Written by: sereintopia
Hembusan angin yang beradu di tengah dinginnya malam membuat surai hitam legam milik gadis berusia lima tahun itu beterbangan ke sana-kemari.
Seharusnya, sudah sejak satu jam yang lalu gadis itu terlelap. Bergelung nyaman di dalam selimut bergambar kartun kesukaannya. Tenggelam di dalam fatamorgana yang anak seusianya ciptakan sehabis mendengarkan kisah dongeng tentang penguasa lautan.
Namun yang dia lakukan malah sebaliknya, gadis kecil itu memilih untuk menghabiskan waktu di tengah dinginnya malam. Berdiri tegak menatap lautan yang mulai menunjukkan gelagat aneh. Awan pekat yang tengah mengambang menghiasi malam tak berbintang telah meneteskan air. Beban kuasa yang awan tersebut tahan secara perlahan-lahan mulai membasahi baju yang tengah gadis kecil itu kenakan.
Bahu yang sehari-hari dia gunakan untuk membawa hasil tangkapan ikan mulai bergetar hebat. Isak tangis yang sejak beberapa menit lalu gadis itu tahan mulai pecah, tumpah ruah tersapu bersih oleh derasnya rinai.
"Ayah, Ibu, kalian dimana?" Bibir tipis nan mungil yang selama lima tahun belakangan mengulas cengiran khas dan menguar tawa itu secara terus menerus menggumamkan sebuah panggilan yang biasa dia tujukan untuk kedua orang tuanya.
Namun seberapa keras gadis tersebut mencoba, panggilan yang diselimuti getar ketakutan itu tak pernah mendapat balasan.
Pasir yang biasa para nelayan gunakan sebagai pijakan untuk menyambung hidup mulai beterbangan. Pohon kelapa yang menjulang tinggi di sekitarnya pun ikut melambai. Akan tetapi, gadis kecil itu memutuskan untuk tetap diam. Bergeming menatap deburan ombak yang mulai mengamuk, menunjukkan temperamental yang selalu dia sembunyikan dibalik keindahan air dan batu karang.
Tangis yang tadi memecah keheningan pantai telah gadis itu hentikan sejak beberapa menit lalu karena dia sadar bahwa air mata tidak akan pernah bisa memecahkan sebuah masalah. Insting gadis itu mengatakan untuk segera pergi. Berlari sekencang mungkin, menjauh dari pantai tempat dia berpijak saat ini. Namun gravitasi yang mengikat kedua kaki tak bisa dia lawan ketika melihat kilatan petir yang mulai memancarkan sinar bervoltase tinggi.
Kedua manik indah milik gadis itu memincing ketika menatap pusaran angin yang tengah berpesta pora mencari mangsa di tengah laut. Satu hal yang dia tahu bahwa bencana alam yang selama ini para nelayan takutkan telah tiba.
"Ziana!"
Teriakan yang entah berasal dari mana berhasil mengalihkan perhatian gadis bernama Ziana itu. Dapat dia lihat dengan sangat jelas, seorang wanita paruh baya nampak tengah berlari mendekat kearahnya.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"B-bibi?"
Wanita yang ia panggil bibi itu terlihat basah kuyup, sama seperti dirinya. Ziana memperhatikan tiap pergerakan yang tengah bibinya lakukan ketika salah satu tangan yang biasa digunakan untuk mengurus hasil tangkapan laut mulai menyentuh lengannya.
"Lautan sedang mengamuk, dan badai akan segera datang. Kita harus pergi ke pengungsian, nenekmu telah menunggu di sana."
Ziana tahu bahwa bibinya bermaksud baik, mengajak dia pergi meninggalkan tempat yang sebentar lagi akan hancur diporak-porandakkan oleh badai. Namun gadis itu sadar bahwa dia harus tetap berdiri di pantai ini, menunggu kehadiran kedua orang tuanya yang sudah beberapa jam lalu pergi meninggalkan Ziana sendirian di dalam rumah dengan dalih menangkap ikan.
"Tapi ayah dan ibu belum kemb--"
"Mereka tidak akan kembali."
"Tapi mereka sudah berjan--"
"Badai itu tidak akan pernah melepaskan mangsanya. Mereka telah pergi, hilang di tengah peraduan kekejaman alam semesta yang sebentar lagi akan mengamuk."
Saat-saat dimana wanita paruh baya yang berstatus sebagai bibinya itu mulai menariknya secara paksa meninggalkan pantai di tengah derasnya rinai hujan masih terasa membekas di dalam kepala Ziana. Ingatan kelam itu tidak akan pernah hilang, sampai kapanpun karena sejak hari itu, Ziana telah kehilangan segalanya. Dan mungkin, hari ini akan menjadi saat-saat terakhirnya untuk menikmati alam semesta yang katanya, penuh dengan keindahan.
Pasokan oksigen yang sepanjang hidup memenuhi paru-paru gadis itu mulai terasa menipis. Kepalanya pening bukan main. Cekikikan yang laki-laki di depannya saat ini lakukan memang tidak main-main.
Keinginan untuk melawan pun pudar, Ziana memilih berpasrah kepada takdir yang akan membawa nyawanya lenyap di kedua tangan laki-laki asing tersebut. Namun sepertinya, Tuhan tidak mengizinkannya pergi secepat itu karena masih ada banyak hal yang harus Ziana lakukan di hidupnya.
Kilauan cahaya yang entah dari mana asalnya tiba-tiba saja muncul, membuat kedua kelopak mata yang tadi terpejam mulai mengerjap secara perlahan-lahan, membawa gadis itu kembali kepada realita yang siap menyambut dirinya.
"Syukurlah kamu sudah sadar."
Kegelapan yang membuat gadis itu tenggelam di dalam bunga tidur telah sirna. Bau obat-obatan yang mulai terasa menusuk indra penciuman Ziana kembali membuat pening di kepalanya kambuh. Wanita yang sehari-hari bekerja sebagai petugas di ruang kesehatan kampus dengan sigap langsung bergerak secepat kilat, mengambil segelas air.
Salah satu tangan Ziana ia gunakan untuk memijit pelipisnya yang entah sejak kapan telah berkeringat. Di sela-sela kegiatannya itu, Ziana mulai mencoba mengingat apa yang telah terjadi dan kenapa bisa dia ada di ruang kesehatan.
"Silakan diminum."
Ziana langsung menoleh, tersenyum simpul ketika melihat gelas berisi air yang tengah petugas kesehatan berikan kepadanya. Sambil menjulurkan tangan untuk mengambil gelas itu, Ziana berujar dengan sangat tulus, "Terima kasih."
Satu, dua, hingga tiga tegukan Ziana lakukan untuk menandaskan air yang ada di dalam gelas tersebut. Rasa haus yang menyelimuti kerongkongannya seketika langsung sirna. Ziana terdiam selama beberapa saat, menunggu hingga pening di kepala yang mulai berangsur-angsur reda. Helaan napas lega dia keluarkan tidak lama kemudian ketika rasa sakit itu secara perlahan-lahan meninggalkan kepalanya.
"Apa yang telah terjadi?"
Petugas yang hendak berlalu pergi langsung menghentikan pergerakannya ketika Ziana melontarkan pertanyaan tersebut.
"Dia bilang kamu pingsan."
Ziana mulai mengerutkan kening. Namun sebelum kembali melontarkan pertanyaan, petugas kesehatan itu telah terlebih dahulu memberikan jawaban yang berhasil membuat kerutan di kening Ziana bertambah.
"Dosen muda itu yang bawa kamu ke sini."
"Dosen?"
"Iya, dia--"
"Saya minta maaf karena langsung bawa kamu kemari."
Derap langkah kaki yang semakin dekat berhasil membuat gadis itu menahan napas ketika mendengar suara yang terbilang cukup familiar di gendang telinga Ziana.
"Saya tahu tindakan saya terbilang cukup lancang, tapi syukurlah kalau kamu sudah sadar." Pemuda yang datang dari luar itu mengembangkan senyum tipis ketika telah sampai di hadapan Ziana. "Oh, iya, saya barusan beliin bubur. Siapa tahu kamu belum makan."
Satu tangan pemuda yang diyakini Ziana sebagai dosen muda itu terjulur ke depan tangan petugas kesehatan. "Saya masih ada kelas, bisa tolong bantu saya buat mastiin kalau dia habisin bubur ini?"
Tidak ada yang bisa petugas itu lakukan selain mengambil bungkusan yang dosen muda itu serahkan sebelum mulai memberi anggukan balasan sebagai tanda persetujuan.
Satu alis milik pemuda itu terangkat selama beberapa detik ketika menoleh kearah Ziana. Namun segala dugaan yang terlintas di dalam kepalanya langsung dosen muda itu tepis sebelum mulai beranjak pergi meninggalkan ruang kesehatan.
"Saya permisi, semoga kamu cepat sembuh."
Sedangkan Ziana, entah sejak kapan gadis itu telah mengepalkan kedua tangan dan berhasil membuat buku-buku jarinya memutih karena beberapa menit yang lalu, dia akhirnya mengetahui nama dosen muda tersebut.
"Ravindra, nama yang cukup bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
BK7 - Kumparan Waktu
RomanceSesuatu yang berhubungan dengan senja selalu saja memuakkan. Ia sangat menyesal mengetahui kenyataan bahwa ia sempat tergoda. "Kamu tidak seharusnya hidup." Suara berat menghancurkan lamunannya. "Kamu lebih baik mati." laki-laki tadi kembali beruc...