Note : Ini draft 1 cerita. Masih banyak kesalahan ejaan, kalimat yang tidak tepat atau bahasa ambigu yang mungkin sulit di mengerti, dan mungkin alur yang terlalu cepat.
Jadi : Saya akan merevisi jika ceritanya sudah tamat!
_______________________________________
Diva dan Hani. Sebenarnya mereka sudah mengenal sejak kelas 10. Lewat satu organisasi, mereka jadi saling mengenal. Tidak dekat dulunya, hanya cukup tau. Tapi entah kenapa, di kelas 11, satu hari saja sudah membuat 2 orang ini klop. Bahasanya nyambung dan bahkan melihat daun jatuh saja bisa ditertawakan.
Diva gadis berhijab. Pendiam, kadang suka dicap sombong karena kerap menampakkan wajah datar. Enggan menyapa kalau tidak kenal-kenal amat. Bicara seadanya jika tidak kenal-kenal amat juga.
Berbanding terbalik dengan sosok Hani yang ceria, entah kenapa, bisa seseorang satu atap dengannya, pemandangan menjadi pelangi, amat warna-warni. Sering menggunakan bahasa gaul, yang kadang membuat orang-orang mengerutkan dahi. Cantik, membuat dia sering patah hati. kok patah hati? Iya, cantik tapi nyari cowok yang tidak tepat melulu, hehe, peace, Hanii.
"Ah, gue pipis dulu!" Ibrar berulah lagi. Ada saja yang mengalihkan mereka dari situasi seperti ini. Tampaknya dia sengaja, sengaja mengalihkan semua orang dari situasi yang amat menyeramkan ini.
"Temenin!" pintanya lagi.
"Kii, cepetan woi!" Ngeri juga bila dia mengajak Rafil, lelaki itu masih dicurigai, kalau ternyata benar? Bisa mati muda kakek tua nan pelupa itu. Iya, Ibrar sering menjuluki dirinya kakek tua karena pelupa akut, dia yang memberi julukan, bukan orang lain.
Zaki tetap diam, "Kok lo bisa-bisanya percaya sama gue?" kalimat ambigu, bisa 1000 makna di dalamnya. Ibrar jadi mengerutkan dahi, "Oke, gue sendirian lagi, selamat menikmati pipis di ujung kematian!" ucapnya kesal.
Semua perhatian tertuju pada Rafil lagi, pengalihan isu tadi tak berguna. Tak usah hiraukan teman atau apapun, nyawa lebih berharga. "Mau apa lo sama Haris sebenarnya?" tanya Hani, ia mengeratkan pegangan linggis. Kalau dia menodong pistol atau apapun, Hani tak akan segan-segan melempar linggis ini ke kepalanya.
Rafil menghembuskan napas pelan, dia menetralkan degupan jantung yang menderu kencang itu, temannya sekaligus satu-satunya orang yang ada di hutan ini tidak percaya padanya? Sudahlah, mati adalah harganya, tidaklah oleh pembunuh, Rafil lebih senang mati ditangan temannya.
"Kalian tenang dulu ..." suara itu bergetar berjalan mundur, bagaimana tidak, 3 orang itu sudah siap dengan senjatanya, "gue ... sumpah gue nggak terlibat di dalam ini."
"NGGAK MUNGKIN! JANGAN SOK-SOK-AN DEH LO!" Hani menggertak.
Duar ....
Tiga pasang mata itu terbelalak terkejut.
Bruk ....
Tubuh Rafil ambruk.
Satu detik.
Dua detik.
Lengang ....
Duar ....
"AAAAA," di sana seseorang berteriak, nadanya sangat mengerikan, burung-burung jadi beterbangan ke angkasa, terbirit takut.
"Ha? Ibraaar!" Diva berlari, matanya berlinang sangat deras, berlari tak tentu banyak duri yang menghadang, dadanya sakit, jantungnya berdegup kencang. Apapun, langitnya serasa sudah runtuh.
Gadis berhijab itu terduduk lemas, tak ada jasad tapi darah segar mengalir di sana. "HAAAAAAAA," dia berteriak marah, burung-burung sekali lagi beterbangan. Tiba-tiba darah menetes dari atas sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMILING KILLER - Safana Soid
Mistério / SuspenseIni tentang perjalanan Hani sang ketua kelas yang sangat baik dalam menjalankan tugas, Diva si gadis berkacamata yang selalu memedulikan hati daripada otak, Adik seorang yang tegas serta tangkas mengolah alam. Tentang Zaki, yang pendiam, tapi dibal...