Seorang anak terduduk. Memakai hoodie hitam dengan menangkup tudungnya di kepala, sengaja menutup wajahnya yang sudah dibasahi air mata. Matanya merah, pundaknya naik turun. Ia meremas sepucuk kertas di tangannya. Kertas itu adalah potongan koran yang menampakkan judul "Seorang anak laki-laki meninggal karena bunuh diri".
***
Zaki berjalan menyusuri lorong sekolah. Ia seperti sedang mencari seseorang di sekolah yang sudah sepi itu.
"Ngapain?" akhirnya seseorang yang dia cari pun muncul.
"Ah, gue nyariin lo. Ngapain di sini?"
"Ketua labor harus mastiin labornya aman dong. Bakal kangen nih ditinggal 5 hari."
Zaki mengangguk lalu berucap lagi, "Cepetan, busnya bakal berangkat bentar lagi."
"Iya, udah siap kok. Ayo!"
Hari ini SMA Bagaskara melakukan pembelajaran terbuka selama 5 hari. Sebenarnya dikhususkan untuk kelas 12 saja karena sehari setelah perkemahan usai, mereka akan menghadapi ujian.
Zaki, orang-orang memanggilnya dengan sebutan "Dun" tapi seseorang yang sekarang berjalan di sampingnya memanggilnya dengan nama "Ki". Bukan apa-apa, dia benci memanggil nama seseorang dengan panggilan aneh (?) lebih nyaman dipanggil dengan panggilan biasa saja. Mereka berdua bersahabat sejak awal SMA, ralat, bukan berdua, melainkan bertiga.
Zaki memiliki kulit yang cukup putih, cukup untuk membocorkan emosinya. Ya, ketika lelaki itu mengeluarkan emosi, entah itu malu, marah, senang atau apapun, pipi dan telinganya akan memerah.
Bagaimana dengan seseorang yang berjalan di sampingnya ini? Namanya Ibrar, hidupnya yang selalu itu ke itu. Tidak terlalu berwarna seperti siswa SMA pada umumnya. Teman hidupnya hanya laptop, hape, kalau tidak buku. Jenis laki-laki yang sangat membosankan untuk diajak bermain. Itu sebabnya dia hanya memiliki sedikit teman. Tapi karena sedikit teman itulah dia akan selalu menggenggam orang-orang itu erat. Beruntunglah yang menjadi temannya.
"Lo kata bus-nya udah nunggu!" Ibrar berang karena ditipu.
"Hehe, insting berkata begitu, tapi kenyataan belum."
Ting ... Triing ... Dum
Berbagai suara notifikasi masuk dari hape yang berbeda. Beberapa murid mengangkat benda pipih itu serentak, lalu memunculkan kerutan di dahinya.
Untuk siswa Safana Soid, temui bapak di lokasi ini untuk penyerahan berkas.
Begitu isi pesannya. Karena sehari setelah mereka berkemah, ujian akan menanti. Jadi data diri atau berkas-berkas seperti : Kartu keluarga, Akta, dll harus dikumpulkan. Tapi mengapa harus di lokasi ini? Terlihat dari maps, letaknya agak jauh dan ... agak ke dalam hutan?
"Hellow, mau ngapain sih papi nyuruh kita ke sana, masuk ke hutan lagi," ucap seorang gadis. Memperkenalkan, Hani, sang ketua kelas. Perawakan tinggi dan cantik. Tipe gadis yang sangat friendly.
"Biasalah, bapaknya suka aneh-aneh," tambah seorang gadis di sampingnya. Dia sahabat Hani sejak kelas 11. Berhijab dan berkacamata, ditambah lagi tahi lalat di pipi kiri, manis sekali membuat hati seseorang menjadi lemah saja.
"Yaudahlah, semua anggota Safana Soid, meluncur ke lokasi!"
Hani lebih dulu melangkah bersama 2 teman perempuannya disusul Zaki, Ibrar, Rafil dan juga Dani di belakang sebagai pengawal. Sedikit sekali? Tampaknya rombongan yang lain sudah dulu atau masih di belakang.
"Seumur hidup, baru sekali gue masuk ke hutan ini. Padahal di belakang sekolah doang, ya," Ibrar berceletuk mengubah suasana hening menjadi lebih mencair.
"Ya, seorang Ibrar nggak akan mau masuk ke hutan," timpal Rafil. Ah, iya. Memperkenalkan Rafil. Dia teman Ibrar sejak kelas 10. Mereka tak pernah absen menjadi classmate. Tubuhnya memang agak kecil, tapi kalau stamina, jangan diragukan lagi.
"Kira-kira kita ngapain di suruh segala ke sini?" Dani sekarang bertanya.
"Entahlah, iya kata Diva tadi, bapaknya suka aneh."
5 menit dalam perjalanan. Akhirnya rombongan gadis gadis pun berhenti. Mereka terbingung melihat seseorang yang rupanya sudah sampai dari dulu.
"Eh, Haris? Kok udah sampai duluan?"
"Nggak tau, gue kira udah pada lengkap di sini. Terus buru-buru, eh masih kosong ternyata."
"Ini rumah siapa?" Diva menunjuk ke rumah yang ada di depan mereka. Rumahnya bagus dan terlihat masih terawat. Tampaknya rumah itu masih berpenghuni.
"Lo ngapain sih main hape mulu!" Zaki jadi risih. Semua orang sedang kebingungan, Ibrar malah asik-asik main hape.
"Gue mastiin lokasinya enggak salah, bego, teknologi bisa aja salah."
Ting ... Triing ... Dung.
Notifikasi masuk lagi secara bersamaan membuat semua orang mengangkat ponselnya lagi.
Masuk aja ke rumahnya. Ada sesuatu yang pingin bapak kasih liat.
Semua orang mengerutkan dahinya. Ganjil memang. Kenapa mereka tidak disambut saja? Kenapa harus masuk ke dalam rumah?
"Atau ini penipuan!?" Hani berteriak, jujur, orang-orang di sana ketakutan karenanya.
"Enggak, penipuan gimana, yang ngasih pesan kontak bapaknya." Adik berusaha menetralkan suasana. Entahlah kenapa dipanggil Adik, mungkin karena anak terakhir. Bahkan orang-orang kerap memanggilnya dengan nama aslinya, tapi dia selalu saja mengoreksi dengan, "Panggil adik!" sampai-sampai adik kelas memanggilnya dengan sebutan "Kak Adik". Oke baiklah.
"Yaudah cepetan masuk, enek gue di tempat ginian." Hani melangkah sebagai pemimpin. Disusul teman-temannya.
Pertama kali melangkahkan kaki di rumah itu. Suasana tegang bekerja keras. Di dalamnya gelap. Penampilan di dalamnya tak seindah penampilan luar. Inikah yang disebutkan dengan "Don't judge house from the yard?"
Seketika bau busuk menyeruak menyentuh indra penciuman orang-orang itu. Ibrar berusaha mati-matian menganalisa bau apa ini dan akhirnya matanya membola.
"Keluar cepat, ini Etanol ka – "
Belum genap ucapan itu, tiba-tiba tubuh mereka ambruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMILING KILLER - Safana Soid
Mystery / ThrillerIni tentang perjalanan Hani sang ketua kelas yang sangat baik dalam menjalankan tugas, Diva si gadis berkacamata yang selalu memedulikan hati daripada otak, Adik seorang yang tegas serta tangkas mengolah alam. Tentang Zaki, yang pendiam, tapi dibal...