7. Intuisi

103 13 0
                                    

"Bry, mau beli snack gak?"

Di antara kerumunan pengunjung Litrov Market, beberapa anggota pemain timnas dan official pelatih memutuskan berbelanja ataupun sekedar bersantai di luar toko sore ini. Sesuai jadwal, mereka masih memiliki dua hari lagi di Sveti Martin na Muri sebelum berangkat menuju Čakovec untuk melakoni pertandingan selanjutnya melawan Qatar.

Tak terkecuali Brylian, beserta Arhan dan Witan yang kini sibuk di antara tumpukan barang-barang yang tersusun rapi di rak. Brylian menopang dagunya dengan tangan kanan terkepal, menimbang-nimbang tawaran yang Arhan lontarkan tadi.

"Gak ah, di dorm masih banyak." Brylian menimbang kembali ucapannya. "Eh tapi kalo mau traktir ya gak apa-apa sih."

Sementara Arhan, memajukan bibirnya mengejek. Melirik pria lain dibelakangnya yang sedang sibuk dengan gawainya. "Kita yang beli, Witan yang ngabisin."

Yang disebut namanya menoleh, padahal Witan sendiri sedang asik dengan benda pipih dalam genggaman. "Woi kok gue?"

"Yang saban malem gedor-gedor kamar gue sama Bry siapa? Kan lo doang yang sering bolak-balik selain Bry," oceh Arhan lagi, tidak mau kalah.

Brylian memijat keningnya, tidak paham lagi dengan kelakuan keduanya yang berdebat tidak jelas. Temen-temen gue kebanyakan MSG jadi pada bego, heran.

"Berisik, malu-maluin," ketus seseorang dari rak seberang, Supriadi. Yang tak kalah sibuk dengan orang-orang di deretan rak ini.

Di tengah kegaduhan teman-temannya, Brylian menyempatkan melirik Apple Watch yang melingkar di tangan kirinya. Keadaan di luar toko masih cukup terang, dengan waktu menunjukkan pukul empat sore. Seingatnya, jadwal mereka kembali ke penginapan adalah sekitar pukul tujuh hingga delapan nanti.

Brylian ingat satu hal. Mungkin terdengar lucu, karena sampai sekarang mungkin saja Arhan masih mencari jaket yang pernah dipinjamkannya pada Brylian. Perempuan itu, yang terlihat santai dengan sepedanya di pagi hari. Yang termenung seorang diri setelah menyapa sosok gadis kecil yang menabraknya secara tak sengaja. Yang terdiam seorang diri di depan gereja, dan memaksanya untuk tidak mengembalikan jaket Arhan yang mungkin masih ada di laundry basket. Tapi, ya sudahlah. Brylian juga tidak terlalu mempermasalahkannya.

Sebenarnya, Arhan yang pelupa atau memang tidak peduli dengan jaketnya?

"Han, potato chips satu." ujarnya tiba-tiba pada Arhan yang masih sibuk beradu argumen dengan Witan, dan tentu saja barang belanjaan.

Perjalanan Lista dari Agromartin Farmshop ke penginapan terasa biasa saja. Dengan pakaian kesukaannya, sweater strip merah hitam, Lista melangkahkan kaki dengan sesekali memandangi ponsel, sedangkan di tangan kirinya tergantung sebuah bungkusan berisi belanjaan dari Agromartin Farmshop. Membeli beberapa bumbu rempah untuk makan malamnya kali ini menjadi agendanya di farmshop tadi.

Hanya satu yang terpikir di benaknya, nasi goreng yang biasa ia masak di tanah air tercintanya itu. Makanan yang mengingatkannya dengan kehangatan rumah, orangtuanya tercinta. Tapi sayang, 'rumah' itu telah hilang.

Sepanjang perjalanan, Lista hampir tidak peduli bahwa sudah cukup banyak pasang mata yang mengarah padanya sejak tadi. Seperti tatapan terhadap orang asing. Tidak salah juga, Lista datang ke tanah ini dengan status warga negara asing. Sekali lagi, Lista tidak peduli. Matanya sibuk dengan jemari yang sedang mengetikkan pesan pada benda pipih itu.

ralistaptr_ : Kelana, kamu dimana?

Sent.

Lista tidak peduli jika ia akan menerima balasan seratus tahun kemudian sekalipun. Lista hampir melupakannya. Namun hari ini, ia sadar bahwa kehilangan sahabat kecil bukanlah keinginannya sejak pertemuan dua tahun lalu. Yang diakhiri dengan air mata, tentu saja.

love from nowhere || brylian aldamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang