2 | cara rakyat biasa

69 14 3
                                    

"Terus gue harus gimana, Om?!" Tanya Alen frustasi. Karena kalimatnya saat kejadian tadi sore, Ningning langsung menendang tulang kering Alen karena murka sebelum mengambil tahu bulatnya dan langsung pergi dengan marah.

Ya walaupun ucapan Alen nggak salah, entah kenapa rasanya hina banget kalau dia yang bilang. Padahal cowok itu nggak berniat menghina. Dia cuma bahagia ngelihat mata uang yang belum pernah dia lihat.

Oh ya, karena tulang kering Alen ditendang, Mahesa langsung mendatangkan dokter dari Amerika atas suruhan bunda Irina. Bunda Irina bahkan sempat menuntut Mahesa mencari perempuan itu, tapi untungnya ditahan sang suami.

Katanya, "Alen aja sering dibully kakaknya waktu kecil, masa ditendang dikit langsung sakit?"

Memang, bapak kurang ajar.

Mahesa hanya memerhatikan dokter berdarah Amerika yang tengah memasukkan kembali stetoskop-nya kedalam tas dokter itu, sebelum pria bule tersebut pamit pada Alen dan dirinya.

Dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa memanggil dokter padahal yang ditendang hanya tulang kering? Dan untuk apa stetoskop, kan kaki tidak punya detak jantung?

"Om!" Sentakan Alen membuatnya kembali fokus. "Dih ngelamun, pecat nih?!" Ancamnya membuat Mahesa bergidik takut.

"Maaf, bisa diulangin pertanyaannya?" Tanya pria itu sambil tersenyum paksa, membuat si tuan muda menghela nafas karena teringat lagi.

"Gue harus apa sama cewek tadi?"

"Tuan muda bisa menuntut anak itu seperti yang diinginkan nyonya karena telah melukai anda."

Kecuali kalau anda masih waras, lanjut Mahesa dalam hati. Dan untungnya, saran barusan langsung Alen tolak. Dia berpikir lagi. "Atau anda mau saya mengirimkan sekoper uang ke rumahnya?"

"Hm," Pemuda bermata sabit itu berpikir sesaat. "Nggak, deh. Nanti kalo ketahuan bunda malah ditambahin lima koper. Repot bakarnya,"

"Kalau begitu ada cara rakyat biasa."

Perkataan Mahesa membuat cowok itu langsung menatapnya antusias dalam hitungan detik. Matanya berbinar-binar, seakan dia telah menunggu ini sejak awal.

"Apa?! Apa?! Kasih tau, cepet!"

"Minta maaf,"

"Ehhh?" Alen langsung memiringkan kepala. Agaknya kecewa dengan ekspektasinya sendiri, sekaligus bingung dengan kalimat yang barusan pengawal-nya lontarkan. "Gue?"

"Ya masa saya, tuan."

"Harus banget minta maaf?"

Pria bermata bulat yang sejak tadi berdiri disamping Alen langsung menghela nafas, mulai bersiap menyetok kesabarannya. "Menurut sisi rakyat biasa sayaㅡ" Sabar, tarik nafas, "ㅡminta maaf adalah cara paling efisien dan bisa menambah pahala kalo dilakukan dengan tulus."

Alen manggut-manggut. "Gitu? Kalo gitu ajarin dong, gue nggak pernah minta maㅡminta apa tadi? Minta makan?"

"Maaf,"

"MaㅡMau duit?"

Mahesa menggulirkan bola mata. Kebiasaan, pikirnya. "Anda tinggal bilang minta maaf yang tulus. Keluarkan rasa bersalah dalam diri anda,"

"Ma-MaㅡMama!"

"Maaf!"

"Ma-Maaaㅡgimana?!"

"Maaf, tuan muda! Maaf!"

"Nggak bisa! Ma ㅡmati aja lo!" Alen mendadak berhenti berusaha. Dia menatap Mahesa, lantas cengiran bersalah muncul diwajahnya. "Refleks, hehe. Jangan bilang bunda,"

Idyllic Sides [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang