"Kok tiba-tiba kepengen Okonomiyaki ya?"
"Halo? Iya, dua tiket ke Tokyo buat sejam lagi. Seat bisnis, no disturbance. Kalo bisa yang VIP."
Alen menoleh sambil geleng-geleng kepala maklum saat Mahesa sudah menempelkan ponselnya ke telinga dan menelepon anak buahnya untuk memesankan mereka berdua tiket ke Jepang.
Tidak usah heran. Dulu, waktu Alen mau lihat penguin, penguin-nya yang didatangkan kerumah.
Teman-teman Alen yang melihat Mahesa berdiri stand-by disebelah cowok itu cuma bisa melongo lantas pura-pura nggak lihat.
Posisi mereka sekarang lagi ada di sekolah. Bukan sekolah biasa, melainkan sekolah swasta yang super elit. Warna almamater-nya bukan kuning lagi, melainkan merah. SPP-nya setahun bukan semiliar lagi, tapi dikali sepuluh.
Tapi harga dan ekspektasi orang-orang terhadap sekolah ini memang pantas, karena sejak Alen masuk sekolah ini sampai sekarang, dia masih belum selesai dengan misinya yaitu pergi ke semua daerah yang ada disekolah.
Bayangkan, luasnya lebih dari tujuh hektar, dan kelasnya nggak cuma sampai tiga melainkan tujuh, karena gabung dengan universitas yang satu yayasan.
Kolam renang indoor? Ada. Di tiap lantai malah. Lapangannya setengah hektar sendiri, terdiri dari lapangan upacara, basket, sepak bola, voli, kriket, dan panahan. Di pintu masuk, para murid bakal langsung disambut air mancur cantik dengan patung Cupid yang bawa gentong berisi air mengalir.
Di kantin sekolahnya ada Moonbucks, ada Indiemaret, ada Dankin Donuts, ada Subway dan banyak lagi, sampai dulu Tanaya pernah salah kira kalau kantin sekolah ini tuh mal yang menyamar.
Ekskul-nya ada 35, mulai dari yang biasa seperti di sekolah umum lainnya sampai yang anti-mainstream dan bisa kalian temukan di film lawas berjudul Richie Rich.
Sejauh ini, yang paling anti-mainstream baru balapan Go-Kart (karena ada yang terinspirasi dengan game Kart Rider) sama Extreme Sports.
Pelajaran Bisnis dan Saham jadi salah satu mapel wajib, dan remaja yang sudah kelewat paham soal bisnis kayak Gilang sudah jadi hal yang biasa.
"Heh, Om Mahes ngapain disini?" Tanya Gilang, mengetukkan garpu platinum-nya keatas meja untuk menarik fokus Alen.
Nampan makanan mereka semua sudah hampir kosong, termasuk si tuan muda yang tadi bilang mau Okonomiyaki.
Alen mengedikkan bahu, "Bunda kaget waktu gue bilang mau merakyat. Nggak dilarang, tapi Om Mahes disuruh jagain," Saat mengatakan kalimat terakhir, perlahan ekspresinya mengerut tidak senang. "Mana bebas merakyat-nya kalo dijagain,"
"YEU ANJIR!" Juniar memukul permukaan meja marmer yang mereka tempati sebelum meringis kesakitan sendiri. "Sek ngotot ae kon?!"
"Iyalah. Papa gue ngebolehin kok, katanya biar tau gimana susahnya, jadi gue nanti nggak manja."
"Hemeh!" Tanaya terkekeh biasa, tapi menurut Mahesa kedengaran meremehkan. "Kalo udah sejak lahir dimanja mah susah, bro. Harusnya rasain jadi gue dulu. Mulai dari nol,"
Mahesa tidak tahan untuk tidak berceletuk. "Tanaya,"
"Nanti kalo udah merakyat, fotoin uang seribuan sama koin-koin, ya." Kali ini Yasa yang menyeletuk, sambil mengunyah chicken roulade-nya. "Gue mau koleksi tapi dilarang sama ayah."
"Yoi,"
Sekali lagi, Mahesa mau menyeletuk, "dirumah gue banyak! Bawa aja noh! Bawa! Tuker sama mobil lo!"
Tapi dia masih ingin merasakan status kelas atas, jadi dia menahan diri.
"Oh!" Alen menoleh pada Mahesa yang sejak tadi berdiri, membuat atensi para murid menuju ke meja mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idyllic Sides [Hiatus]
RandomAlen mau coba temenan sama rakyat jelata, bosen punya temen yang selalu nyoba saingin kekayaannya katanya. dan akhirnya, dia ketemu Ningsih. cewek yang lebih suka dipanggil Ningning karena menurutnya nama aslinya norak, bikin Alen penasaran akan li...