𝟓𝐭𝐡 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫

973 162 6
                                    

***

Jennie melangkahkan kakinya dengan riang sambil menatap langit yang hari ini sangat cerah. Ia dan Rosé saat ini tengah dalam perjalanan pulang setelah Jogging pagi.

“Rosie! Ih, cepet jalannya, jangan lelet!” Jennie memekik sambil cemberut menatap Rosé yang berada di belakangnya.

Rosé terkekeh.
“Santai aja, Kak. Gak usah buru-buru. Mau kemana emangnya?”

Jennie mendengus. Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik.
“Kan tadi Rosie bilang setelah Jogging Rosie mau ngajak Kakak jalan-jalan sama beli es krim!”

Rosé menghela nafas pasrah.
“Masih inget aja”

“Inget, dong! Ayo cepet!” Balas Jennie seraya kembali berjalan, namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sesuatu yang imut bergerak-gerak di dalam aliran air selokan.

“Rosie! Sini!”

“Apalagi, Kak?”

Jennie berjongkok di tepi selokan lalu terkikik geli. “Rosie! Sini! Cepet! Liat ih, imut banget” Ujarnya seraya melambai-lambaikan tangann.

Rosé mengernyit. Ia dengan cepat melangkah mendekati Jennie lalu berjongkok di sampingnya.

Seketika Rosé terkekeh melihat makhluk imut yang di maksud Kakaknya itu.

“Ini cuma jentik-jentik, Kak”

Jennie tersenyum begitu lebar, membuat Rosé kembali terkekeh seraya mencubit pipi tembamnya.

“Tapi imut kan?”

“Gak ah. Yang imut tuh Kakak”

“Ih, imut tahu... Lucu...” Ujar Jennie sambil mengulurkan tangannya ke dalam air selokan, berniat menyentuh jentik-jentik yang ia anggap lucu itu namun Rosé menahannya.

“Kotor Kak, ih.. Jangan di sentuh, harusnya jentik-jentik tuh di berantas bukan di ajak maen. Astaga...” Pekik Rosé

“Ih, jangan di berantas.. kasian. Kan jentik-jentik nya juga mau hidup, nanti nyamuknya juga sedih..” Balas Jennie

Rosé terbahak. Heran melihat sikap Kakaknya yang begitu penyayang meskipun pada makhluk parasit seperti jentik-jentik.

“Kalo nanti jentik-jentik nya berubah jadi nyamuk DBD, terus ngikutin Kakak, gimana? Kalo sampe nyamuknya gigit Kakak?”

“Gak bakalan gigit, kan Rosie selalu nyalain obat nyamuk”

“Sama aja dong kalo gitu... Kita ngebunuh nyamuknya”

Jennie terdiam. Iya juga ya, tapi kalau nyamuknya dibiarkan menggigit kulitnya akan gatal-gatal.

“Terus, gimana dong? Kan kasian kalo jentik-jentik nya di berantas..”

Rosé terkekeh sambil geleng-geleng kepala.
“Ya udah kita pulang aja yuk, kita mandi dulu. Kan katanya mau es krim,” Ajaknya

Jennie menggeleng pelan.
“Besok aja deh, mau liat jentik-jentik”

Rosé mengernyit, menatap ratusan jentik-jentik yang tengah menggeliat itu dengan geli lalu mengalihkan pandangannya pada Jennie yang sedang tersenyum lebar dengan mata berbinar.

“Jangan berubah, Kak. Tetep kayak gini, meski suatu saat nanti aku gak bisa liat senyum Kakak lagi”

***

“Vanilla latte?”

“Ya. Satu aja, cepet ya saya lagi buru-buru”

“Siap!” Ujar Rosé sambil menyunggingkan senyum ramah pada customer lalu mengetikkan sesuatu ke mesin kasir.

“Ukuran medium?” Ia kembali bertanya seraya meraih cangkir di sebelahnya.

“Iya..”

“Nama?”

Gadis di hadapan Rosé terdiam dengan raut muka bingung, membuat Rosé terkekeh pelan.

“Saya butuh nama kamu, buat kopinya”

“Ah, iya! Maaf” Gadis itu ikut terkekeh. “Saya Irene”

Rosé mengangguk. “Okey... Irene” Gumamnya sambil bekerja meracik kopi dan menambahkan bahan-bahan lain ke dalam cangkir. Setelah selesai ia memberikan kopi di tangannya pada Customer yang bernama Irene itu.

“3000 Won”

Irene mengangguk, ia menyerahkan beberapa lembar uang pada Rosé.

“Terima kasih”

“Sama-sama. Datang lagi lain kali”

“Tentu saja...”

Setelah si customer menghilang dari pandangannya, Rosé langsung menghembuskan nafas gusar.

Beginilah pekerjaan seorang barista. Saat hati sedang kalut dan banyak pikiranpun ia harus tetap menyunggingkan senyuman lebar, karena customer tak peduli dan tak mau tahu dengan masalahnya.

Kring!

Rosé menoleh, lalu menghela nafas lega melihat Lisa muncul di balik pintu.

“Akhirnya lu dateng juga. Kemana aja si lu?”

Lisa nyengir kuda.
“Sorry.. Gue bangun kesiangan tadi”

Rosé menatap gadis asal Thailand itu dengan datar. “Gue aduin entar ke Kak Jisoo tau rasa lu”

Kedua mata Lisa yang sudah bulat itu semakin bulat. “Cupu lu, mah. Aduan”

“Bodo amat” Balas Rosé

“Jangan aduin gue telat ke Kak Jisoo dong, Chaeng. Masa lu tega ma gue.. Entar seperempat gaji gue di potong sama dia..” Lisa berujar seraya mengulum bibir bawahnya dan menatap Sohibnya itu dengan mata berkaca-kaca.

Hidung Rosé mengerut.
“Jijik kali lah aku”

“Chaeng, jangan ngadu-ngadu jadi orang tuh.. Pamali”

“Pamali ndasmu”

Lisa menghela nafas.
“Chaeng, ya ampun.. Masa lo beneran mau ngaduin gue?”

Rosé mendelik, ia hendak membuka mulutnya untuk bicara tapi punggungnya tiba-tiba terasa nyeri. Ia mengulurkan sebelah tangannya ke meja kasir dan tanpa sengaja ia menyenggol sebuah cangkir sampai cangkir beling itu terjatuh ke lantai dan pecah menjadi bagian-bagian kecil.

Prang!

“Loh, Chaeng? Lu kenapa?!” Lisa langsung memekik sambil menghampiri Rosé dan memegang bahunya.

Rosé memejamkan mata, setetes keringat dingin sudah mulai muncul di pelipisnya.

“Gue.. Gak papa...”

“Yakin?” Tanya Lisa sambil menatap Rosé dengan alis terangkat sebelah.

Rosé mengangguk, dengan susah payah ia berdiri tegak lalu menyingkirkan tangan Lisa yang masih menyampir di bahunya lalu melangkah pergi.

“Gue ke belakang dulu..”

Dahi Lisa mengerut.
Ada yang aneh, akhir-akhir ini temannya itu sering sekali terlihat begitu kesakitan. Bahkan semakin hari wajah gadis itu juga semakin pucat.

“Lo kenapa sih, Chaeng..?”


***
❝𝐃𝐞𝐬𝐩𝐚𝐢𝐫 𝐢𝐬 𝐚 𝐧𝐚𝐫𝐜𝐨𝐭𝐢𝐜. 𝐈𝐭 𝐥𝐮𝐥𝐥𝐬 𝐭𝐡𝐞  𝐦𝐢𝐧𝐝 𝐢𝐧𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐝𝐢𝐟𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐜𝐞.❞

Rosie, Don't Leave MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang