Chapter 4

9.5K 1K 31
                                    

Bella dengan perasaan gelisah menelpon Ayra, tapi sepupunya itu tidak mengangkat telponnya. Sudah hampir 10 kali panggilan, tapi hanya suara operator yang berbicara. Bikin Bella tambah khawatir. Penjelasan Tasya yang mengatakan kalau Ayra sudah tidak berada di rumah sakit, membuat ia menerka-nerka kalau sudah terjadi sesuatu dengan Ghanim.

Brengsek! Laki-laki bedebah itu pasti sudah bikin sesuatu pada Ayra!" geram Bella.

"Siapa yang brengsek?"

Bella memelototkan matanya, pada pemuda dingin yang ada di depannya yang dengan cool menatapnya dengan tangan bersidekap. Emosinya semakin berlipat-lipat. Dirgantara cowok yang selama ini jadi musuhnya, tapi apesnya ia harus dipasangkan dalam pemotretan dengan cowok sok cool ini.

"Nggak usah kepo dengan urusan gue!" bentak Bella galak.

"Kamu tambah cantik kalau lagi marah seperti itu." ujar Dirga dengan kalem.

Amarah Bella makin berlipat dengan kata-kata receh yang dilontarkan Dirga, hampir saja ia mencopot sepatunya untuk memukul kepala Dirga, tapi dia tahan karena keburu Thomas si fotografer datang.

Sedang Ayra yang sedang dikhawatirkan Bella, dia tidak langsung pulang ke rumah, tapi meminta sopir Taxi membawanya ke sebuah pemakaman. Sudah hampir satu jam ia berada di area pemakaman. Mata Ayra terlihat bengkak, dan air mata masih mengalir di pipinya yang mulus. Sepertinya perkataan Ghanim di rumah sakit tadi cukup membuat hatinya terluka. Membuka ingatan yang sudah berusaha ia kubur dengan baik.

Siapa sih yang tidak sedih, jika perpisahan itu membuat ia harus kehilangan mahluk kecil tak berdosa yang sudah bersemayan dalam rahimnya selama tiga bulan. Dan Ghanim tidak tahu tentang itu. Karena ia tidak pernah peduli. Ayra kembali terisak menangisi episode terkelam dalam hidupnya. Ia tahu menangis di pemakaman tidak baik, tapi ternyata, untuk bisa bangkit dari kubangan luka itu tidak mudah.

Rintik hujan yang mulai membasahi baju Ayra, tidak dipedulikannya. Ia berat sekali untuk beranjak pergi dari pemakaman ini.

Tiba-tiba suara deheman seseorang menyadarkan dirinya dari kesedihan yang menerpa. Ayra pun membalikan tubuhnya.

"Maaf sudah mengganggu ziarahnya, Mbak. Saya cuma mau mengingatkan kalau ini sudah sore, dan sebentar lagi hujan akan turun dengan lebat, jika melihat langit yang bergelayut mendung," ujar lelaki berparas tampan yang baru pertama kali Ayra lihat.

Ayra hanya mengucapkan terimakasih, dan perlahan mengundurkan diri dari area pemakaman dengan langkah gontai.

"Nama saya Damar Prasetya. Nama Mbak, siapa?" rupanya laki-laki asing itu menyusul langkah Ayra.

Ayra hanya melirik sekilas setelah itu pandangannya menatap ke depan tanpa berkata apa-apa.

"Saya bukan orang jahat Mbak, saya orang baik-baik. Dan saya baru selesai menziarahi makam Ibu saya. Mbak sepertinya baru kehilangan seseorang ya, kelihatannya sangat sedih banget."

Ayra menghela napas. Sebenarnya ia tidak merasa nyaman, jika saat sedang bersedih diajak berbicara. "Begitulah Pak Damar," jawab Ayra singkat.

"Panggil saja saya Damar, Mbak. Sepertinya usia kita tidak jauh berbeda."

"Ok, Damar."

"Mbak habis ziarah dari makam siapa?"

Ayra melirik Damar dengan pandangan kesal. Kenapa Damar begitu kepo dengan urusannya? Tapi kalau ia diam pasti akan dianggap sombong.

"Dari makam anak saya," lirih Ayra.

Damar terlihat terkejut, ternyata wanita di depannya sudah menikah. Tapi kemana suaminya? Ah, kenapa ia mendadak jadi kepo?

"Oh, maaf..." Damar merasa tidak enak, karena Ayra terlihat sangat bersedih.

Hujan yang tadi hanya gerimis, bertambah besar. Dan Ayra segera mencari tempat berteduh, begitupun dengan Damar.

"Hujan seperti ini, sangat lama redanya," guman Damar sambil menatap langit yang memuncratkan air hujan.

Ayra memilih mencari ponsel di dalam tasnya. Bella pasti akan terus menelponnya jika dia dapat laporan dari Tasya, saat ia tidak berada di rumah sakit. Dan akan menanyainya juga pada orang rumah. Ayra menatap ponselnya yang lowbatt dengan perasaan sedih. Kenapa ia bisa lupa untuk mencasnya? Ini pasti gara-gara semalaman  kepikiran terus tentang Balqis.

Lalu bagaimana bisa pulang? Ayra merasa tidak nyaman berduaan dengan laki-laki asing di area pemakaman ini. Jangan-jangan Damar adalah hantu, karena kemunculannya yang tiba-tiba. Aih, kenapa ia jadi berpikir ngaco. Jelas-jelas kaki Damar napak ke tanah. Dan tadi Damar sudah menjelaskan kalau ia baru menziarahi makam ibunya.

Hawa dingin mulai terasa menyusup tulang. Ayra mulai didera rasa gelisah. Ia akan pulang dengan apa, kalau hapenya lowbat. Dan tidak ada tanda-tanda kalau hujan akan segera mereda.

Rupanya kegelisahan Ayra disaksikan oleh Damar. Pasti wanita bermata teduh itu kebingungan dengan cara ia pulang. Dan entah kenapa Damar yang biasanya cuek, berniat menawarkan tumpangan pada Ayra. Kebetulan ia membawa Land Rovernya.

"Mbak Ayra hujan sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Mobil saya terparkir di luar. Apakah Mbak Ayra bersedia pulang bareng saya. Karena tetap diam di sini, malah akan terjebak hujan sampai malam," suara Damar membuyarkan lamunan Ayra.

Ayra memilin jarinya, sebuah kebiasaan jika ia sedang didera rasa gelisah. Pulang dengan laki-laki asing, itu bukan pilihan yang tepat. Tapi tetap berada di sini sampai malam, akan semakin horor. Sore dengan diiringi hujan saja rasanya sudah terasa mencekam.

"Tapi..."

"Mbak Ayra, saya bukan orang jahat. Saya menawarkan Mbak pulang bareng, itu murni karena kemanusiaan. Jika Mbak khawatir akan berduaan di mobil, tidak usah khawatir, karena ada adik  sepupu saya. Dia tadi lebih dulu masuk kedalam mobil karena kelelahan."

Ayra ingin kembali menolak tawaran baik Damar, namun suara petir yang disusul dengan kilat membuat ia menerima tawaran Damar. Dan akhirnya mereka menerobos hujan untuk bisa sampai ke dalam mobil.
***
Bella menatap Dirga dengan tatapan kesal. Laki-laki di depannya ini membuat emosinya yang sudah tenang kembali beriak. Apalagi saat pemotretan tadi yang harus diulang beberapa kali karena ulah Dirga yang membuat Bella tidak merasa nyaman. Dan itu membuat Thomas kesal.

"Apapun masalah kalian yang pernah terjadi di masa lalu, tolong kesampingkan dulu. Dan bersikap profesionalah. Bekerjalah dengan kooperatif. Kalian boleh bermusuhan saat tidak sedang bekerja. Tapi jangan bawa-bawa sikap permusuhan kalian saat bekerja," tegur Thomas.

Teguran Thomas bikin Bella panas, ini semua gara-gara Nara yang memaksanya untuk menerima tawaran pemotretan sebuah kaos yang sekarang lagi digandrungi anak muda. Dan ia harus dipasangkan dengan Dirgantra musuh bebuyutannya dari zaman SMA.

Dirga menghalangi jalan Bella yang sudah bersiap untuk pulang. Tubuh tingginya membuat Bella kesusahan untuk lewat.

Bella menatap Dirga dengan galak. Memintanya menyingkir lewat tatapan matanya.

Tapi Dirga malah membalas tatapan Bella dengan tatapan lembut, membuat Bella gelagapan.

"Tatapan kamu kalau lagi galak itu sangat...sangat cantik, Bel. Dan itu yang selalu bikin aku kangen terus sama kamu," lirih Dirga.

Wajah Bella langsung blushing mendengar kata-kata Dirga. Duuh...kenapa ia jadi seperti remaja belasan tahun yang harus merasakan dadanya berdebar, dan wajahnya pasti sudah memerah seperti kepiting baru di rebus. Dirga itu,  jelas musuhnya, jadi ia tidak boleh lengah sedikitpun.

"Awas...aku mau pulang!" Bella mendorong tubuh Dirga. Lalu berjalan dengan langkah tergesa.

Semoga ini pertemuanku yang terakhir dengan mahluk yang bernama Dirga, doa Bella dalam hati.

Mengejar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang