Bertemu luka lama.

2.1K 462 70
                                    

Hari ini sudah memasuki hariku yang 6 berada di Jakarta. Rasanya menyenangkan, semenyenangkan itu ternyata rasanya membayar rindu pada rumah. Rasanya bebas, lepas dan aman.

Kembali ke rumah memang selalu menjadi pilihan terbaik.

"Dek, Dek bantuin Papa sini." suara teriakan dari luar kamar berteriak memanggilku.

"Apa Paaa?"

"Papa laper," Papa menatapku dengan senyuman jahil namun hangat.

"Nasi goreng aja ya, Pa?" Aku sebenarnya tidak terlalu pandai untuk memasak namun untuk sekedar nasi goreng masih kusanggupi.

Pagi itu aku berkutat dengan wajan, kompor dan teman-temannya, sedang Papaku membaca koran di meja makan.

"Pa?" Panggilku yang disahut dengan gumaman ringan.

"Papa dulu kenal sama Mama di mana?" Tanyaku seraya meneruskan kegiatan memasak di dapur, beruntung letak dapur dan meja makan bersebelahan jadi tidak menyulitkanku untuk berbicara dengan Papaku.

"Mamamu itu dulu junior Papa di kampus, Mamamu duluan loh yang suka sama Papa," ceritanya berbangga hati.

Aku tertawa mendengarnya, "Tapi Papa duluan yang deketin Mama?"

Aku melirik sekilas kearah pria paruh baya yang tidak lain adalah Papaku sendiri sedang mengulum senyum kecilnya. Aku paham pasti arti dibalik senyum itu.

"Pa?"

"Aku nemuin seseorang. Caranya sama kayak cara Mama nemuin Papa," aku bercerita dengan bibir yang melengkung sempurna membentu sebuah senyuman.

Papa terkekeh kecil sesaat sebelum bertanya, "Sebaik Papa nggak?"

"Baik Pa."

"Bukan dia kan?" Tanya beliau begitu saja membuatku membatu untuk sepersekian detik. Ada sesak dan rasa takut yang kembali memelukku erat.

"Bu- bukan, Pa. Chandra anak baik," aku menjawab dengan suara yang lebih pelan, sangat pelan.

Tak ingin membahas ini lebih jauh aku memilih diam melanjutkan memasak dan setelah memberikan masakan ini pada Papaku, lalu kembali ke kamar.

Di dalam kamar aku mencoba untuk mengusik segala pikiran kelam tentang masa lalu dengan menyalakan musik dengan cukup kencang untuk mendistrak pikiranku, namun tidak berhasil.

"Berdamai sama masa lalu, Sa, maafin dia," rapalku dalam hati seraya mencoba menurunkan ego dan emosiku.

Sebenarnya ada sejumput rindu yang ikut hadir. Namun perasaan takut dan kecewaku lebih besar dari rindu itu.

Sekelibat bayangan masa lalu begitu saja datang memenuhi pikiranku, "We're done, please..." ucapku frustasi dan hampir menangis.

Rasa trauma dan takut itu kembali hadir. Rasa yang beberapa bulan terakhir ini sudah hilang digantikan dengan rasa yang baru dari orang yang baru.

Aku mengambil ponselku lalu menghubungi seseorang yang tepat untukku hubungi, Chandra.

Cerita hidupku tidak berjalan semanis cerita di dalam karya fiksi atau drama picisan yang di mana seseorang yang kubutuhkan lebih dulu menghubungiku seolah tahu apa yang kurasakan.

Tidak, ini dunia nyata. Di mana harus ada aksi untuk mendapat semuah reaksi.

Aku melirik jam yang menggantung di kamar, jam masih menunjukan pukul 10 pagi pantas suara di seberang sana terdengar sangat serak, "ha- halo Saa? Aya naon?"

Aku kembali mengulum senyum, "bangun, Ndraa. udah siang," ia hanya bergumam.

"Ndra?"

"Hngg?"

WARNA || [HAECHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang