Note : Ini bergendre science fiction, penuturan ini hanya fiksi belaka, jangan bandingkan dengan dunia nyata karena ini sangat jauh berbeda.
Ini draft 1 cerita. Masih banyak kesalahan ejaan, kalimat yang tidak tepat atau bahasa ambigu yang mungkin sulit di mengerti, dan mungkin alur yang terlalu cepat.
Jadi : Saya akan merevisi jika ceritanya sudah tamat!
Oh iya, Nama tokoh, terinspirasi dari teman selokal, jadi masalah internal di dalam cerita atau apapun macamnya tidak berkaitan dengan dunia nyata. Saya hanya meminjam nama.
_______________________________________
"Gimana caranya?" pertanyaan yang bagus, bagaimana caranya, jika mereka lari, dan terpisah satu meter saja, sudahlah, tak berani Hani memikirkannya. Kabut ditambah tebal, membuat siluet buaya itu menghilang. Senang? tidak, malah bertambah takut karena bisa saja mereka ada di mana-mana, memakan tanpa diketahui.
Zaki membuka ransel, mengeluarkan kain berwarna putih, lalu mengaitkan tangannya dengan tangan Hani, "Lo bilang jijik sentuhan sama gue, jadi gini cara alternatifnya."
Asap semakin tebal. Pandangan mereka jadi mengabur, tak ada yang bisa dilihat, hanya putih dan terkesan keruh. Zaki berlari saja entah kemana membuat Hani yang belum siap, terpekik karena tangannya sakit ditarik.
Ternyata buaya ada di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang mereka. Insting Zaki begitu kuat, tepat ketika mereka hendak menyerbu, untung dia berlari membuat 4 buaya itu bertabrakan. Saling mencabik.
Hani ngos-ngosan karena energinya dan energi Zaki memang berbeda jauh. Dia yakin Zaki sedang mengutuknya dalam hati.
"Lo lama amat," Zaki berhenti sejenak, menatap Hani sedikit kesal.
"Maaf." Sedetik setelah perkataan itu lolos, Hani membelalak terkejut karena Zaki menggendongnya, bukan ala-ala romantis, cukup gendong punggung saja, tapi entah kenapa perlakuan itu membuat pipi Hani memerah. Lalu lelaki itu berlari lagi.
Tampaknya kabut ini tak berujung. Zaki jadi tak mengerti. Apa ujian mereka saat ini? percuma saja lari karena kabut ini bisa saja menyelimuti seluruh pulau. Ya, siap tidak siap, sepertinya mereka harus melawan.
Zaki menurunkan Hani, dengan berjongkok. Gadis itu merapikan pakaiannya yang kusut.
"Sekarang gimana?" tanya gadis itu.
"Kita lawan!" Zaki melepaskan ikatan kain tadi.
Pemikiran yang tidak logis, bagaimana seorang manusia melawan buaya? Buaya kulitnya sangat keras, pistol yang mereka genggam tak ada gunanya melawan makhluk sekeras itu. Entah kenapa insting Zaki seperti mengucapkan sesuatu, membuat dia terkejut sekilas lalu melompat ke belakang Hani. Menembakkan pistol.
Dor!
Telak mengenai mata. Sasaran yang bagus. Cerdas juga. Selain semua tubuh buaya yang keras, masih ada matanya yang lembut dan sensitif, satu tembakan mampu membuatnya meraung kesakitan. Tak ada yang bisa mendefinisikan suara itu, itu kali pertama mereka menyaksikan rintihan buaya.
Lalu di sebelah sana Hani menjerit lagi. Zaki melompat lagi menemukan sang gadis yang kakinya sudah ditarik buaya. Zaki menggeram keras, dipompanya pistol itu lalu berniat untuk menembak.
Ctak!
"Sial!" umpat Zaki karena kehabisan peluru. Hani berteriak lagi membuatnya bertambah panik. Insting Zaki mengatakan bahwa mereka sudah dikepung. Telak sekali serasa ruang untuk lari sudah tidak ada. Depan, belakang, kiri, dan kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMILING KILLER - Safana Soid
Mystery / ThrillerIni tentang perjalanan Hani sang ketua kelas yang sangat baik dalam menjalankan tugas, Diva si gadis berkacamata yang selalu memedulikan hati daripada otak, Adik seorang yang tegas serta tangkas mengolah alam. Tentang Zaki, yang pendiam, tapi dibal...