𝟏𝟐𝐭𝐡 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫

1K 144 8
                                    

***

Jennie saat ini tengah berdiri di depan pintu Apartemen Rosé. Pintunya di kunci, itu artinya tak ada orang di dalam padahalkan sekarang malam Kamis. Ia tahu jika Cafe milik Jisoo hanya buka setiap hari Jum'at sampai Minggu, jadi Rosé kemana?

Tadinya ia ingin menelpon Rosé, tapi ponselnya tertinggal di rumah. Ia bingung harus melakukan apa, ingin kembali ke rumah tapi disana juga tak ada siapapun karena Ayahnya pasti masih di kantor. Dan lagi, diluar sedang hujan. Tak mudah mendapatkan Taxi apalagi kendaraan umum disaat hujan seperti sekarang.

“Rosie kemana ya..?” Gumamnya pelan sambil menghela nafas gusar. Entah kenapa ia sangat khawatir pada adiknya itu.

“Nak Jennie?”

Jennie langsung balik badan, menatap seseorang yang barusan memanggilnya.

“Bibi Choi, apa kabar?” Jennie membalas sapaan wanita paruh baya di hadapannya itu dengan ramah.

Bibi Choi tersenyum.
“Bibi sehat. Nak Jennie sendiri gimana? Sehat? Lama gak ketemu ya?”

Jennie mengangguk sambil tersenyum. “Jennie sehat Bi. Ngomong-ngomong Bibi mau kemana malem-malem gini?”

“Arin demam, Bibi mau ke klinik dulu beli obat karena dia gak mau di bawa ke rumah sakit” Jawab Bibi Choi

“Ya ampun, semoga Arin cepet sembuh ya Bi..” Ujar Jennie

Bibi Choi tersenyum.
“Makasih ya, Nak Jennie. Terus Nak Jennie ngapain berdiri disini? Kenapa gak masuk?”

Raut wajah Jennie kembali masam.
“Pintunya dikunci, Bi. Mungkin Rosie lagi keluar, jadi Jennie tunggu aja disini”

Dahi Bibi Choi mengerut.
“Loh, tapi sejak Nak Jennie pergi, Nak Rosé gak pernah lagi keluar kok..”

Jennie terdiam. “Bibi serius?”

“Bibi serius, Nak Rosé gak pernah keluar dari Apartemen sejak Nak Jennie pergi” Ucap Bibi Choi

Jennie mengerutkan keningnya bingung. Kalau Rosé tak lagi pergi keluar, kenapa pintunya di kunci?

“Ya udah, Bibi buru-buru. Keburu hujannya makin lebat. Kalo Nak Jennie ada waktu, Nak Jennie mampir ke Apartemen Bibi ya, kita ngobrol-ngobrol terus makan bareng”

“Iya Bi..” Jennie mengangguk kaku, sambil menatap kepergian Bibi Choi lalu kembali membalikkan tubuhnya menghadap pintu.

Tok! Tok! Tok!

“Rosie! Ini Kakak! Buka pintunya!” Pekik Jennie sambil mengetuk pintu beberapa kali namun nihil, tak ada sahutan apapun dari dalam.

Jantungnya berdegup tak karuan, dengan panik ia celingukan kesana kemari mencari sesuatu untuk bisa membukakan kunci pintu.

“Ck. Hampir lupa!” Ujarnya sambil berjongkok lalu menyingkapkan keset yang ia injak. Ia menghela nafas lega saat Rosé ternyata masih menyimpan kunci cadangan Apartemen dibaliknya. Dengan tergesa-gesa ia memasukkan kunci itu ke lubang pintu lalu membukanya dengan sedikit kasar.

Brak!

“Ro—sie...??” Jennie mundur selangkah saat keadaan Apartemen begitu gelap.

Ia takut gelap.

“Rosie... Kok lampu-nya di matiin?”

“Rosie...”

“Rosie... Kakak tau kamu disini...”

“Hiks... Rosie...”

Jennie mulai terisak. Kotak makanan yang ia bawa bahkan sudah jatuh ke lantai, ia benar-benar ketakutan sekarang.

“Hiks... Rosie...” Jennie kembali merengek sambil meraba-raba tembok untuk menemukan saklar lampu, tapi saat ia menemukannya entah kenapa tak ada satupun lampu yang hidup dan itu membuat isakannya semakin keras. Dengan paksa ia menyeret tungkai pendeknya ke arah kamar sambil sesekali memekik sakit saat kaki, lutut dan pinggangnya tak sengaja berbenturan dengan tembok, meja dan kursi sofa.

“Rosie... Hiks, gak lucu ih! Hidupin lampu-nya! Kakak takut!”

Duk!

“Aw! Hiks.. Sakit...” Jennie mengelus keningnya yang baru saja berbenturan dengan pintu kamar. Dengan cepat ia memutar kenop pintu dan bersyukur melihat cahaya temaram lampu tidur di dalam kamar.

“Rosie, kamu—” Ucapan Jennie terhenti dan ia merasa jantungnya copot detik itu juga saat melihat adiknya itu tengah meringkuk di atas ranjang yang penuh dengan bercak darah.

“Rosie!!” Jennie memekik keras seraya berlari mendekati ranjang lalu membalikkan tubuh Rosé yang tadinya terbaring miring menjadi telentang.

“Hiks... Rosie... Kenapa kamu berdarah gini...?” Lirih Jennie sambil mengelap darah yang mengotori hidung dan bibir adiknya itu.

“Hiks... Rosie...”

Rosé menatap Jennie dengan sayu, lalu mengerutkan kening.
“Kakak ngapain disini...” Bisiknya

Jennie tak menyahut. Ia melingkarkan kedua tangannya di pundak Rosé lalu berusaha membuat Rosé bangkit dari tempat tidur.

“Bangun Rosie.. Kita harus ke rumah sakit..”

“Udah.. gak papa...”

Jennie menggeleng kuat.
“Pokoknya bangun!” Tukasnya sambil menarik paksa tubuh Rosé dan membopong adiknya itu ke luar kamar dengan tersendat-sendat karena keadaan Apartemen yang begitu gelap gulita.

“Udah Kak, gak papa...”

Jennie menulikan telinganya. Setelah susah payah ia membopong adiknya itu sampai ke pintu, ia menyandarkan punggung Rosé di tembok lorong Apartemen. Ia terisak sambil celingukan mencari orang yang bisa ia mintai tolong, tapi ia ingat jika tadi Bibi Choi pergi ke klinik. Dan merekapun tak mengenal siapapun di Apartemen ini selain wanita tua itu.

Dengan kasar Jennie menyeka air matanya lalu kembali berjongkok dan melingkarkan tangan kiri Rosé di bahunya.

“Udah... Gak papa...”

“Kita harus ke rumah sakit...”

“Gak usah, gak papa...”

“Hiks, Rosie... Kita harus ke rumah sakit... Ayo bangun...”

Kedua alis Rosé menukik tajam, dengan tiba-tiba ia menekan dadanya dan tak lama kemudian ia batuk darah membuat Jennie memekik histeris.

“Uhuk!”

“Hiks... Rosie... Kamu kenapa?” Jennie berujar seraya menyenderkan kepala Rosé di dadanya lalu mengelap cairan merah pekat di sekitar mulut Rosé dengan tangan kecilnya.

Rosé tak merespon, ia malah memuntahkan semakin banyak darah membuat Jennie menangis tersedu-sedu tanpa menghentikan tangannya yang sedang sibuk mengelap muntahan darah Rosé di mulut, dagu dan leher adiknya itu.

Tapi darah di mulut Rosé tak berhenti keluar, dan isakan Jennie semakin nyaring.

Tak adakah satupun orang yang mendengar isak tangisnya?

“Hiks... Tolong....”



***

❝𝐃𝐞𝐬𝐩𝐚𝐢𝐫 𝐢𝐬 𝐚 𝐧𝐚𝐫𝐜𝐨𝐭𝐢𝐜. 𝐈𝐭 𝐥𝐮𝐥𝐥𝐬 𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐢𝐧𝐝 𝐢𝐧𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐝𝐢𝐟𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐜𝐞.❞

Rosie, Don't Leave MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang