𝟗𝐭𝐡 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫

905 161 17
                                    

***

People say, effort will not betray results. Then, why everytime she tries, she always fails?

Sedari dulu, pertanyaan itu selalu muncul di pikirannya. Rosé selalu bertanya-tanya, kenapa usahanya untuk tetap bertahan dan terus memperjuangkan hidupnya selalu saja hancur dan berakhir sia-sia oleh realita.

Realita bahwa ia hanyalah parasit kecil yang hidup diantara manusia-manusia berkasta tinggi, yang selalu memandangnya rendah dan menganggapnya makhluk tak berharga bak sampah.

Semua cemoohan mereka padanya menusuk tepat ke ulu hatinya. Membuatnya tanpa sadar menitikkan air mata hingga rasa sakit dan keputusasaan yang ia rasakan semakin membuncah ke permukaan.

Tak peduli sekeras apapun ia berusaha untuk acuh dan menutup telinga, semua itu tak akan berhasil.
Sekeras apapun ia menekan dirinya sendiri untuk mengabaikan ocehan tak penting mereka tentangnya, itu tak akan pernah bisa berhasil.

Ia bahkan selalu mengingatkan dirinya sendiri, bahwa ia memiliki Jennie tapi entah kenapa semua usahanya selalu sia-sia.

Rosé selalu bertanya-tanya, adakah orang lain yang bernasib sama sepertinya. Jika ada, apa yang akan mereka lakukan.

Akankah mereka menyerah seperti yang akan ia lakukan suatu nanti..?
Ataukah mereka akan terus berjalan, tak peduli dengan kenyataan pahit realita hidup ini?

Namun yang pasti, Rosé sudah tak peduli lagi. Ia hanya ingin semua rasa sakitnya berhenti... dengan pergi, meninggalkan dunia yang fana ini.

“Rosé..”

“Hm?”

“Jidat elu tuh kenapa, si?”

Rosé menghela nafas.
“Kejedot pintu”

Jihyo mengerutkan keningnya, menatap lebam biru di dahi dan pelipis Rosé.
“Jangan ngadi-ngadi ya, lu. Jujur deh, elu kenapa? Masa kejedot pintu sampe segitunya?”

Rosé berdecak kesal, lalu menoleh menatap teman sebangkunya itu.
“Dibilangin gue kejedot pintu..”

Jihyo mengerling. Dengan perlahan ia bergeser mendekati Rosé lalu menyentuh bahu gadis jangkung itu.

“Sshh—Jangan disentuh,” Rosé meringis kecil sambil menepis tangan Jihyo yang menyentuh luka di bahunya-bekas siksaan orang-orang suruhan Ibu-nya Jennie empat hari yang lalu saat ia pulang kerja.

“Eh, gue cuma nyentuh doang padahal. Lo luka ya? Kok bisa?” Tanya Jihyo

Rosé menggeleng. “Nggak. Badan gue pegel-pegel aja, lumayan sakit kalo disentuh”

“Alah, lebay lu. Emak gue aja yang encok, gak gini-gini amat” Cibir Jihyo sambil menyikut pelan pinggang Rosé, membuat si empu menggertakan giginya menahan sakit.

“Gak usah nyikut, bisa gak?”

Kening Jihyo kembali mengerut. Ia yakin, barusan ia menyikut Rosé tak sekuat tenaga seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kenapa gadis di sampingnya ini terlihat begitu kesakitan.

“Lo kenapa si? Lo luka, kan? Ngomong deh ke gue. Lo dihajar siapa lagi?”

Rosé menggeleng. “Gue cuma pegel-pegel doang, beneran”

Jihyo terdiam, sesaat kemudian ia menghela nafas.
“Mending lu balikkin Kak Jennie ke Orang tuanya deh, Rosé..”

“Maksud lo apaan ngomong gitu?” Tanya Rosé tak suka.

Jihyo mengerling. “Lo nyadar gak sih, semenjak lo ketemu sama Kak Jennie hidup lo itu makin—”

“—Makin apa?” Sela Rosé
“Makin susah? Makin menderita? Dari dulu gue emang menderita, jangan bawa-bawa Kak Jennie segala”

Rosie, Don't Leave MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang