𝟏𝟏𝐭𝐡 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫

917 131 3
                                    

***

Sudut bibir Rosé tertarik keatas membentuk senyuman remeh. Giginya bergemeletuk tajam sambil sesekali mendesis pelan saat punggung bagian bawahnya kembali terasa nyeri. Kepalanya pening, setetes darah mulai mengalir dari lubang hidungnya, pertanda bahwa leukimia yang ia derita kambuh lagi.

Matanya terpejam erat, tangan kanannya meremat sprei yang sudah penuh dengan bercak darah itu kuat-kuat, sementara tangan kirinya masih setia menggenggam foto Jennie.

Empat hari setelah kepergian Jennie, keadaan Rosé semakin memburuk dari waktu ke waktu karena ia tak lagi meminum obatnya dan malah membuang semua obat-obat yang sudah ia beli itu ke tong sampah.

Dua hari sebelum akhirnya ia ambruk dan hanya bisa terbaring di atas ranjang, ia bahkan hanya memakan biskuit milik Jennie dan sepotong roti untuk mengisi perutnya. Dan setelah itu ia belum memakan apapun sampai sekarang, karena ia sengaja melakukannya.

Because she wasn't kidding when she said she had given up on her life. She just wanted to die, she wanted the pain to stop. It was all she wanted.

Rambutnya semakin menipis. Kulitnya yang sudah pucat itu semakin pucat bak mayat. Tubuhnya bahkan semakin kurus hingga tulang pipinya sudah terlihat menonjol.

Ia tak lagi pergi ke Sekolah ataupun bekerja. Semua alat komunikasi di Apartemen sudah ia putus, ia tak lagi menginjakkan kakinya keluar Apartemen. Ia tak melakukan apapun, bahkan ia yakin jika seisi Apartemen sudah berdebu dan laba-laba sudah membuat jaring di setiap sudut tembok.

Sudah puluhan kali ia batuk darah.
Sudah berkali-kali ia mimisan, tapi ia sudah tak peduli. Yang ia lakukan hanyalah berbaring di atas ranjang, meringkuk bagaikan janin dalam kandungan sambil sesekali menitikkan air mata, menunggu malaikat maut mencabut nyawanya.

But God still has not sent the Angel of Death to take her life until now.

Rosé tahu Tuhan marah.
Ia tahu bahwa Tuhan kecewa padanya. Karena di saat orang lain sepertinya tengah mati-matian berjuang untuk tetap bernafas ia malah ingin mengakhiri hidupnya.
Ia tahu bahwa Tuhan marah karena ia menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan padanya.

Tapi ia sudah tak tahan lagi.
Hidupnya terasa semakin hampa, dan ia tak bisa terus menerus bertahan di dalam kesengsaraan dan keputusasaan yang sudah berkali-kali coba ia pendam jauh-jauh di dalam hatinya, namun gagal.

Iblis yang ada di kepalanya meronta-ronta ingin keluar dan bara api yang ada di dalam jiwanya sudah menghanguskan semua harapan-harapan yang susah payah ia bangun hingga hancur tak tersisa.

Hidupnya bagaikan vas kaca yang pecah. Meski vas itu bisa di satukan dengan lem tapi tetap saja retakannya akan terlihat dengan sangat jelas dan pada akhirnya gelas itu kembali jatuh menabrak tanah dan kembali terpecah menjadi bagian-bagian kecil, yang pecahan-pecahan kaca kecil itu diibaratkan sebagai rasa keputus-asaanya.

Walaupun kecil namun jika terinjak, pecahan kaca itu tetap akan melukainya dan membuat lukanya mengeluarkan darah.

Sama seperti luka di hatinya. Meski separuh luka di hatinya itu terobati oleh tulusnya kasih sayang yang Jennie berikan, tapi cinta yang gadis itu berikan tak mampu memadamkan api neraka yang menyala-nyala di dalam jiwanya.

Dan sekarang sudah saatnya ia menutup mata, meninggalkan alam semesta yang mungkin sedang berbahagia akan kematiannya.

***

Jennie berbaring di ranjang sambil menatap ponsel-nya yang tergeletak di atas bantal.

Sekarang sudah pukul tujuh malam. Baru empat hari ia meninggalkan Rosé dan tinggal bersama Ayahnya, tapi entah kenapa ia sudah sangat rindu dengan gadis itu. Padahal ia begitu kesal pada Rosé karena gadis itu tega mengusirnya, tapi tetap saja ia tak bisa berhenti memikirkan Rosé.

Apakah adik kecilnya itu sudah makan? Apakah dia tak begadang lagi? Akhir-akhir ini Rosé sering batuk-batuk dan sakit-sakitan juga, apakah Rosé baik-baik saja?

Di Sekolah saja ia tak pernah sekalipun berpapasan dengan Rosé, dan itu semakin membuatnya khawatir jika gadis itu bolos sekolah dan malah terus-terusan bekerja.

Jennie menghembuskan nafas panjang. Ia meraih ponselnya lalu bangkit dari rebahannya dan mencari-cari kontak Rosé.

“Kalo gak di angkat gimana?” Jennie bergumam pelan sambil mengerutkan keningnya.

Tak lama kemudian air matanya kembali jatuh dan suara isakan mulai keluar dari kedua belah bibirnya.

“Ih, jangan nangis!” Jennie menggertak dirinya sendiri seraya menyeka air matanya dengan kasar, namun sayangnya air matanya malah mengalir semakin deras.

“Gak suka ih... Hiks, jangan nangis..” Ia kembali bergumam lirih sambil menggelengkan kepalanya tak suka dengan kenyataan bahwa ia begitu cengeng seperti anak kecil usia lima.

Cklek!

“Nini-ya, Papa ada urusan sebentar di kantor—Loh, Nini-ya.. Kamu kenapa sayang?”

Ayah Jennie berujar sambil mendekati putri semata wayangnya yang tengah terisak di atas ranjang.

“Nini-ya? Kenapa nangis, hm? Ayo, ceritain ke Papa”

Lama tak menanggapi, Jennie mendongak menatap sang Ayah.

“Hiks... Pengen ketemu Rosie.. Nini kangen sama Rosie, Papa..”

Ayah Jennie tersenyum kecil. Ia mengusap pucuk kepala Jennie dengan sayang, lalu menganggukkan kepalanya.

“Ya udah, Papa anter. Sekalian Papa mau ke kantor, Nini mau nginep disana juga boleh..”

Jennie menggeleng.
“Gak mau. Rosie-nya jahat”

Ayah Jennie terkekeh.
“Katanya kangen, kamu ini gimana. Ayo, Papa anter..”

“Emangnya Nini boleh nginep disana?” Tanya Jennie

Ayah Jennie kembali mengangguk.
“Iya, Nini boleh nginep. Mau Rosé nginep disini juga gak apa-apa kok.”

Kedua mata kucing Jennie berbinar senang. “Papa serius?”

Ayah Jennie terdiam sesaat. Ia sebenarnya juga merasa khawatir pada anak itu, ia tak mengerti maksud perkataan Rosé saat ia menjemput Jennie dulu.

Rosé bilang dia akan pulang menemui Bapak-nya? Bapak? Ayahnya? Atau siapa?

“Papa, ih malah diem” Pekik Jennie

Ayah Jennie terkekeh lalu mengangguk pelan. “Dua rius,”

Jennie terbahak seketika, melupakan kekesalan dan kesedihan yang ia rasakan pada Rosé.

“Tapi Nini mau masakin makanan dulu buat Rosie, boleh kan Pa??”

“Boleh, dong. Tapi Papa gak bisa ikut mampir, Papa buru-buru soalnya”

“Okay!!”


***

❝𝐃𝐞𝐬𝐩𝐚𝐢𝐫 𝐢𝐬 𝐧𝐚𝐫𝐜𝐨𝐭𝐢𝐜. 𝐈𝐭 𝐥𝐮𝐥𝐥𝐬 𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐢𝐧𝐝 𝐢𝐧𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐝𝐢𝐟𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐜𝐞.❞

Rosie, Don't Leave MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang