Chapter 6

9.2K 1.1K 75
                                    

Ayra tersenyum lemah ketika mendengar penjelasan Bu Barkiah bahwa beliau tidak bisa mempertahankan Ayra mengajar di TK tempat mengabdi sekarang, dengan alasan yang menurut Ayra terlalu mengada-ngada. Ini semua pasti karena ulah Ghanim yang punya kekuatan financial sehingga bisa menyingkirkan orang yang akan jadi penghalangnya. Tapi Ayra sangat bersyukur, dia tidak punya waktu lagi untuk memikirkan Balqis. Karena melihat gadis itu, akan selalu mengingatkan pada ruang masa lalunya.

Ayra berjalan dengan gontai keluar dari ruangan tempatnya mengajar. Berdekatan dengan anak-anak merupakan bagian dari terapi heallingnya. Sekarang mungkin akan menjadi pengangguran sejati. Sebenarnya ia bisa menerima tawaran Bella, bikin sekolah sendiri, tapi rasanya terlalu malas untuk memulai. Ia butuh waktu untuk kembali kuat.

Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Ghanim, laki-laki itu tampak angkuh ketika berhadapan dengan Ayra. Sepertinya dia belum merasa puas menyakiti Ayra.

"Bagaimana rasanya dipecat menjadi seorang guru? Itulah balasan bagi orang yang bermain-main denganku. Kamu pernah menghancurkan impian hidupku, dan aku pun akan membalas semua rasa sakit yang aku rasakan." ucapan Ghanim terdengar dingin.

Ayra behenti tanpa menoleh kearah Ghanim, pandangannya lurus ke depan, "Terimakasih sudah menendang saya keluar dari sini. Semoga kita tidak pernah bertemu kembali." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ayra kembali melanjutkan langkahnya.

Dendam lelaki gila itu, ternyata belum selesai. Padahal ia yang sudah menghancurkan hidupnya, sudah meraih kebahagiaannya. Ayra memilih melangkahkan kakinya tak tentu arah. Hari ini, ia tidak ingin pulang ke rumah. Menyendiri akan membuat ia mudah dirundung segala kesedihan. Ketika melihat sebuah taman, langkah Ayra pun mengarahkan kakinya menuju ke sana. Pukul 08.15, saat Ayra melirik jam di pergelangan tangannya. Masih terlalu pagi jika ia pulang ke rumah. Biarlah di sini dulu, sekalian menenangkan hatinya yang serapuh kaca.

Hening, itu yang Ayra rasakan saat berada di taman. Karena ia memang sedang sendirian berada di sini. Ia pun memilih mendengarkan ceramah-ceramah Utadz Favoritnya yang didengarkan melalui hedset. Saat hati sedang sedih, maka mendengar ceramah tentang manajemen hati, membuat hatinya kembali kuat. Ketika Ayra akan memejamkan matanya, ia mendengar suara bariton dan Ayra langsung waspada.

"Bolehkah aku duduk di sini?"

Ayra terkejut ketika melihat sosok di sebalahnya yang terlihat tidak asing, ia ingat kalau pemuda itu yang sudah bertemu denganya di pemakaman.

"Sepertinya kamu yang kemarin bertemu di pemakaman itu kan, yang saya antar pulang. Kalau boleh tahu siapa namamu?"

Ayra mengangguk dan kembali menyebutkan namanya, lalu memilih diam. Ia sungguh kesal karena kesendiriannya diganggu oleh orang lain. Dan tidak mungkin ia berada di sini berduaan bersama laki-laki asing.

"Apakah anda sedang bersedih?"

Ayra menggeleng, meskipun kenyataannya sedang bersedih tapi sekali lagi, ia tidak mungkin bercerita pada orang asing. Hanya Bella orang yang ia percaya, untuk menumpahkan keluh kesahnya.

"Sepertinya kedatangan saya sangat mengganggu kesendirian kamu kan' Ayra?" Damar terlihat tidak enak.

Tapi ia penasaran ketika melihat Ayara sedang berjalan sendirian, dan membelokan langkahnya menuju taman. Damar yang sedang menghabiskan masa liburannya di Indonesia, mengikuti Ayra diam-diam, setelah turun dari motornya yang tidak jauh di parkir dari area taman.

Ayra kembali menggeleng mendengar pertanyaan Damar. Apa sebegitu ketara, akan rasa tidak sukanya dengan kehadiran orang lain?

Dan Damar baru kali ini merasa penasaran dengan seorang perempuan. Tidak mungkin ini, dikatakan sebagai rasa tertarik, rasanya terlalalu dini, jika menyimpukannya seperti itu. Ini karena Ayra yang penuh misteri, seperti memiliki tembok penghalang yang cukup tinggi. Baru kali ini, Damar merasa diabaikan. Padahal Damar tahu, kalau ini salah. Perempuan yang sudah dia temui dua kali tanpa sengaja ini sudah bersuami, ia masih ingat kalau Ayra kemarin berada di pemakaman sedang menziarahi anaknya.

"Maaf Mas Damar, saya harus segera pergi," Ayra memilih segera pergi. Ia khawatir ada orang yang mengenalnya melihat sedang bersama laki-laki asing berduaan, dan itu akan menimbulkan fitnah.

"Bagaimana kalau saya antar?" Damar terlihat gigih.

Ayra menggeleng. Dan melangkahkan kakinya dengan terburu-buru. Hal itu membuat Damar kecewa. Ia ingin banyak tahu tentang kehidupan Ayra, tapi sepertinya dia sangat tertutup.

***

Bella marah besar ketika mendengar sepupunya sudah tidak mengajar lagi di TK karena ulah Ghanim. Entah ia menjanjikan apa kepada kepala sekolah dan pemilik yayasan. Pastinya laki-laki licik itu sudah mengarang cerita yang tidak-tidak. Dan sepupunya itu terlihat pasrah. Bella tidak akan membiarkan Ghanim tenang, dia pasti masih sedang berada di rumah sakit. Bella harus bikin perhitungan atas segala penderitaan yang sudah sepupunya dapatkan. Gadis cantik itu pun menendang sampah yang ia lihat di luar rumah, karena saking kesalnya.

"Byurr..." segelas juice alpukat mengotori muka dan baju Ghanim, lelaki-laki itu menggeram ketika melihat siapa pelakunya. Beruntung sekali kantin rumah sakit sedang sepi, sehingga Bella bisa melakukan tindakan bar-barnya.

"Kamu belum ada puas-puasnya buat nyakitin sepupuku brengsek!" Bella menendang tulang kering Ghanim, membuatnya meringis kesakitan.

Ghanim akan berbicara tapi dipotong oleh Bella.

"Dia hampir gila saat cerai denganmu, itu karena bukan mikirin dirimu yang sok ganteng. Karena Ayra tidak ingin anak yang dikandungnya, tidak memiliki figur ayah. Padahal jelas-jelas mantan suaminya itu yang salah, dan Ayra harus keguguran karena wanita yang kamu banggain, mendorongnya sampai Ayra harus bedres dirumah sakit akibat pendarahan. Tapi kamu masih bilang sepupku perempuan jahat. Aku dari pertama sudah bilang pada Ayra untuk mundur dari pernikahan yang ibu kamu inginkan, dan Ayra hampir mundur, tapi dengan ibumu yang nangis-nangis meminta Ayra menjadi menantunya, akhirnya dia mau, meskipun ia harus menukar kebahagiannya dengan kesengsaraan. Dan kamu pikir mudah bagi Ayra bisa menikah dengan kamu, tidak sama sekali Ghanim Baihaqi. Dia diteror, diancam, dan siapa lagi pelakunya jika bukan Adiba, istri yang paling kamu cintai."

"A-apa?" Ghanim tergagap. Penjelasan Bella bohongkan? Tidak mungkin Adiba sejahat itu.

Bella melemparkan sebuah amplop pada Ghanim yang berisi USB dan hasil USG kehamilan Ayra di sebuah rumah sakit. Ia benci jika Ayra harus terus-terusan menderita. Lelaki pecundang ini juga harus tahu, jika Ayra sudah terlalu banyak berkorban. Terutama korban perasaan. Siapa yang tida sakit hati, jika masa pernikahan yang harusnya dirasakan begitu manis, malah sosok yang jadi suami memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Dan katanya tidak cinta, tapi mengambil hak dari wanita yang dibencinya. Ingin saja Ayra menonjok muka Ghanim saking marahnya. Sudah waktunya si bedebah, si pecundang itu tahu, tentang apa yang pernah terjadi dengan Ayra.

Ghanim menatap amplop itu dengan nanar. Tangannya mendadak gementar ketika melihat foto hasil usg. Ia ingat saat itu Ayra muntah-muntah, tubuhnya lemah dan ia anggap jika Ayra sedang mencari perhatiannya, padahal sedang mengandung anaknya.

"Kenapa baru cerita sekarang?" suara Ghanim terdengar bergetar.

"Karena kamu manusia bodoh yang sedang dibutakan cinta, dan Ayra wanita terlalu baik sehingga tidak mau mengganggu kebahagiaan hidup kalian. Jangan pernah ganggu kebahagiaan Ayra lagi, karena aku orang pertama yang akan menghancurkan hidupmu, jika kamu masih punya keberanian untuk memunculkan diri di depan Ayra." Setelah memberikan pelajaran dan peringatan pada Ghanim, Bella pun pergi.

Tinggal Ghanim yang diserang rasa sesak dan juga perasaan bersalah. Sebagai suami ia tidak pernah memperlakukan Ayra dengan baik. Dan ia merasa menyesal mendengar kabar, kalau Ayra pernah mengandung anaknya.

Mengejar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang