Episode 4 : Friendship

78 8 12
                                    

Note : Ini draft 1 cerita. Masih banyak kesalahan ejaan, kalimat yang tidak tepat atau bahasa ambigu yang mungkin sulit di mengerti, dan mungkin alur yang terlalu cepat.

Jadi : Saya akan merevisi jika ceritanya sudah tamat!

_______________________________________

Kamu tahu? Perjalanan ini amat sangat mengerikan. Tampaknya pembunuh memiliki gangguan mental. Tak ada orang yang mau merencanakan pembunuhan sekejam ini. Bagai tak ada setitik pun darah manusia di badannya.

Psikopat, seseorang yang merasa senang melihat penderitaan orang lain. Merasa sangat bahagia melihat orang tersakiti karenanya. Ini dia yang sangat dia inginkan. Tangisan takut, kehilangan, kesedihan.

Ini pembunuh berbahaya, sangat janggal bila menuduh anak diumur 18 tahun. Iya, pelaku sepertinya bukan mereka, melainkan orang luar, oh atau, bisa saja pembunuhnya anak psikopat berumur 18 tahun karena sebuah alasan tak termaafkan. Karena sesuatu yang tidak bisa dimaafkan itulah dia "balas dendam".

Debu mengepul, tampaknya itu tidak hanya material karena debunya menjadi sangat banyak dan ... putih. Entah kenapa badan orang-orang di sana menjadi menggigil. Ketakutan mereka bertambah selevel lebih tinggi. Apakah itu obat peningkat adrenalin? Dari mana dia mendapatkannya?

Setelah kepulan debu mereda. Akhirnya seseorang sudah tergeletak di sana. Mulutnya berbusa, banyak sekali. Seakan-akan busa itu dimasukkan ke mulutnya. Sangat tidak wajar. Mata melotot mengerikan, tubuh pucat.

Diva menutup mulutnya saking terkejut. Semua orang mengalihkan pandangan. Tampaknya bubuk tadi membuat ketakutan mereka menjadi sangat meningkat. Bahkan mereka enggan melihat sosok di dalam sana.

Ibrar menggigit bibirnya. Air matanya sudah menggenang, ia berdiri menjauhi tempat itu. Tampaknya dia butuh waktu untuk menerima. Zaki tetap dengan wajah datarnya, entah ada apa dengan jiwa orang itu. Bahkan bubuk peningkat adrenalin tidak mempan untuk mengubah wajahnya.

Lelaki itu berdiri menatap Dani, meringis sedikit lalu mengurut mata itu agar tertutup.

"Udah."

Hani yang mendekap sahabatnya itu pun mencoba berdiri. Tampangnya sudah kacau, hidung merah, mata sembab merah. Rambut yang sudah berantakan seperti orang gila.

"Oke!" Dia berteriak sangat keras membuat gema di seluruh ruangan.

"Gue nyerah!" Dia terisak lagi. Mengusap hidungnya, mencoba berdiri dengan mantap.

"Bunuh aja gue! Gue nggak sanggup begini terus-terusan!" Iya, lebih baik mereka mati daripada harus dirundung suasana mencekam seperti ini terus-menerus.

"Itu mau lo kan? Kenapa nggak bunuh sekarang aja!"

Menyakitkan melihat kematian teman sendiri. Apalagi dengan sangat kejam seperti ini. Hani pasti tidak sanggup akan melihat kematian lagi. Apa kabar dengan gadis di sebelah sana, yang sedang menunduk lemah. Bajunya sudah basah oleh keringat, pilihan hanya ada 2. Entahlah, itu bukan pilihan, melainkan ketetapan.

Hani akan menyaksikan sahabatnya itu terkapar tak bernyawa, atau Diva yang menyaksikan Hani di ujung hayatnya. Dia tidak sanggup seperti itu.

Hari sudah makin malam. Energi mereka sudah habis. Ibrar kembali setelah menenangkan diri. Berat bila harus melepas teman seperti itu. Padahal mereka sudah melakukan perencanaan untuk jalan-jalan dan perpisahan besok. Tak disangka, perpisahan mereka akan semenyedihkan ini.

"Kita bawa mayatnya ke bawah." Lesu sekali nada bicaranya.

Diam. Tak ada yang sanggup melihat wajah mayat itu. biru, mengerikan sekali. Padahal Dani adalah orang yang sangat ceria, walaupun jokesnya tak mengundang tawa, tapi hadirnya membuat hidup suasana. Mereka akan merindukan sosok itu.

SMILING KILLER - Safana Soid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang