Chapter 11

7K 887 54
                                    

Entah kenapa Ghanim merasa tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi saat melihat tatapan mata Damar yang dalam, saat menatap Ayra bikin ia tambah kesal saja.

Ia pun mendekat ke arah mereka. Dan sengaja berdehem, agar mereka sadar dengan kedatangannya.

Damar pun menoleh ke arah Ghanim dan menyapanya. Damar terlihat merasa bingung karena Balqis, anaknya Ghanim mengenal Ayra. Dan melihat tatapan Ghanim yang tidak ramah, membuat Damar bertanya-tanya.

"Ayra, aku ada sesuatu yang di bicarakan sama kamu," ujar Ghanim.

Ayra menatap Ghanim tanpa berbicara. Setelah menyakitinya di rumah sakit, mengeluarkannya dari sekolah, laki-laki itu masih punya nyali untuk mengajaknya berbicara. Dasar manusia bebal! geramnya.

"Kalian saling mengenal?" tanya Damar.

"Sangat...sangat mengenalnya. Dia mantan istriku!"

Damar tentu saja sangat terkejut, demi mendengar pengakuan dari Ghanim. Benaknya dipenuhi tanya. Mungkinkah Ayra banyak terluka oleh Ghanim saat menjadi istrinya? Mengingat pertemuannya di pemakaman, melihat wajahnya yang sering mendung, melihat tatapan matanya yang menyiratkan luka, pasti ada banyak masalah yang berat yang sudah dilalui oleh Ayra. Tapi mendengar Ghanim menyebut mantan istri, ada sesuatu yang bikin Damar lega. Itu artinya, Ayra tidak sedang terikat dengan siapapun.

"Jadi Ayra adalah istri kamu sebelum Adiba, ya?" istri Ghanim yang Damar ketahui hanya Adiba, bukan Ayra.

Ghanim menganggukan kepalanya.

Damar tentu saja kaget. Meskipun ia dan Ghanim berteman, tetapi karena jarang berada di Indonesia, Damar tidak banyak tahu tentang kehidupan Ghanim. Dan ia bisa menebak tentang apa yang sudah terjadi di pernikahan Ayra dan Ghanim. Wajah Ayra yang mendadak muram, sudah bisa menceritakan apa yang sebenarnya pernah terjadi pada masa lalu mereka.

"Ayra bisakan kita berbicara?" pinta Ghanim.

Ayra menggeleng, "Di antara kita sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi." Ayra memilih bangkit berdiri. Ia tidak mau berada di sini, dengan dikelilingi laki-laki yang membuat dirinya tidak nyaman.

"Bu Ayra mau kemana?" tanya Balqis.

"Maaf Balqis, Ibu harus pulang dulu." Ayra melepaskan tangan Balqis yang memegang bajunya.

Balqis terlihat kecewa, sepertinya Ibu gurunya itu tidak suka lagi sama dirinya. Dan Ayra pergi tanpa bisa dicegah.

Ghanim menarik napas kecewa. Sepertinya mengajak Ayra bicara bukan waktu yang tepat. Lalu ia menatap Damar dengan pandangan tidak suka.

"Kamu ada hubungan apa sama dia?" selidiknya.

"Nggak ada hubungan apa-apa. Kenapa kamu menatap aku seperti itu, seakan aku akan merebut sesuatu yang menjadi milikmu?"

"Jangan dekati Ayra lagi! Kamu bisa cari wanita lain, tapi jangan dia," ujar Ghanim sambil mendengkus tidak suka.

Damar tertawa, "Hai, Ghanim, kamu itu siapa, sampai mau mengaturku? Terserah aku dong, mau dekat dengan siapapun. Ingat, dia itu mantan istri kan? Jadi bebas dong, kalau aku mau deketin dia juga. Karena dia tidak terikat apapun lagi dengan kamu. Dan bisa jadi, kalau aku menjadi suaminya, dia bisa bahagia bersamaku ketimbang kamu."

"Kita ini teman Damar? Jangan sampai persahabatan kita rusak hanya gara-gara wanita."

Damar tertawa pelan, "Jangan bilang kamu masih mengharapkan dia. Ghanim...Ghanim, kamu itu lucu banget. Apa kamu yakin wanita yang hatinya sudah kamu retakan, akan mau diajak kembali membina hubungan."

"Kamu jangan sok tahu tentang masalahku. Kamu tidak tahu apa-apa."

"Kamu lupa, kalau kamu pernah cerita, jika kamu pernah bertemu dengan mantan istrimu saat Balqis sakit. Dan aku baru tahu kalau mantan kamu adalah Ayra. Dan yang perlu kamu tahu, aku pernah menyaksikan dia menangis saat pulang dari pemakaman. Dia bilang, habis ziarah ke makam anaknya. Jangan-jangan itu anakmu."

Mengejar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang