𝟖𝐭𝐡 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫

889 158 1
                                    

***

Rosé melangkahkan kakinya dengan malas menyusuri trotoar. Sekarang jarum jam di pergelangan tangannya sudah mengarah ke angka setengah satu dini hari. Meski Cafe tutup pukul sepuluh malam, tapi ia dan Lisa baru bisa pulang jam dua belas malam, setelah semua perabotan dan seisi penjuru Cafe sudah di bersihkan.

Dan seperti biasa ia pulang sendiri. Arah apartemen-nya dengan Apartemen milik Lisa tak searah, jadi ia tak bisa ikut menumpang.

Rosé sebenarnya tak ingin pulang. Tadi sore Ayahnya Jennie datang dan mengajaknya Jennie jalan-jalan. Ayahnya Jennie pasti mengajak putri semata wayangnya itu untuk menginap di Rumahnya, jadi Apartemen pasti sepi karena itulah ia tak mau pulang.

“Sialan...” Rosé mengumpat pelan saat punggung bagian bawahnya kembali terasa nyeri. Sebenarnya, penyakit yang bersarang di dalam tubuhnya bukan hanya paru-paru saja.

Ia menderita Leukimia akut, jauh sebelum ia bertemu dengan Jennie dan karena penyakit inilah ia semakin depresi hingga ia melampiaskan stress-nya dengan menghisap puluhan batang nikotin setiap hari.

Sel-sel di sumsum tulangnya tidak berkembang dengan normal. Biasanya Sel darah putih normal akan mati, tapi tidak dengan sel leukimia. Sel leukimia akan terus hidup, tapi tak dapat membantu tubuhnya melawan infeksi dan malah menekan perkembangan sel darah lain di dalam tubuhnya.

Karena semua inilah ia ingin sekali mati.

Dari dulu hidupnya sudah menderita. Tak hanya hidup sebatang kara dan sempat luntang lantung tak jelas di jalanan, ia juga harus rela mendengar cemoohan orang lain padanya.

Rosé rasa Tuhan tak pernah adil padanya. Setelah ia harus menelan kenyataan pahit bahwa Ayah dan Ibunya tak pernah menginginkannya hingga ia harus berjuang sendirian untuk tetap hidup, Tuhan kembali menaruh beban berat di pundaknya dengan memberinya penyakit sialan itu.

Terkadang ia selalu bertanya-tanya, apa dosa yang sudah ia lakukan sehingga Tuhan semarah ini padanya. Kenapa Tuhan begitu jahat padanya? Apa karena ia anak haram hasil hubungan gelap Ibunya dengan suami orang, jadi Tuhan tak pernah mengasihinya sedikit saja.

Apa salahnya? Jika ia hidup hanya untuk dianggap parasit oleh seisi alam semesta kenapa Tuhan tak membiarkannya mati saja?

Rosé ingin sekali menutup telinga dan bersikap masa bodo dengan semua hinaan orang lain padanya tapi ia tak bisa. Meskipun Jennie selalu ada untuknya, membelanya, dan tak pernah membiarkan siapapun berbicara buruk tentangnya, tapi tetap saja ia tak bisa.

Ia tak bisa bersikap acuh setelah mendengar ucapan buruk orang lain tentangnya karena semua yang mereka katakan itu memang benar.

Ia makhluk tak berguna.

Ia anak haram.

Orang tuanya tak pernah menginginkannya dan dunia pun tak ingin ia dilahirkan.

Semua kenyataan ini perlahan-lahan membunuhnya dari dalam, menggerogoti jiwanya, pikirannya dan menenggelamkan dirinya ke dalam jurang kesengsaraan yang tak berujung hingga pada akhirnya ia depresi berat dan mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara namun selalu terhalang oleh Jennie yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Ia tak bisa meninggalkan Jennie sendirian. Gadis seperti dia tak pantas menitikkan air mata apalagi hanya untuk menangisi makhluk tak berguna sepertinya.

Tidak. Ia tak akan pernah menyesal telah membawa Jennie dalam hidupnya. Karena adanya gadis itu, ia bisa bertahan selama tiga tahun lamanya melawan penyakit yang ia derita seraya berusaha menyingkirkan kekacauan di dalam otaknya meskipun semua usahanya itu berakhir sia-sia.

Ia tak akan pernah menyesal. Setidaknya semasa hidup, ia pernah berbuat baik dan merasa berguna.

Dan sekarang ia benar-benar sudah muak.

Ia sudah berada di titik terbawah hidupnya. Tak ada cahaya apapun yang bisa menerangi kegelapan di dalam hati dan jiwanya.

Setiap saat pandangannya semakin kabur. Ia tak bisa melihat apapun selain kata mati di setiap ia menjatuhkan pandangannya pada sesuatu.

Setiap kali ia mendongak menatap langit, hamparan awan dan bintang yang ada disana selalu membentuk kata mati di kedua matanya.

Matanya selalu berkaca-kaca. Sebegitu menyedihkannya hidupnya sehingga dunia pun tak sudi ia menginjakkan kedua kakinya ini di tanah.

Ia ingin sekali menangis. Meratapi hidupnya yang bernasib sial ini sepanjang hari tapi ia tahu itu semua tak akan ada gunanya.

Yang ada ia malah semakin terjebak.

“Permisi,”

Rosé terkesiap. Dengan perlahan ia memutar tubuhnya ke belakang dan tak disangka sebuah balok kayu menghantam pelipisnya dengan sangat keras.

Bugh!—Bruk!

Tubuh Rosé langsung ambruk menabrak aspal.

***

Jennie yang sedang berbaring termenung sambil menatap langit-langit kamar langsung bangkit lalu dengan cepat ia melangkahkan kakinya keluar kamar dan berjalan menuju kamar Ayahnya yang bersebelahan dengan ruang tengah.

Duk! Duk! Duk!

“Papa!” Jennie menggedor pintu dengan sedikit kasar seraya memanggil Ayahnya.

Duk! Duk! Duk!

“Papa!!”

Duk! Duk! Duk!

“Papa!”

Duk! Duk! Duk!

“Papa!!—”

—Cklek.

Pintu terbuka, memperlihatkan pria setengah baya memakai kaos santai dan kaca mata.

“Nini-ya? Belom tidur sayang?”

Jennie menggeleng.
“Pulang... Jennie mau pulang, Pa...”

Ayah Jennie mengerutkan dahi.
“Katanya tadi mau nginep, mau nemenin Papa”

Jennie terdiam. Ia tadi memang akan menginap di rumah baru Ayahnya, tapi entah kenapa perasaannya tiba-tiba tak enak. Ia selalu kepikiran tentang Rosé dan ia tak suka dengan rasa cemas yang tengah melandanya ini.

“Mau pulang, Pa..”

Ayah Jennie tertawa kecil lalu menganggukkan kepala.
“Iya, Papa anter. Tapi ini udah hampir jam satu pagi, loh.. Rosé mungkin udah tidur..”

Jennie menggeleng lagi.
“Pokoknya mau pulang...”

“Iya, Papa anter. Kamu siap-siap dulu, pake mantelnya ya” Ujar Ayah Jennie

Jennie mengangguk, dalam hati ia sungguh berharap jika Rosé baik-baik saja. Dan ia juga sangat berharap jika Rosé ternyata sudah berada di Apartemen dalam keadaan tertidur lelap.




***

❝𝐃𝐞𝐬𝐩𝐚𝐢𝐫 𝐢𝐬 𝐚 𝐧𝐚𝐫𝐜𝐨𝐭𝐢𝐜. 𝐈𝐭 𝐥𝐮𝐥𝐥𝐬 𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐢𝐧𝐝 𝐢𝐧𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐝𝐢𝐟𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐜𝐞.❞

Rosie, Don't Leave MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang