Berhenti Melangkah.

399 72 8
                                    

Malam itu di dalam mobil sedan berwarna putih milik laki-laki yang hadirnya selalu bisa menjadi buku diary berjalanku, radio mengalun dengan keras.

Kami berdua menyanyi bersama mengikuti alunan lagu dengan seksama. Kadang aku menetertawakan dia yang salah lirik dan juga ada dia yang balik menertawakanku saat nadaku tidak sampai pada lagu yang aku senandungkan.

"Kita ke mana?"

"Warteg badut, kamu mau?" Tawarnya seraya menatapku dengan tatapan jenaka seolah ajakanya hanyalah guyonan belaka.

"Ih jauh pisan atuh, mesti ka Simpang Dago," keluhku seolah aku yang mengendarai mobilnya hahaha ia tertawa juga saat itu.

"Ya sekalian atuh kita jalan-jalan, night drive ceunah kata anak-anak jaman sekarang mah." Ntahlah, sedihku meluap begitu saja saat bersanda gurau dengannya, aku tak tahu sejak kapan candanya menjadi candu untukku.

"Iya anak jaman dulu. Kita ke warteg badut, ya. Nanti kita beli makan, kita makan di mobil. Oke nggak, Mas?" Tanyaku pada laki-laki bernama Arjuna Gemintang, yang memiliki mata teduh seteduh bintang pada malam hari.

"Siap, berangkat kitaaa," jawabnya seraya kembali fokus pada jalan, namun senyum itu masih setia menghiasi bibirnya.

Perjalanan memakan waktu lebih dari 45 menit, sehingga aku dan Mas Juna tiba di warteg badut saat hampir tengah malam. Kami memilih untuk memesan drive thru, dan ia memesakan 2 minuman soda, 2 hambuger dan juga satu kentang goreng ukuran besar.

Dia hanya memesan, aku yang membayar semuanya hahaha. Itu sudah perjanjian kami tadi di jalan, sebagai sedikit ucapan terimakasih karena sudah selalu menemaniku.

Ia memarkirkan mobilnya di pelantara parkir warteg badut dan membiarkan mesin mobil menyala agar kami tidak mati kehabisan nafas berdiam diri di dalam mobil. Kami berdua awalnya menikmati makanan dengan hikmat sampai aku membuka topik yang tidak bisa disebut kabar baik.

"Chandra ngajak aku pacaran, Mas." Mas Juna tidak menunjukan keterkejutannya sama sekali, mulutnya masih sibuk mengunyah kentang goreng yang tadi kita beli.

"Mas? Respon atuh ih, aku teh kan lagi cerita sama kamu."

Laki-laki itu menelan isi mulutnya, lalu membuka suara, "ya bagus dong, Sa? Tujuan kalian deket kan emang buat pacaran."

Aku tertawa membenarkan ucapannya. "Tapi aku nolak dia. Kita jujur di saat bersamaan, tukeran kertas hahaha. Kayak anak kecil, ya?"

Untuk beberapa saat hanya hening yang mendominasi mobil sedan hitam ini, hinggal laki-laki itu kembali menanggapi ceritaku dengan menyuarakan sudut pandangnya, "Kamu nolak dia kenapa? Mas kira kamu juga suka sama dia? Maksud Mas gini loh, Sa. Mas tuh nggak sekali dua kali liat kalian berduaan. Mas mikirnya kalian emang dekat buat hal yang lebih serius. Tapi Mas salah sangka ternyata?"

Aku butuh beberapa detik untuk mencerca ucapan dari Mas Juna. Benar adanya jika tujuan awal kami memang untuk hal lebih serius, benar juga jika aku menyukainya. Tidak ada yang salah.

"Mas Juna bener kok. Yang salah cuman dia yang kelamaan, Mas. Aku udah capek nebak-nebak mau dia kayak gimana, kadang dia nolak kehadiran aku, kadang dia yang paling mau aku selalu ada buat dia. Aku capek banget, Mas," jelasku seraya menyandarkan diri pada kursi mobil dan menoleh ke arahnya yang juga sedang menoleh ke arahku.

Mas Juna mengumpulkan sampah bekaa kami makan, ia satukan dalam satu plastik besar dan menaruhnya tepat di samping kakiku untuk nanti dibuang. Lalu ia kembali menatap ke arahku, tanganya terulur untuk memberi tepukan di pucuk kepalaku.

"Kalau capek ya istirahat. Jangan maksain diri, jangan nyalahin diri. Nanti juga dia balik, Sa. Mas kenal banget dia orangnya gimana." Lalu dia mematikan AC mobil, membuka kaca dan membakar rokoknya tanpa membiarkan aku menjawab atau membabtah ucapannya.

WARNA || [HAECHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang