"Oh, ayolah, satu pukulan di bibir sialan itu akan sangat baik untukmu"
BUGH!!
Ruangan dengan cat kecoklatan itu hening. Hanya ada suara deru mesin pendingin yang sibuk bekerja ditengah cuaca panas saat ini.
"Jimin, sebaiknya kau minta maaf terlebih dahulu. kita semua tahu kau memukulnya lebih dulu" Seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai kepala sekolah menumpuk tangan diatas meja. Menatap tenang pada empat manusia didepannya.
"Tsch! Aku? Minta maaf? Kukira dia seharusnya cukup sadar dan punya sedikit rasa malu untuk meminta maaf lebih dulu" Jimin menatap tajam siswa di ruangan itu dengan senyum miring diwajahnya.
"Hei! Kau yang memukul anakku terlebih dahulu!! Kau yang seharusnya minta maaf bocah brengsek!" Wanita yang kini duduk diantara Jimin dan sang Siswa meledak dalam amarah, hingga dua detik kemudian Wanita dengan polesan menor itu mengalihkan pandangannya pada Ayah Jimin.
"Kurasa Anda perlu mendidik ulang anak Anda, agar setidaknya dia dapat berkelakuan lebih baik"
"Tidak tidak" Jimin mengangkat tangan, memberikan isyarat kepada sang Wanita untuk berhenti menyalahkan Ayahnya, "Nyonya jangan menyalahkannya. Dia bahkan tak pernah mendidikku. Satu-satunya orang yang mendidikku selama ini adalah Ibuku dan sayangnya Ibuku sudah meninggal. Jadi jika Nyonya ingin menyalahkan seseorang, salahkan saja aku" Jimin mengarahkan jari telunjuk pada wajahnya.
"Jimin!" Ayah mendesis marah, menatap Jimin dengan mata melotot.
"Apa? aku benar kan? Ayah memang tak pernah mendidikku"
Selesai dengan kalimatnya, Jimin mendorong kursi kebelakang dan melangkahkan kaki meninggalkan ruangan yang kini terasa pengap. Tiga orang diantaranya menatap diam punggung Jimin yang semakin menjauh, sementara sang Ayah masih diam ditempat berusaha mengendalikan amarah.
Memasuki rumah dengan ornamen klasik serta elegan, Jimin langsung melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga tanpa memperdulikan keberadaan sang Ayah yang saat ini duduk pada sofa ruang tengah. Matanya tajam menatap jarum jam yang kini menunjukkan pukul tujuh malam.
"Kau tak sepantasnya berkata seperti itu, Park Jimin!" Ayah berbicara, menatap tajam mata Jimin lewat pantulan cermin di samping jam.
Suara berat mengintimidasi itu memang pernah membuat seorang Park Jimin ketakutan hingga menuruti semua kemauan sang Ayah. Namun saat ini, suara itu tak ubahnya seperti gertakan tak berarti yang menyapa telinganya. Gertakan yang seakan memberi perintah pada otaknya untuk mengabaikan.
Jimin hanya mengukir senyum miring pada wajahnya, mengalihkan sejenak pandangannya pada objek lain untuk selanjutnya mengembalikan tatapan tajam sang Ayah lewat cermin disana.
"Kenapa? ada yang salah? Sejak kecil Ibuku memang mendidikku agar menjadi seseorang yang jujur. Jadi dimana letak salahnya jika aku mengatakan Ayah tak pernah mendidikku?" Masih bertahan dengan senyum miringnya, Jimin kini bersandar pada pembatas tangga, menunggu sesuatu.
"PARK JIMIN!!!" Ayah berdiri dan membalikkan badan untuk menatap tajam Jimin secara langsung. Dada nya naik turun oleh nafas yang menderu.
Sementara Jimin tersenyum lebar ditempatnya, bentakan yang Ia tunggu telah keluar.
Dengan senyum yang masih senantiasa terpatri pada wajah, Jimin melangkahkan kaki menuju pintu utama rumah tersebut, mengabaikan tatapan tajam Ayahnya.
"Mau kemana kau bocah berandal?!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
People
FanfictionKisah tentang hidup, pertemuan, perpisahaan, tentang degupan aneh dalam dada saat melihat dirinya, juga tentang pilihan yang jatuh pada satu orang diantara banyaknya manusia. Pada akhirnya Jimin tahu, Yoongi lebih dari sekedar teman sebangku untukn...