Chapter 1

12.2K 1.1K 49
                                    

Ghanim menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah. Mata gadis cilik itu terpejam, namun mulutnya tak henti memanggil nama Ayra, Ibu gurunya. Sedahsyat itu pengaruh Ayra bagi putrinya. Dan kenapa harus wanita yang menjadi bagian dari masalalunya itu, yang terus disebut oleh buah hatinya? Padahal kisah di antara mereka telah usai dari enam tahun yang lalu. 

Bagi Ghanim berpisah dengan Ayra ia bahagia, karena bisa lepas dari beban rasa bersalah, akibat cinta yang tidak kunjung hadir. Tapi, bagi Ayra mungkin menambah luka baru di palung hatinya. Karena mencintai sendirian, itu sangat menyesakan.

Ghanim meremas rambutnya antara sedih bercampur kesal. Kenapa harus ada Ayra kembali? Kenapa nama wanita itu, terus melekat dibenak putrinya? Sehingga setiap nama ibu gurunya itu disebut, ada binar mata kebahagian di wajah putri kecilnya 'Bu Ayra cantik, Bu Ayra baik hati, Bu Ayra sayang sama Balqis, Balqis suka sama Bu Ayra'  Bahkan nama Adiba, wanita yang telah melahirkannya itu, tidak pernah disebut sama sekali oleh putrinya.

Bukan-bukan Ghanim benci sama Ayra, tapi melihat mantan istrinya itu, selalu memunculkan rasa bersalah yang luar biasa. Tatapan matanya yang penuh luka, membuat ia merasa menjadi laki-laki yang sangat jahat. Dan Ghanim tidak menyangka, saat awal bertemu dengan Ayra di sekolah tempat putrinya belajar. Yang semula ingin membuktikan sebaik apa Bu Ayra yang selalu diceritakan oleh putrinya itu, ternyata wanita itu adalah bagian dari masalalunya.

Rasanya dunia seolah berhenti berputar ketika melihat Ayra ada di sekolah putrinya, menjadi guru, menjadi idola. Dan mantan istrinya itu telah banyak mengalami perubahan. Terlihat matang dalam balutan pakaian longgar  yang menutup seluruh tubuhnya. Keanggunan sangat mempesona dan terlihat sangat keibuan saat membimbing anak-anak. Namun, yang membuat Ghanim ditampar rasa bersalah, ketika melihat tatapan Ayra yang dingin berbalut luka saat menatapnya, dan seolah-olah di antara mereka tidak pernah ada kisah apapun di masalalu. 

Ah, bukankah itu lebih baik, dengan Ayra menganggapnya sebagai orang lain? Pada mulanya mungkin baik-baik saja, sebelum Balqis sakit dan terus menyebut nama ibu gurunya. Dengan menurunkan harga diri dan kesombongannya, bahwa ia tidak akan membutuhkan wanita itu lagi, harus dihempaskan. Karena pada kenyataannya ia harus datang mengemis tadi malam, meminta wanita itu datang untuk menengok putrinya.

Ghanim memejamkan matanya sesaat. Ingin mengusir sesak yang merambati dadanya. Balqis adalah buah cintanya dengan Adiba, harta satu-satunya yang harus ia jaga dengan baik. Maka, apapun permintaan gadis itu akan ia lakukan. Meski harus mengemis-ngemis meminta belas kasihan pada mantan yang sudah ia buang.

"Bu Ayra..." Balqis kembali memanggil nama ibu gurunya dengan mata masih terpejam, namun air mata mengalir di pipi mungilnya yang mulus. 

Mendadak hati Ghanim direjam rasa sakit. Ia tidak mungkin menyalahkan putrinya. Ghadis kecil itu butuh sosok yang bisa memberikanya banyak kasih sayang dari seorang ibu. Dan hal itu, mungkin ia dapatkan dari Ayra. Sedangkan Ayra sebagai guru TK juga tidak salah. Sebagai guru, hal wajar memberikan perhatian pada muridnya. Karena ia pernah diberi tahu oleh guru Balqis sebelumnya, jika putrinya itu sangat murung dan sering menangis. Karena sering diledekin oleh teman-temannya kalau Balqis tidak punya ibu. Setelah Ayra hadir, sosok Balqis terlihat lebih ceria.

Dokter Vina menyarankan Ghanin untuk bisa segera menghadirkan orang yang disebut-sebut oleh Balqis dalam tidurnya. Dan keinginan anaknya yang satu ini, sangat berat untuk dipenuhi oleh Ghanim. Entah dengan cara apa, ia bisa meluluhkan hati Ayra, agar bisa datang ke tempat anaknya dirawat.

Tapi Ghanim ingin melihat Balqis sembuh, dan bisa kembali melihat tawa dan keriangan, sebagai obat lelah dan kesepiannya. Balqis adalah hartanya yang paling berharga, yang harus ia jaga dengan penuh cinta. Cukup ia bersedih kehilangan Adiba mendiang istrinya, jangan di tambah lagi dengan kepergian Balqis. Mungkin ia harus menangis didepan Ayra, agar mau datang kemari. Memohon dengan sangat, untuk menemui putrinya.

***
Ayra membetulkan letak kerudung phasminanya dicermin. Ia terlihat cantik dengan memakai ghamis berbahan denim yang dipadu dengan chardigan warna pink. Kerudung bermotif bunga juga menghiasi wajah cantiknya. Meski penampilannya sangat sederhana, tapi sangat menarik. Sampai Bella sang sepupu pun mengaguminya.

"Kamu sangat cantik," puji Bella tulus. "Coba kamu terima tawaran iklan kecantikan saat itu, wajahmu pssti sudah menghiasi layar televisi. Dan si mantan pasti menyesal telah meninggalkanmu."

"Terimakasih atas pujiannya. Tapi aku tidak ingin wajahku dinikmati banyak orang. Cukup suami halalku nanti yang mengaguminya. Dan tolong jangan kaitkan lagi dengan mantan ya, Bel, aku merasa nggak nyaman mendengarnya," ujar Ayra pelan.

"Baiklah. Aku janji nggak bakal nyinggung si mantan bodoh yang sudah membuang kamu, selama kamu melangkah ke depan. Karena kalau kamu melangkah lagi ke belakang, balikan ama mantan, kamu akan tersandung lagi Ra, bahkan bisa menyebakan cidera hati yang lebih parah," janji Bella. Ia kadang masih suka gemes pada laki-laki sok kegantengan yang bernama Ghanim Baihaqi.

Aiyra hanya menganggukan kepalanya. Ia tidak ingin nama itu kembali disebut. Meski hari ini kemungkinan bertemu dengan Ghanim itu ada, tapi tujuan dia datang ke rumah sakit, murni untuk menengok Balqis, gadis cantik yang membuat tidurnya semalam tidak nyenyak. 

Benar kata Bella ia harus melangkah kedepan bukan mundut kebelakang. Untuk apa menangisi orang yang hatinya sudah berpaling. Karena sehebat apapun berjuang, akhirnya hanya dirinya yang akan kelelahan. Cinta itu harus bisa mengikhlaskan, jika tidak bisa dimiliki. Dan berdamai dengan luka, akan membuat langkah kedepan terasa lapang dan ringan.

"Nanti kita di sananya sebentar saja ya Ra, setelah itu aku ada pemotretan. Aku tidak mau kamu ke sana datang sendirian. Kalau ada aku, kamu akan terlindungi." Bella yang sangat perhatian, benar-benar ingin menjaga Ayra meski ia sendiri sangat sibuk.

"Aku datang sendiri aja Bel, kamu kan sibuk, nanti malah telat datangnya kalau harus nganter aku." Ayra berusaha menolak tawaran sepupunya.

"Enak aja kamu datang sendiri ke sana, dan membiarkan kalian berduaan. Aku tidak mau bikin laki-laki sombong makin sombong. Lalu minta balikan sama kamu, demi putrinya." 

"Ya udah kalau kamu tidak merasa direpotkan. Aku sangat berterimakasih banget lho, Bel." Ayra merasa terharu dengan perhatian sepupunya ini.

"Sudah nggak usah merasa nggak enakan gitu. Kaya aku bukan siapa-siapa kamu aja. Kita ini saudara yang harus saling mendukung satu sama lain. Di saat satunya terluka, sebisa mungkin satunya harus bisa menjadi tempat bersandar dan membantunya untuk bangkit." Bela menepuk bahu Ayra.

Mendadak mata Ayra berkaca-kaca. Nikmat mana lagi yang harus ia dustakan. Di saat sedih dan rapuh ia memiliki Bella yang selalu menguatkannya. Membantunya keluar dari kabut duka yang menyesakan dada. []




Mengejar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang