Katanya ia rapuh. Ia tinggal separuh, dan memintaku menjadi pelengkapnya.
-kiara
💔💔Ana terdiam merenung. Kiara hanya dapat memperhatikan Ana. Tadi, Kiara bilang jika Ana sudah siap bercerita ia juga siap mendengarkannya.
Namun, Ana hanya mengangguk seraya tersenyum.
"Na, mau pulang bareng apa kumpulan dulu?" Tanya Kiara.
"Gue ada kumpulan. Nanti, kalau sempat gue main ke rumah lo,"
Kiara mengangguk, "Ok, semangat ya Na,"
Kiara mengembuskan napasnya. Ia harap, esok dunia menyambutnya dengan senyum dan tawa. Ia lelah, sedari pagi menghadapi seseorang yang sedang diliputi masalah.
Dan, kesialannya bertambah saat tak ada satu pun angkutan umum. Heran, Kiara mendesah lelah.
"Kiara, nunggu siapa?"
Kiara menoleh, Adit tersenyum menatapnya.
"Nunggu angkutan umum kak," jawab Kiara.
"Bareng gue aja yuk?" Ajak Adit.
Mulut Kiara terbuka hendak menjawab. Namun sebuah perintah membuatnya menoleh.
"Naik sekarang,"
Membuka helmnya seraya memandang Adit dan Kiara bergantian. Mata Kiara terbuka lebar. Sekarang, dihadapannya lelaki itu seolah tak memiliki masalah. Padahal, ini masih area sekolah dan hari ini ia bolos.
"Kak Gilang? Ya ampun, kenapa bolos? Udah mendingan?" Cerocos Kiara.
Gilang menyunggingkan senyumnya, "Naik, nanti gue ceritain,"
"Gak bisa gitu dong. 'kan gue yang ngajak duluan!" Ujar Adit tak terima.
"Bisa. Tergantung, Kiara milih siapa," bantahnya.
Gilang percaya diri, Kiara akan lebih memilihnya dibandingkan Adit. Sudah pasti, Kiara akan penasaran bagaimana kelanjutan ceritanya semalam.
"Kia, lo mau balik sama siapa?" Tanya Adit.
Kiara menggigit bibirnya canggung. Ia tak mau membuat Adit tersinggung, tapi ia penasaran dengan cerita Gilang.
"Kalau lo ikut gue. Gue ceritain semuanya,"
"Gak sportif lo!" Ujar Adit kesal.
Kiara mengusap pelan bahu Adit. Adit mengalihkan pandangannya menatap Kiara dengan mata berbinar. Kiara tersenyum lalu berkata, "Maaf ya kak. Ada yang harus gue selesaikan dulu sama kak Gilang. Next, kita pulang bareng," ujar Kiara.
Senyum Adit perlahan memudar. Sedangkan Gilang memasang wajah datar lalu memberikan kode pada Kiara agar segera naik.
"Kak, duluan ya," pamit Kiara.
💔❤️💔
"Ana tadi baik-baik aja?"
Kiara menoleh, ia tersenyum riang. Gilang memperdulikan Ana. Bukankah ini pertanda baik?
"Tadi, mood-nya kurang baik dan sering ngelamun gitu," jelas Kiara.
"Selama ini gue kelewatan kayaknya sama Ana," ujarnya dengan pandangan lurus ke depan, "tapi, semenjak kenal sama lo gue sadar bahwa untuk mengenal kita perlu dekat,"
Kiara mencerna ucapan Gilang. Gilang menjadikan perlakuan dirinya sebagai bahan renungan? Hanya sekadar itu? Namun, mengapa kata dekat membuat debaran itu timbul lagi.
"Gue gak kenal siapa Ana. Tapi gue menghakimi dia selama ini. Padahal, Ana hanyalah korban. Semenjak lo ngobatin luka gue malam tadi, gue jadi berpikir untuk mengenal Ana lebih jauh dimulai dari mengulurkan tangan untuk membantunya saat sedang terpuruk," Gilang menoleh, "Sama, kayak yang lo lakuin sama gue," lanjutnya tersenyum.
Kiara terpaku. Tak ada satu kata yang bisa ia utarakan untuk membalas perkataan Gilang. Ia merasa tersanjung, dan debaran jantungnya tidak dapat ia kendalikan.
"Ba-bagus dong. Kakak, harus mulai mengenali saudara kakak sendiri," jawab Kiara sedikit terbata.
"Kia, gue tempramental. Emosi gue kadang gak stabil. Selama ini, yang menerima semua keburukan gue cuman Kania. Tapi, ini sudah saatnya Kania menentukan alur kisah cintanya. Dan bukan sama gue," ujarnya.
Kiara menatap Gilang tanpa kedip. Mata tajam itu menatapnya seolah menghipnotis pandangan Kiara untuk tidak mengalihkan pandangannya.
"Gue rapuh Kia, gue tinggal separuh. Gue juga gak ngerti, kenapa gue bisa cerita kayak gini sama Lo. Tapi, gue harap lo mau jadi pelengkap gue. Menjadikan kepingan-kepingan kehancuran itu menjadi sebuah bentuk yang baru meski tak sempurna,"
Gilang mencoba menggenggam tangan Kiara. Bersimpuh di hadapan gadis yang sedang duduk itu. Seketika, Kiara gelagapan. Dan mencoba meminta Gilang untuk duduk lagi disampingnya bukan bersimpuh seperti ini.
"Kak, duduk lagi. Jangan bersimpuh gitu," ujar Kiara sambil melirik kanan kiri.
Gilang menggeleng, "Gak. Sebelum lo jawab peryataan gue,"
Kiara mengernyit, "Pernyataan?"
"Gue gak harus ngulang 'kan?"
Kiara tersadar apa yang Gilang maksud. Pelengkap untuk yang rapuh?
"Kak, gue juga rapuh. Kita sama-sama tinggal separuh. Bukan gue gak mau, selain kita belum lama mengenal, gue takut gak bisa menjadi seorang pelengkap. Gue takut, kalau gue malah membuat yang rapuh itu musnah,"
"Kia. Mungkin gue gak tau apa yang jadi masalah lo. Tapi, jika kita benar-benar separuh bukankah kita cocok untuk saling melengkapi?"
"Tapi kak--"
Ucapan Kiara dipotong cepat, "Gue butuh sandaran, gue butuh rumah untuk kembali, gue gak mau hanya sekedar singgah. Maka dari itu, apakah lo mau menjadi tangan yang siap terulur setiap saat untuk membantu gue keluar dari jurang kegelapan?"
Kiara terdiam. Ia bingung atas apa yang terjadi. Bukankah ini terlalu cepat? Apakah Gilang benar-benar tulus mencintainya?
"Jawab gue. Gue gak maksa. Kalau lo beneran gak mau, lo bisa nolak,"
Mata mereka bertemu. Kiara terhipnotis tatapan itu, mencoba berfikir jernih dan ia mulai mengambil keputusan.
Kiara mengangguk kecil seraya berkata, "Ok, gue mau," jawabnya.
22 Maret 2021
Aas
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
Roman pour AdolescentsKiara selalu berusaha tabah menghadapi apapun ujian yang hadir dalam hidupnya. sejak perekonomian keluarganya tak stabil, ia lebih sering menjadi sasaran emosi sang bunda. Hancur, rapuh dan retak adalah gambaran isi hatinya. Namun, ia bisa menemukan...