Pertemuan Pertama.

12.5K 1K 144
                                    

Ini aku Alysa atau biasa teman-temanku memanggil aku Sasa. Ini cerita tentang aku, Bumi Pasundan, dan penyambutan sebuah kehilangan.

Agak sedih, ya? Hahaha. Nggak sesedih itu. Justru....kebahagian dimulai dari sini.

Tepat sehari setelah hari kelulusan SMA, aku meminta pada Papaku untuk mengantarkanku ke Bandung begitu saja. Tentu beliau heran, karena jadwal masuk kuliah masih lama dan liburan masih sangat panjang. Namun aku melakukan semua itu bukan tanpa alasan, aku memiliki alasan yang kuat, alasan yang belum bisa aku beri tahu sekarang.

Aku janji, nanti aku beri tahu.

Setelah berdebat dengan Papa selama satu jam lebih, akhirnya Papa mengalah dan menitipkanku pada adiknya yang tinggal di daerah Cimahi, Bandung. Karena saat itu aku memang belum mencari bumi kosan di sekitaran daerah kampusku.

Beradaptasi dengan lingkungan baru bukan perkara hal yang susah buatku, apalagi aku memang sedang sangat membutuhkan suasana baru. Amang dan Bibi meperlakukanku selayaknya anaknya sendiri karena kedua putrinya sudah menikah.

Beruntung kedatanganku yang tiba-tiba tidak menimbulkan curiga, karena aku yang terbilang cukup sering berkunjung ke sini. Jadi, aku tidak perlu repot-repot menyusun sebuah dusta untuk menjawab pertanyaan tersebut.

******

Hari demi hari berlalu begitu saja, semua berjalan sebagaimana mestinya. Pertahanku masih kuat, aku bisa melakukan banyak hal seorang diri, termasuk mencari bumi kosan di daerah Jatinangor dengan kendaraan umum.

Tidak sulit bagiku untuk mendapat kosan yang sesuai dengan kriteria yang aku cari. Perkara uang, Papaku tidak ambil pusing.  "Yang penting kamu aman, nyaman. Urusan uang itu urusan Papa, kamu pilih aja kosan yang kamu mau." Kata beliau, beberapa bulan lalu.

Kosanku terbilang cukup minimalis dan untuk harga...masih terjangkau sebagai kos anak kuliah pada umumnya di daerah Bandung. Tidak ada yang special, hanya saja tetangga kosanku, bisa dibilang sedikit special.

"Baru ngekos, ya?" Tanya seorang laki-laki dengan perawakan tinggi dan....bisa dibilang tampan, sangat tampan.

Aku melirik sekitar, memastikan pada siapa laki-laki itu berbicara, hingga suara tawa laki-laki itu terdengar, "ngapain sih celingak-celinguk? Gue ngomong sama lo," katanya lagi masih sambil tertawa, dan matanya menyipit membentuk kurva layaknya bulan sabit.

"Eh? Hehehe. Iya, Kak. Baru aja milih kosan tadi."

"Udah deal sama Ibunya?"

"Udah, Kak. Tinggal masukin barang terus pindah deh," jelasku dan dia mangut-mangut tanda mengerti.

Buat beberapa detik bahkan hampir dua menit kami cuman berdiam diri dalam canggung, bahkan di antara kami tidak ada yang memiliki niat untuk memecah kecanggungan itu sama sekali. Padahal aku bisa memilih pamit, tapi aku merasa tidak enak karena dia adalah tetangga depan kosanku persis.

"Kalau di hari kedepannya aku butuh bantuan, kan bisa ke dia," Pikirku dalam hati.

"Jeno," katanya bersuara setelah sekian lama.

"Alysa, panggil Sasa aja." Aku balas memperkankan diri. Lalu setelah itu hanya obrolan-obrolan ringan yang terlontar seraya menunggu taxi onlineku datang.

Yang aku ketahui, dia adalah calon kakak tingkatku di kampus. Hanya saja berbeda jurusan denganku. Dia bilang, dia tinggal berempat dengan tiga laki-laki lainnya, yang kebetulan sedang tidak ada di kosan tadi sore.

Yang perlu kalian tahu adalah; ke empat laki-laki itu adalah para pemeran utama dalam ceritaku. Indah, pada awalnya. Namun juga tidak buruk pada akhirnya, permainan semesta...selalu tidak pernah terbaca.

WARNA || [HAECHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang