Pagi sudah berjalan sejak tadi, namun satu-dua embun masih saja menggelayut dipucuk daun masing-masing. Enggan naik, turun pun segan. Hanya menggelayut malas disana hingga sang angin meniupnya lembut, membawa turun untuk bergabung dengan kawan-kawan lain yang telah lebih dulu meresap memeluk tanah.
Seorang Pria duduk dibalkon sana, gagah dengan setelan jas dan rambut disisir rapi kebelakang. Namun sayang, tatapan kosongnya pada hutan rimbun membuat siapapun menyadari betapa Pria ini merindukan sesuatu yang telah lama hilang.
"Permisi Tuan, ini koran yang Tuan minta." suara Bibi Mikyung mengalun sopan, menyerahkan lipatan koran kepada Pria diatas kursi.
"Kemana anak itu? Kau bilang pergi sejak subuh?" satu tangannya menerima lipatan koran, kemudian berganti mengangkat cangkir kopi untuk disesap.
"Jimin, dia pergi membawa motornya kekota. Dia bilang akan pergi sebentar kesuatu tempat, Tuan." Bibi Mikyung menjawab, mengiringi dibentangkannya koran ditangan Pria itu.
"Baiklah, terima kasih. Kau boleh pergi."
"Baik, Tuan Park."
Park Junghyun, seorang presdir perusahaan terbesar saat ini. Seorang Pria gagah dengan watak keras dan tegasnya. Wajahnya terkenal tidak pernah tersenyum, selalu dingin, setidaknya sejak Istrinya meninggal di sebuah rumah sakit beberapa tahun silam. Seorang wanita yang telah meredupkan hidup Pria ini dengan kepergiannya, sang Ayah dari Park bersaudara.
"Hah... semoga anak itu tidak berulah lagi."
Hah... tapi terlambat. Anak itu telah berulah, membuat satu gadis yang akhir-akhir ini digosipkan oleh pembaca sedang disukainya bergetar ketakutan lantaran aksi nekatnya beberapa menit lalu.
Tapi setidaknya Ia bertanggung jawab, itu poin pentingnya bukan?
Jimin dengan hati-hati menuntun tubuh bergetar Yoongi dari motor menuju tumpukan kayu untuk duduk. Tanpa kata Ia membuka kunci pintu ruangan miliknya, menyalakan lampu untuk menerangi ruangan gelap itu hingga Ia dapat melihat dengan jelas seisi ruangan.
Itu hanya ruangan sempit, berukuran 1x2 dengan setengah lantai dilapisi karpet tebal. Dari pintu masuk, bisa dilihat sebuah kulkas mini kapasitas 50 liter tertanam di dinding sebelah kanan, sementara itu disudut ruangan terdapat sebuah meja, diatasnya berdiri dua kaleng soda bekas yang sudah penyok sebelah.
Jimin melangkah masuk, menginjak lantai tak berkarpet untuk membuka kulkas mini disana, mengambil satu botol air mineral dan satu kaleng soda.
"Minum." tangan kanannya mengulurkan, sementara satu tangan lainnya membuka kaleng soda dengan begitu mudahnya.
Yoongi menerima saja, menggenggam badan botol dengan tangan bergetar dan berusaha membukanya saat disadari bahwa Ia tak cukup kuat untuk membukanya, saat ini.
Jimin kini sedang menyandarkan tubuh pada dinding gang sembari menenggak sodanya. Menghembuskan nafas berat kala melihat Yoongi kesulitan membuka tutup botol. Ya, tapi tak serta-merta mengulurkan bantuan. Ia hanya diam disana menyaksikan, menunggu hingga Yoongi meminta bantuannya.
Tapi sampai soda Jimin tersisa setengah pun Yoongi tak kunjung meminta pertolongan, masih berusaha membuka tutup dengan tangan bergetar hingga akhirnya Jimin mendengus kasar, membangkitkan tubuhnya dari sandaran.
"Kemarikan." Jimin merebut paksa, membukanya lalu mengembalikan pada Yoongi.
Melihat Yoongi yang begitu diam hari ini (ya setelah kejadian nekat tadi), Jimin tersenyum remeh.
"Kau akan meninju langit padahal begini saja sudah takut setengah mati?"
Ahaha. Itu lucu untuk Jimin, tapi tidak untuk Yoongi. Gadis itu menyudahi meminum airnya, meletakkan botol sembarang disisi tumpukan kotak dan memberikan tatapan tajam pada Jimin. Jejaka yang kini reflek menjauh sembari menatap heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
People
FanfictionKisah tentang hidup, pertemuan, perpisahaan, tentang degupan aneh dalam dada saat melihat dirinya, juga tentang pilihan yang jatuh pada satu orang diantara banyaknya manusia. Pada akhirnya Jimin tahu, Yoongi lebih dari sekedar teman sebangku untukn...