Safana Soid | Bagian 2

28 4 6
                                    

Note : Ini bergendre science fiction, penuturan ini hanya fiksi belaka, jangan bandingkan dengan dunia nyata karena ini sangat jauh berbeda.

Ini draft 1 cerita. Masih banyak kesalahan ejaan, kalimat yang tidak tepat atau bahasa ambigu yang mungkin sulit di mengerti, dan mungkin alur yang terlalu cepat.

Jadi : Saya akan merevisi jika ceritanya sudah tamat!

Oh iya, Nama tokoh, terinspirasi dari teman selokal, jadi masalah internal di dalam cerita atau apapun macamnya tidak berkaitan dengan dunia nyata. Saya hanya meminjam nama.

_______________________________________

"Mereka bakal ke sini!" jerit Adik. 2 orang itu sudah panik. Mengacak-ngacak kamar itu, siapa tahu ada barang yang berguna untuk mereka. Di sudut kamar itu ada sebuah tas yang sudah berdebu, Rafil langsung saja menyambarnya, berat, tapi tak penting sekarang, mereka harus kabur.

Adik di sisi lain tengah panik, dia menemukan sebuah peta, pistol yang jumlahnya cuma 5, diembat semua pistol itu, ah, akhirnya dia menemukan tenda!

Rafil melirik ke arah Adik, entah kenapa kepalanya mendongak ke atas sana, matanya menyipit, ada sebuah foto tapi sangat amat kabur karena debu.

"CCTV!" Adik berteriak menunjuk belakang Rafil. Ah, sial, keberadaan mereka sudah diketahui.

Memang benar adanya, 5 orang berjubah hitam, dengan wajah yang belum diketahui sudah berjalan dari menuju rumah itu. hanya soal waktu, mereka akan sampai, apa nasib Rafil dan Adik berakhir di sini?

"Lari, Dik," Rafil juga panik, dengan menjinjing tas berat itu, dia berlari menuju lantai bawah.

"Tunggu, Fil!"

Bruk ...

Ah, sempat-sempatnya jatuh! Keadaan menjadi sangat menegang, 5 orang itu sudah dekat. Hidup dan matinya mereka tergantung pada nasib saja. Setelah berdiri dari jatuhnya, Rafil menyambar tubuh Adik, menariknya supaya bisa berlari.

"Sakit!" Ternyata kaki itu terkilir, oh tuhan, yang benar saja. Perlukah sekarang kaki itu terkilir? Rafil panik sendiri, tak mungkin dia meninggalkan Adik di sini. Entahlah, ada apa dengan pikirannya. Dia dengan sigap meraih kaki gadis itu. teknik penyembuhan ini, jika beruntung kaki itu bisa sembuh, tapi jika salah eksekusi ... malah akan memperparah.

Krak ...

Tulang itu berdering, Adik menjerit tertahan, sakit sekali rasanya. Rafil di sana juga ngeri, menutup mata.

"Gimana?" tanyanya. Ah, ayolah, mereka sudah dekat!

Adik mencoba untuk berdiri, masih sedikit sakit, tapi masih bisa untuk berjalan.

"Bagus!" seru Rafil. Dia menuntun Adik menuju pintu rumah.

Tampaknya pembunuh lebih cerdas dari mereka. Laser itu berfungsi lagi. Malah lebih banyak. Jika mereka keluar sana, entah apa yang akan terjadi.

Rafil terduduk frustasi, dia pasrah saja pada keadaan. Kadang mati selalu menjadi jalan. Sama saja tuhan menunda matinya, baik dia mati saja sedari dulu. Tak akan ada kejadian ini, ketegangan ini. Kalau dia sudah mati, pasti lelaki itu sudah tenang di alam sana.

Adik juga terduduk. Dia menatap Rafil, tersenyum pasrah.

"Setidaknya kita mati secara terhormat," ucapnya.

"Terhormat?"

Adik mengangguk, balik menatap lurus, "Berjuang melawan kejahatan, nggak pernah ada di pikiran gue. Nggak apa-apa kita mati duluan, tapi gue yakin yang lain bisa mengungkap kejahatannya."

SMILING KILLER - Safana Soid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang