Safana Soid | Bagian 9

29 7 3
                                    

Note : Ini bergendre science fiction, penuturan ini hanya fiksi belaka, jangan bandingkan dengan dunia nyata karena ini sangat jauh berbeda.

Ini draft 1 cerita. Masih banyak kesalahan ejaan, kalimat yang tidak tepat atau bahasa ambigu yang mungkin sulit di mengerti, dan mungkin alur yang terlalu cepat.

Jadi : Saya akan merevisi jika ceritanya sudah tamat!

Oh iya, Nama tokoh, terinspirasi dari teman selokal, jadi masalah internal di dalam cerita atau apapun macamnya tidak berkaitan dengan dunia nyata. Saya hanya meminjam nama.

_______________________________________

Tubuh Zaki sudah tergeletak, lebih tepatnya tertungkup mencium tanah. Entahlah keadaannya sekarang. Hani berjalan menuju Zaki, air matanya menetes deras sekali. Awan menghitam seperti berkabung juga.

Ibrar di sisi yang berbeda berjalan putus asa, wajahnya datar menatap orang di sana. Apa dia masih bernyawa? Ibrar mempercepat langkahnya menuju Zaki, dirasakan nadi itu. Ah, sulit jika posisinya telungkup begini.

Dia mengangguk ke arah teman-teman laki-lakinya seperti ingin meminta bantuan. Mereka yang mengerti cepat saja berjalan ke arah Zaki, tanpa aba-aba membalikkan badan itu.

Hani meringis menutup wajahnya, tidak sanggup. Wajah itu sudah hancur, darah bercampur dengan tanah seperti tak jelas lagi wajahnya. Hani berlari menjauh. Ya, dia tahu, badan Zaki sudah berapa kali diinjak-injak harimau murka itu.

Ibrar yang air matanya sudah menggenang mengecek detak jantungnya, kenapa masih nggak ketemu! Tidak ada getaran di tangan itu, melainkan seperti sudah membeku, dingin. Oh tuhan, apa pun yang terjadi, Ibrar tak akan memaafkan dirinya. Dia yang sok pintar, menunda-nunda masalah yang sebenarnya bisa terselesaikan dalam waktu yang singkat.

Dia menimbang-nimbang. Apa dia akan memakai tanaman itu sekarang? Tubuhnya bergetar hebat. Jika dipakai, maka tumbuhan itu resmi punah, sebenarnya dia ingin menyelidiki potongan terakhir itu, bisa jadi dibudi-dayakan?

"Kasih aja, Brar!" Rafil mendesak, suaranya serak, dia juga cemas dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ini pertama kalinya Rafil memperlihatkan air matanya.

Tangan Ibrar serasa kaku, apa keputusan ini tepat? Tanaman ini adalah tanaman terakhir, dan akan bekerja jika dalam masa kritis saja. Sekarang, jantung Zaki saja tidak berdetak, apa mungkin tanaman ini akan bekerja?

Ibrar menghela napas berat, kemungkinannya hanya sedikit, dia juga tidak yakin dengan Zaki. Hani sudah kembali dari perenungannya. Duduk di samping Zaki yang sudah tak berdaya.

Ibrar meremas tumbuhan itu, tangannya bergetar, pernah, kah kalian merasakan hal seperti ini? Menyerahkan tumbuhan langka yang terakhir, dengan jaminan hidup sedikit saja. Tubuh seperti tidak ada rasanya, suasana mendingin, tercekat serasa ingin mati.

Setelah dirasa cukup, Ibrar memberi air sedikit, lalu memerasnya ke dalam mulut Zaki. Detik-detik yang menegangkan. Rafil yang berada di dekat bebatuan sana berjalan mondar-mandir, beberapa kali mendongak melihat hasilnya, berhasil atau tidak?

Adik dan Diva yang masih berada di dekat semak. Mereka tak kuasa ke sana, entah kenapa suasana hari ini begitu menyedihkan dibanding kemaren. Dani yang sedari tadi diam saja, tubuhnya pucat, dia tak bisa berdiri, dia sudah terduduk menatap tanah datar.

Bagaimana Hani? Gadis itu tak henti-henti menangis, tanpa sadar tangannya bertautan dengan tangan Zaki seakan sangat mengharapkan keajaiban. "Ki, bangunh ...," lirih Hani sudah tidak sanggup lagi. Gadis itu menunduk, sangat takut dengan kemungkinan terburuk.

SMILING KILLER - Safana Soid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang