Kita tak bisa memandang orang dari katanya, bisa saja itu semua berbeda dengan faktanya.
-Kiara
💔💔
Lelah memikirkan cerita Ana mengenai kehidupannya. Kiara memutuskan untuk makan. Ia melihat meja makan itu kosong tanpa ada seorang pun.
Biasanya seperti itu. Hanya, keadaannya saja yang lain. Biasanya ia makan sendiri karena kedua orang tuanya masih dalam perjalanan pulang. Sekarang, karena ayahnya masih bekerja dan sang bunda sepertinya masih belum bisa menerima keadaan.
Makanan yang tersaji sangat sederhana. Namun, Kiara harus banyak-banyak bersyukur. Setidaknya, ia tak seperti Ana yang setiap kali ingin menikmati makanan selalu mendapatkan perkataan tajam dari Gilang.
"Bunda udah makan?" Tanya Kiara saat melihat Gina keluar dari kamarnya.
Gina menggeleng, sepertinya mood sang ibunda sedang tak baik-baik saja. Dari pada kena semprot seperti Minggu lalu, Kiara memutuskan untuk tak banyak bertanya.
"Nanti makan. Kasian dede bayinya hehe,"
Gina menghampiri Kiara, "Bunda ingin makan ayam bakar, tapi ayah kamu pulangnya malam. Pasti gak sempat beli,"
"Bunda mau banget ya?"
Gina mengangguk, "Bunda ngidam itu,"
"Ya udah, nanti selesai Kiara makan. Kiara coba cari,"
"Emang punya uang?"
Kiara teringat dengan uang tabungannya, "Punya bunda. Tadi Kiara gak jajan," jawabnya.
"Makasih ya. Kalau aja ayah kamu gak ceroboh, mungkin kita gak akan susah kayak gini!"
Kiara merasa tak enak hati, "Ini takdir bunda. Kiara yakin, ayah pasti tak menginginkan hal seperti ini,"
"Ya! Bela saja ayahmu!" Bentaknya lalu pergi.
Kiara bukan gadis baik yang penurut. Dulu, ia terkenal dengan gadis pembangkang. Namun, masalah dalam kehidupannya semakin membuatnya sadar bahwa ia harus bisa mengontrol emosinya.
Seperti saat ini. Jika dulu ia bisa membalas membentak Gina, sekarang ia harus mencoba bersabar.
Ia selalu berpikir, mungkin ini memang bawaan adik dalam kandungan bundanya.
Sedikit bergegas, Kiara langsung mendatangi seseorang yang sangat ia kenal dengan baik. Yang pastinya, dapat membantunya untuk memenuhi keinginan Gina.
"Assalamualaikum pak Udin," Kiara tersenyum manis sambil bersalaman.
"Waalaikumussalam, ya Allah. Si neng geulis,"
"Ayam bakar biasa, favorit bunda!" Pesannya.
Udin mengangguk, "Siap, di tunggu ya?"
Kiara mengangguk, "Baiklah,"
"Neng, tinggal dimana sekarang?" Tanya Udin.
Sepertinya, semua orang sudah tahu tentang nasibnya. Ia tersenyum miris.
"Perumahan asri pak, masih daerah situ. Rumahnya aja yang pindah. Tepatnya, rumah yang dulu di tempati nenek," jawabnya.
"Turut sedih neng. Waktu si ibu cerita gak kerja lagi di neng, bapak sedih. Bukan karena ibu di pecat, tapi karena inget neng," ujarnya dengan tangan yang sibuk mengolesi ayam.
Udin adalah suami Neni. Ya, Neni mantan asisten rumah tangganya. Dulu, Kiara sering sekali menikmati ayam bakar bersama keluarga sederhana mereka saat ia rindu dengan orang tuanya yang tak sempat memberikan sedikit waktunya untuk Kiara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
Teen FictionKiara selalu berusaha tabah menghadapi apapun ujian yang hadir dalam hidupnya. sejak perekonomian keluarganya tak stabil, ia lebih sering menjadi sasaran emosi sang bunda. Hancur, rapuh dan retak adalah gambaran isi hatinya. Namun, ia bisa menemukan...