Safana Soid | Semesta

33 7 2
                                    

Note : Ini bergendre science fiction, penuturan ini hanya fiksi belaka, jangan bandingkan dengan dunia nyata karena ini sangat jauh berbeda.

Ini draft 1 cerita. Masih banyak kesalahan ejaan, kalimat yang tidak tepat atau bahasa ambigu yang mungkin sulit di mengerti, dan mungkin alur yang terlalu cepat.

Jadi : Saya akan merevisi jika ceritanya sudah tamat!

Oh iya, Nama tokoh, terinspirasi dari teman selokal, jadi masalah internal di dalam cerita atau apapun macamnya tidak berkaitan dengan dunia nyata. Saya hanya meminjam nama.

_______________________________________

Adik termangu duduk memandangi bongkahan kayu bakar yang sudah menjadi Abu. Lalu mengangkat kepalanya menatap awan subuh, biru gelap, lantas tersenyum. Dia menghirup udara segar pagi hari, menajamkan telinga mendengarkan riak air mengalir. Dia menyantap alam dengan amat bijak.

"Siap?" tanya Hani kepada teman-temannya yang tengah rabahan. Mereka mendesah pelan lantas berdiri. Petualangan berlanjut lagi.

Adik yang semula sangat ingin dekat dengan Senorita menjadi takut sendiri, mencoba menjaga jarak. Pengalaman 6 jam lalu sungguh tak mengenakkan. Kala sulur dan jala menjepit kakinya lalu menarik paksa menggantung gadis itu. Untung bajunya bisa dimasukkan ke dalam celana, kalau tidak, akan susah lagi nanti.

Adik menyeka seragam olahraganya yang sudah lusuh itu. Rambutnya berantakan sudah layak dijadikan tarzan versi perempuannya. Perjalanan tidak di tepi sungai lagi, melainkan Senorita masuk ke dalam hutan lebat. Kening masing-masing mereka berkerut, mengapa ke sana? Jelas-jelas petunjuknya adalah sungai.

"Ayolah, ikutin aja apa susahnya," Ibrar berteriak semangat, berlari duluan, menyelaraskan langkahnya dengan Senorita.

Semua orang mendengus pelan. Mereka tak tahu akan ada apa lagi di hutan ini. Ujian apa lagi, mereka sudah lelah, letih. Tidak seharusnya mereka diperlakukan seperti ini. Hani yang kakinya entahlah, sudah sembuh saja. Melangkah dengan elok, tapi pegal di sekujur tubuhnya membuat dia malas bergerak.

Dani yang sudah lelah jiwa menghadapi banyak darah terpaksa berdiri demi keselamatan diri. Dia sudah sangat rindu keluarganya. Ingin menghabiskan harta papi dan maminya. Dia tak suka di hutan ini. Sangat-sangat benci. Mungkin Dani tak akan pernah menginjakkan kaki ke hutan. Kejadian beberapa hari ini membuat nama hutan tercoreng sebagai kosakata indah di kepalanya.

Zaki yang baik-baik saja. Berjalan tetap dengan ekspresi juteknya. Hanya saja tubuhnya dibaluti kain putih. Bajunya sudah robek karena transformasi, celananya juga sudah robek, tinggal selutut saja. Hani menatapnya, lalu mengalihkan pandangan karena malu. Teringat kejadian malam tadi.

"Makasih ya," lirih Hani, ucapan terima kasih pertama kepada seorang Zaki. Sang lelaki hanya mengangguk saja. Menunduk karena telapak tangannya yang banyak mengeluarkan darah dan sayangnya sudah bercampur dengan tanah.

Hani mengambil kain di dalam ransel Zaki. Berlari ke arah sungai, meringis sedikit ketika tangannya menyentuh air. Terbayang lagi bagaimana buaya besar itu mencabik betisnya panjang dan dalam. Lalu bergegas berlari ke arah Zaki lagi.

"Tahan." Hani menekan kain itu sangat kuat lalu menyapu ke luar membuat darah dan tanah itu tersapu bersih dari tangannya.

"Agh," erang Zaki tertahan.

"Maaf," ujar Hani.

Zaki memegang tangan Hani membuat gadis itu terkejut, desiran hangat mengalir membuat jantungnya berdegup kencang.

"Nggak usah deg-degan, gue mau ngambil kain doang. Gue bisa sendiri," ketus Zaki membuat Hani berdecak sebal lalu memanyunkan bibir.

"Jangan sok imut juga, geli banget gue." Zaki beranjak dari tempat duduknya, tersenyum sekilas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SMILING KILLER - Safana Soid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang