Chapter 3

9.9K 1.1K 78
                                    

Ruangan mendadak terasa mencekam bagi Ayra ketika melihat Ghanim masuk ke kamar tempat Balqis dirawat, mendadak ia merasa kesulitan untuk bernapas. Jika ia punya ilmu ajian halimun seperti yang ia dengar di sandiwara kolosal 'Sabda Pandita Ratu' yang sering ia dengarkan dulu di Radio, mungkin ia sudah menghilang dengan menggunakan ilmu itu. Sepertinya, peringatan Bella pada Ghanim untuk tidak menampakan diri di depan Ayra tidak berlaku, ketika Bella sudah pergi dari rumah sakit. Ayra mengehembuskan napasnya dengan berat, dan ia berusaha bersikap rilex.

"Aku membelikan makanan untuk kamu, takutnya kamu lapar," suara Ghanim, memecahkan konsentrasi Ayra yang sedang berpikir bagaimana caraya untuk keluar dari ruangan ini?

Airya mengucapakan terimakasih dengan suara yang sangat pelan, tapi masih terdengar di telinga Ghanim.

Sangat, jika Ghanim peduli padanya. Ketika dulu ia sakit dengan tubuh lemas dan mual-mual. Laki-laki itu bahkan menganggapnya perempuan lemah dan cengeng, yang sedang bersikap manja untuk mencari perhatiannya. Jika mengingat kisah itu, perasaan Ayra tercabik. Namun saat ini, bukan saatnya untuk menangis. Tapi saatnya ia menjadi wanita tegar dan tangguh. Semua kisah yang sudah berakhir, cukup menjadi pelajaran yang sangat berharga, bahwa mencintai sendirian itu, hanya membuat lara.

Suara Balqis yang memanggil ayahnya untuk mendekat, membuat Ayra reflek bergerak mundur.

"Putri kesayangan Ayah, kamu sudah sadar princess?" Ghanim mendekati putrinya dengan binar bahagia.

Gadis kecil itu mengangguk dan mengatakan dengan suara lemah, bahwa ini semua karena kedatangan Bu Ayra.

Ghanim menatap Ayra dengan sorot yang tidak terbaca. Lalu mulutnya mengucapkan kata terimakasih. Ayra hanya mengangguk kecil, membalas tatapan Ghanim sekilas, setelah itu ia membuang tatapannya kesembarang arah. Tidak ada cinta yang menggebu lagi yang tersisa di hatinya, semuanya sudah amblas, mungkin yang tersisa hanya ruang hampa yang bercampur dengan rasa kesakitan.

"Aku ingin Bu Ayra menemaniku di sini, sampai aku sembuh Ayah." Permintaan Balqis pada ayahnya membuat tubuh Ayra langsung kaku.

"Balqis yang minta dong, sama Bu Ayra. Karena kalau Ayah yang minta, pasti Bu Ayra akan menolaknya," Tolak Ghanim lembut.

Ayra menggeram dalam hati, licik sekali lelaki itu, menyeretnya ke dalam masalah yang seharusnya tidak harus terlibat. Sebagai orang tua harusnya memberikan penjelasan yang bijak, bahwa anakya tidak boleh merepotkan orang lain. Bukan Ayra keberatan, tapi harus bertemu dengan Ghanim dalam jarak yang sulit untuk menghindar, membuat ia diserang rasa sesak. Hanya akan membuat ia selalu teringat kisah kelabu hidupnya.

"Bu Guru Ayra, temenin Balqis di sini sampai Balqis sembuh, ya?"

Tatapan sebening telaga yang penuh dengan harapan, membuat Ayra diserang rasa gugup.

"Maaf sayang, Bu Guru sangat sibuk. Jadi, tidak bisa menemani Balqis setiap waktu di sini. Tapi InsyaAllah Bu Guru akan menyempatkan waktu  untuk datang setiap hari ke sini, sampai Balqis sembuh," janji Ayra.

Mata Balqis mendadak sayu, lalu disusul tangisan gadis itu. Membuat Ayra diserang rasa bersalah.

Ghanim terlihat marah dengan penolakan Ayra. Karena telah membuat gadis kecilnya menangis.

"Berapa saya harus membayar jasa anda Bu Ayra, agar mau menemani putri saya? Saya akan bayar berapapun yang anda mau, asal anda mau mengabulkan keinginan putri saya," Ganim berkata dengan dingin, bercampur dengan kemarahan.

Mata Ayra membola, sungguh ia merasa direndahkan oleh laki-laki sombong di depannya ini. Yang menganggap sesuatu bisa diselesaikan dengan uang. Ia memang guru TK yang bergaji kecil, tapi tidak pernah ia akan menukar sesuatu dengan uang. Orang tua seperti inilah, yang membuat bangsa ini rusak. Menganggap jasa guru bisa dibeli. Maka ilmu yang harusnya dimuliakan, tidak lagi mengandung keberkahan. Karena para orang tua yang meremehkan adab dan ilmu. Ayra mengepalkan tangannya, karena merasa diremehkan. Kesombongan Ghanim ternyata belum berakhir.

Ayra menatap Ghanim dengan penuh kemarahan, "Saya sama sekali tidak membutuhkan bayaran dari anda Bapak Ghanim Baihaqi."

Ghanim tersenyum dengan sinis. "Apa penolakan ini, karena masa lalu kita yang sudah selesai, Bu Ayra? Ternyata anda begitu pendendam. Seharusnya masalah kita tidak ada sangkut pautnya dengan putri saya. Tapi anda memang licik, berhasil mempengaruhi putri saya untuk terikat pada anda. Untuk apa? Untuk kembali bisa memiliki saya, kan? Saya peringatkan dari sekarang, saya tidak akan pernah terpikat kepada anda, seberapapun anda berusaha mempengaruhi putri saya."

Mata Ayra terbeliak lebar. Seperti ada goresan belati yang merobek-robek hatinya. Ini sangat menyakitkan sekali. Kenapa Ghanim terlalu percaya diri, kalau ia masih menyukainya? Lalu tuduhan ia mempengaruhi Balqis, benar-benar tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Ia baru tahu Balqis saja saat Ghanim mengantarkan putrinya ke sekolah.

"Dengarkan baik-baik perkataan saya, Bapak Ghanim yang terhormat. Perpisahan saya dengan anda sudah berlangsung enam tahun, saya hidup dengan baik dan bahagia. Bahkan semenjak perpisahan itu terjadi, saya merasa lepas dan bebas. Mungkin saya pernah jadi wanita bodoh, karena pernah mencintai anda, tapi itu dulu. Dan saya tidak menyesalinya, karena dari situ saya belajar untuk jadi perempuan kuat, tangguh dan tidak mudah diremehkan."

"Dan Bapak sangat salah, kalau menuduh saya sudah mempengaruhi putri Bapak, bahkan awalnya saya tidak pernah tahu jika Balqis adalah putri Bapak. Dia hanya gadis yang malang, yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Hal yang harus Bapak tahu, saya memperlakukan murid-murid itu sama, mencintai dan menyayangi mereka dengan porsi yang sama. Kenapa Bapak tidak pernah menyalahkan, bahwa kesalahan itu ada di diri anda sendiri? Bahwa andalah yang belum layak menjadi ayah. Yang belum becus mencarikan Ibu buat putrinya," tutur Ayra dengan Ayra.

"Oh ya, saya belum becus mencarikan Ibu buat putri saya, apakah anda memiliki harapan yang besar untuk saya jadikan Ibu untuk Balqis?"

Ayra mengusap dadanya, ia harus menyimpan banyak stock kesabaran jika berhadapan dengan manusia sombong di depannya ini.

"Saya tidak pernah tertarik menjadi ibu bagi Balqis sama sekali. Apalagi ketika tahu ayahnya adalah anda. Manusia tersombong di muka bumi yang selalu merasa dirinyalah yang paling hebat. Tidak ada keuntungan sama sekali bagi saya, untuk kembali pada laki-laki yang sudah membuang saya. Dan maaf Pak Ghanim, sepertinya saya harus segera pulang. Karena percuma saya berada di sini juga, jika Bapak tidak pernah menganggap niat tulus saya untuk menengok putri anda. Dan kalau putri anda kembali rewel, katakan padanya, bahwa saya ini gurunya yang tidak setiap saat bisa berada di sampingnya. Saya bukan ibunya." Ayra pun segera menyambar tas dan berlalu dari ruang perawatan, ia tidak peduli lagi dengan panggilan Balqis yang menahannya untuk tidak pergi.

Giliran Ghanim yang kelimpungan dengan rengekan putrinya. Baru saja putrinya sadar, ia sudah bikin masalah. Ini semua karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol. Laki-laki itu menjambak rambutnya dengan kesal.

Dan Ayra, ketika sudah berada di mobil taksi yang membawanya dari rumah sakit menuju tempat kediaman Bella, ia menumpahkan rasa sesak di dadanya melalui tangisan. Seharusnya ia mematuhi perintah Bella untuk tidak datang ke rumah sakit. Kalau tidak ingin hatinya kembali terluka. Niat tulus yang tidak diharagai, dan diremehkan, hanya mengulang kekecewaan yang sama, seperti yang sudah pernah terjadi di masa lalu. []

Mengejar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang