Written by: Utiulva (wattpad) / Utie_ulfa (instagram)
"Cara semesta mengajarkan kedewasaan itu beragam, dengan rasa sakit misalnya."
***
Sore itu langit berwarna keemasan, saat sang surya setengah berhasrat turun ke peraduan. Tidak seperti biasa, senja kali ini membuatnya tergoda untuk memandangi lebih jelas. Menikmati setiap detik warna itu pudar untuk kemudian menggelap. Karena senja memang selalu begitu, hadirnya seperti sebuah permintaan agar sang mentari menenggelamkan dirinya lalu menghadirkan kegelapan di mana-mana.
Gadis itu menghela napas. Kenapa ia harus memperhatikan senja? Bukankah langit yang ia kenal hanya memiliki dua warna, hitam dan biru? Entah mengapa warna senja selalu menggelap dalam ingatannya.
Ia bangkit. Sambil mengedarkan pandangan, sebelah tangannya membersihkan pantat dari sisa debu bebatuan yang baru saja ia duduki. Meski langit menggelap tanpa seberkas cahaya dari bintang atau bulan untuk sekedar menemani, ia masih bisa melihat hamparan ilalang membentang luas di hadapannya. Hanya saja, yang lebih menyedihkannya ia sendirian dan tidak mengenal tempat itu. Ia di mana?
Matanya terhenti pada sosok laki-laki yang juga berdiri tak jauh dari tempatnya. Lega. Laki-laki itu masih sibuk dengan kedua tangannya. Tunggu! Ada yang aneh di sana. Kedua tangannya memancarkan cahaya. Hanya sebentar, karena detik selanjutnya kegelapan kembali menyelimuti. Napasnya memburu hebat dan jantungnya berdebar kencang.
Bukan ini kelegaan yang ia harapkan. Laki-laki itu bergerak mendekatinya sementara ia beringsut mundur. Dia? Belum sempat ia menyelesaikan apa yang ada di pikirannya, otaknya memberi sinyal untuk balik badan dan berlari sejauh mungkin dari tempat itu.
Sebenarnya ia tidak benar-benar tahu alasan menghindar dari sana. Hanya saja, ketakutan menyergapnya saat menatap laki-laki itu. Ia menggeleng, otaknya harus ia paksa berpikir jernih. Pertama, ia merasa tidak pernah ke sini sebelumnya dan tiba-tiba saja ia di sini sambil menatap senja? Hal yang tak pernah ia lakukan lagi sejak 15 tahun yang lalu. Kedua, hanya ada ilalang, dirinya dan laki-laki itu di sini. Seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan yang lain. Ketiga, mungkinkah ini hanya mimpi?
Benar! Mimpi kan terkadang memang begitu. Alurnya tak terkendali dan mengalir begitu saja. Namun keyakinan yang baru saja ia bangun raib seketika. Sekujur badannya terasa perih. Sisi daun ilalang yang dilewati menggores tanpa ampun. Mimpi tidak menghadirkan rasa sakit yang begitu nyata.
Sambil menoleh ke belakang langkah panjangnya terhenti. Laki-laki tadi tidak mengikutinya. Ia mengatur napasnya yang berantakan. Ketakutan tak berdasar mengantarnya seorang diri sekarang.
"Bodoh!" ucapnya sambil memukul kepalanya pelan. "Harusnya tadi aku tidak perlu lari. Aku bisa menghampirinya dan bertanya kenapa kita terjebak di sini berdua saja?" ucapnya lagi sambil kembali berjalan. Tidak ada niatan untuk berbalik arah dan menghampiri laki-laki tadi. Ia akan mencari jalan keluar sendiri
Tak lama, angin dingin berhembus pelan menerpa wajahnya. Pandangannya kembali menyapu sekitar. Ia terhenyak. Pohon-pohon yang besar tumbuh menjulang ke angkasa. Daunnya hijau menyegarkan bagi siapa saja yang melihat. Kali ini tidak ada ilalang satu pun. Bahkan kegelapan yang sedari tadi menemani diganti oleh langit yang berwarna keemasan di segala penjuru. Napasnya memburu. Ia terduduk lesu. Mendekap kedua kakinya. Sesuatu yang berhubungan dengan senja selalu saja memuakkan. Ia sangat menyesal mengetahui kenyataan bahwa ia sempat tergoda.
"Kamu tidak seharusnya hidup."
Suara berat menghancurkan lamunannya. Gadis itu hampir membuka mulutnya karena terkejut. Sepasang sepatu sport berwarna putih berhiaskan tanah acak, tenggelam di rerumputan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BK7 - Kumparan Waktu
RomanceSesuatu yang berhubungan dengan senja selalu saja memuakkan. Ia sangat menyesal mengetahui kenyataan bahwa ia sempat tergoda. "Kamu tidak seharusnya hidup." Suara berat menghancurkan lamunannya. "Kamu lebih baik mati." laki-laki tadi kembali beruc...