Chapter 10

9.1K 957 27
                                    

Ayra masih termenung di motornya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu ibunya tidak akan pernah mengejarnya, sama seperti dulu ketika Ayra meminta ibunya untuk hadir di hari pernikahannya, dan tidak pernah datang. Ayra paham kalau kedatangannya, akan dilarang oleh suaminya, memilih berlibur ke Maladewa, itu yang Ayra ketahui dari postingan FB ibunya. Dan dari sanalah puncak dari segala kecewa Ayra pada ibunya.

Untunglah rasa kecewa Ayra tidak bertahan lama, ketika ayah Ayra menelponnya.

Assalamu'alaikum. Ra, kamu ada di mana? Papa kangen ingin bertemu kamu. Sekarang Papa lagi ada di Jakarta bersama Ibu kamu. Bisa kan Nak, kamu datang ke hotel tempat Papa menginap sekarang."

Tangis Ayra langsung pecah, ketika mendengar suara ayahnya. Ikatan batin ayahnya selalu kuat, jika ia sedang mengalami kesedihan. Terutama kesedihan tentang keluarganya.

"Kamu kenapa menangis?" Tanya Ayahnya dengan nada khawatir.

Ayra menggeleng, meskipun ayahnya tidak mungkin melihat gelengannya.

"Apa perlu ayah ke sana?"

"Biar Ayra yang datang ke tempat Ayah."

"Kamu beneran tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa Yah, mungkin Ayra terlalu senang karena ayah menelpon Ayra."

Saat Ayra memasukan ponsel kedalam tasnya, ada tangan yang menyodorkan sapu tangan biru, membuat Ayra mendongakan kepalanya.

Dia lagi! desis Ayra dalam hati. Dimana-mana ia selalu bertemu dengan lelaki berwajah tampan yang berambut gondrong itu. Dan selalu dalam keadaan dirinya sedang bersedih. Hm...Damar Prasetya, kalau tidak salah namanya.

Ayra ingin menolak, tapi ia tidak mau urusannya semakin panjang, hingga waktu bertemu dengan ayahnya akan telat.

"Terimakasih, Mas Damar," lirih Ayra.

"Sama-sama, Ayra. Kebetulan sekali kita bisa bertemu kembali." Damar terlihat senang bisa bertemu dengan Ayra. Ia datang ke restoran ini, karena ada seseoang yang ingin ia temui. Tapi, sebuah keajaiban jika bisa kembali bertemu dengan Ayra.

Ayra pamit pada Damar, dan membuat pemuda itu sedikit kecewa. Mungkin bisa mengobrol banyak dengannya adalah sesuatu yang menyenangkan. Damar menatap motor yang dikendarai Ayra sampai tidak terlihat.

"Hei..." tiba-tiba pundak Damar ditepuk seseorang, "Serius banget ngelihatinnya. Baru kali ini aku melihat seorang Damar peduli pada perempuan. Jangan-jangan kamu suka dia, Bro."

"Bagaimana kalau apa yang kamu katakan itu benar?" Damar menatap Fajar. Ia tidak ingin menyengkal, kalau hatinya tertaut pada Ayra.

"Ya bagus dong, Dam. Itu artinya kamu masih normal. Dan gossip-gosip tentang kamu gay, bisa ditepis, kalau beneran kamu suka wanita."

Damar ingin mengumpat, pada orang yang sudah menghembuskan berita kalau dirinya gay. Jika ia ingin mengikuti nasehat ibunya, memangnya salah, bahwa mencintai cukup satu kali, dan orang itu adalah orang yang paling tepat untuk dijadikan pendamping hidupnya. Karena mengobral cinta juga tidak bagus. Berapa banyak pasangan yang sudah berjalan dalam pernikahan bubar, karena terjebak dengan cinta masa lalu.

"Jadi, sudah jauh mana kamu melakukan pendekatan pada wanita tadi?" Fajar merasa penasaran.

Damar menggedikan bahunya, "Aku baru bertemu dia beberapa kali. Dan belum kenal dekat juga. Sudahlah nggak usah bahas itu, mending kita bahas pekerjaan yang kamu tawarkan."

Fajar menawarkan Damar pekerjaan di sebuah stasiun televisi yang dia kelola. Dia membutuhkan orang yang idealis dan kreatif seperti Damar. Apalagi sahabatnya ini, lama bekerja di dunia pertelevisisan di luar negeri. Kebanyakan dunia pertelevisian yang ada di tanah air saat ini, mengikuti selera pasar, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang kurang mencerdaskan. Dan Fajar termasuk orang yang berani, membuat gebrakan baru dengan membuat acara televisi yang lebih mendidik dan kreatif, di saat sebagian orang beralih ke Yout*be akibat kejenuhan dengan tayangan televisi yang ceritanya sangat seragam.

"Aku senang banget kalau kamu mau gabung di Smart TV," ungkap Fajar penuh harap, kalau sahabatnya mau bergabung.

Damar merenung untuk sesaat. Ia teringat dengan kata-kata papanya tadi pagi, yang menginginkan dirinya pindah kerja ke Indonesia. Tapi kontrak kerjanya di luar negeri masih satu tahun lagi. ia harus menyelesaikan kontrak kerjanya terlebih dahulu, jika ingin pindah kerja ke Indonesia.

"Kontrak kerjaku masih satu tahun lagi, Jar. Dan ketika aku balik ke sini nanti, mungkin posisi yang kamu tawarkan sudah diisi oleh orang lain."

"Kapan pun kamu siap, aku akan selalu menerima kehadiran kamu untuk bergabung di perusahaanku."

"Thanks atas tawarannya, Bro."

Setelah itu mereka berbicara tentang hal lain, mengingat Damar dan Fajar adalah kawan lama, yang di pisahkan oleh kesibukan masing-masing dan juga jarak. Dan Damar lebih memilih bekerja di luar negeri, hingga mereka jarang bisa bertemu.

Fajar selain membahas perusahaannya, dia juga menceritakan tentang rumah tangga kecilnya, yang baru dua tahun dibina. Kehadiran si kecil Nazreen, membuat laki-laki itu terlihat bahagia dengan rumah tangga yang dibinanya sekarang. Sepertinya pernikahan Fajar dengan wanita keturunan Aceh, membuat kehidupan Fajar banyak perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik.

***

Ayra sampai di hotel tempat ayahnya menginap bertepatan adzan maghrib. Ayah Ayra menyambut kedatangan putrinya dengan senang, begitupun dengan ibu tirinya, Tante Shafiya. Sedangkan kedua adik tiri Ayra tidak dibawa, mereka dijaga oleh asisten dan neneknya di Semarang.

"Apakah mamamu pernah menelpon?" tanya Ayah, ketika mereka selesai salat dan mengajak Ayra mengobrol.

Ayra menggeleng lemah. Ibunya sudah bahagia, dengan suaminya yang sekarang. Kehadiran Ayra menjadi pengganggu kebahagiaan mereka.

"Ayah lihat kamu sedang tidak baik-baik saja. Apakah kamu bertemu dengan ibumu?" selidik Ayah, seakan tahu tentang kesedihan putrinya.

Ayra terpaksa mengangguk, "sebelum ke sini aku bertemu dengan ibu yang sedang makan di restoran. Dia bersama dengan suaminya dan juga keluarga kecilnya."

"Dan itu terjadi, tepat saat Ayah menelpon kamu."

Ayra mengangguk lemah.

Ayah Ayra mengenggam tangan putrinya, "Biarkan mama kamu bahagia dengan pilihan hidupnya, tapi jangan sisakan ruang kebencian kepadanya, meski pilihannya meninggalkan Ayah, sangat menyakitimu. Sekarang fokuslah pada kebahagiaan kamu. Ayah ingin kamu bisa hidup bahagia, dengan pasangan yang menyayangi dan mencintai kamu. Jika ada suatu hal yang membuat kamu bersedih, berceritalah kepada Ayah, jangan menanggungnya sendirian lagi. Kalau bisa, Ayah ingin kamu pulang, dan kita berkumpul lagi seperti dulu, meski tanpa ada mama kamu."

Ayra hanya bisa diam dan terisak ketika mendengar nasehat dan juga keinginan ayahnya. Bisakah ia memaafkan ibunya—yang sudah meninggalkan laki-laki sebaik ayahnya? Belum jika mengingat ancaman Om Edwin yang akan membunuh ayahnya, jika ia mendekati ibunya. Laki-laki posesif itu ingin menguasai ibunya sendirian.

"Ayah, apakah Ayah tidak merasa sakit, ketika Ibu meninggalkan Ayah?" Ayra menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

Laki-laki paruh baya itu mengehela nafasnya, "Dulu iya, meski hubungan di antara kami sudah lama rusak, setelah Ayah tahu perselingkuhan mamamu dengan laki-laki itu. Ayah mencoba bertahan demi kamu, walau akhirnya harus kandas juga. Tapi tidak dengan sekarang, Ayah malah bersyukur berpisah dengan mamamu, karena Ayah mendapatkan pendamping yang membuat hati Ayah tenang, dan bisa lebih dekat lagi pada Allah. Begitupun dengan kamu Nak, berpisah dengan Ghanim mungkin yang terbaik, karena dia bukan pasangan yang pantas untuk kamu. Namun, Ayah yakin, suatu saat ada laki-laki yang lebih baik, yang bisa membingbingmu menuju ketaatan."

Ayra merasa lega, jika pernikahannya dengan Tante Shafiya membuat ayahnya lebih baik, dan menjadi lebih bijak.

Mengejar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang