelakang sana, Yoongi tersenyum senang.

Sepatu snikers kusam terpasang, dan Yoongi siap berangkat menuju acara peringatan sekolah.

Sejenak, Yoongi menghentikan langkah didepan figura foto sang Nenek. Dalam hati mengucap terimakasih atas gaun pemberiannya dahulu saat hari ulang tahun Yoongi.

Karena, sungguh. Jika gaun ini tak ada, Yoongi benar benar akan mengenakan dress usang pemberian Ibu nya dengan warna jingga dan gambar wortel memenuhi kain.

Uhuh, dia memang penggila wortel, tapi dress semacam itu tak akan pernah Ia kenakan, kecuali keadaan benar benar mendesaknya. Diancam dengan todongan pistol, misalnya?

Yoongi tak langsung berangkat menuju sekolah. Gadis wortel ini akan mampir sejenak ke rumah sakit untuk memamerkan penampilannya pada sang Ayah.



Tapi entah hanya terlihat seakan, atau memang hari ini rumah sakit lebih ramai. Yoongi melangkahkan kaki masuk dengan pandangan mengedari sekitar. Mengamati banyaknya petugas medis berlarian, yang teriringi oleh banyak suara tangisan.

Yoongi menjeda lari salah seorang suster. "Apa yang terjadi?"

"Ya?" Suster itu belum bisa mencerna dengan baik pertanyaan Yoongi.

"Kenapa banyak sekali tangisan dan petugas medis berlarian?" Yoongi memperjelas pertanyaan miliknya.

"Sebuah gedung terbakar di bagian utara kota. Banyak sekali korbannya" suster itu menjelaskan, dan Yoongi membalasi anggukan. "Dan juga seorang pasien jantung menghembuskan nafas terakhirnya hari ini"

Sungguh. Dari sekian berita yang petugas medis itu bawa, kalimat terakhir membuat tungkai Yoongi lemas. Hampir saja jatuh jika tak ingat untuk mengecek kondisi sang Ayah.

Yoongi lantas berlari begitu saja meninggalkan sang petugas medis yang juga langsung berlari untuk segera menolong para korban kebakaran.

Segala rapalan doa Yoongi ucapkan. Semuanya membumbung, terkumpul di langit langit lift selama Yoongi menunggunya berhenti pada lantai yang dituju.

Tanpa sadar, juga tanpa diinginkan. Air mata Yoongi sudah turun, meluncur membasahi wajah tanpa riasan miliknya. Ketakutan terdalam Yoongi akhirnya muncul tanpa diduga. Berharap dengan sungguh sungguh, semoga seorang pasien yang petugas medis itu maksud bukan sang Ayah.

Pintu lift akhirnya terbuka saat baru saja Yoongi akan mengeluarkan sumpah serapahnya pada lift yang seakan lambat bergerak. Kakinya terburu dijulurkan keluar, setengah berlari. Namun akhirnya terhenti saat menyadari dirinya hampir menabrak seseorang.

"Dokter Lee!" Yoongi berseru atas rasa terkejut. Tubuhnya reflek menunduk, lantas dengan cepat menghapus air mata dengan jemari.

"Yoongi, kenapa terburu sekali, astaga" Dokter Lee tersenyum maklum. Sudah terbiasa melihat sifat terburu Yoongi jika terkait dengan sang Ayah.

"Sebentar. Apa kau menangis?" Ternyata Dokter Lee menyadarinya. Mendekatkan wajah untuk memastikan bahwa mata Yoongi benar benar merah.

"Saya- apakah Ayah baik baik saja?" Yoongi tak menjawab pertanyaan Dokter Lee. Tak sempat untuk menjelaskan apakah dirinya betulan menangis karena saat ini yang ada dikepala hanya Ayah.

"Ayah mu baik baik saja. Kondisi nya sangat stabil" Dokter Lee menjelaskan. Memasang senyum untuk menenangkan Yoongi, "jadi karena itu kau menangis? Khawatir pada Ayahmu?"

PeopleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang